2022 Jadi Tahun Akselerasi Kinerja Industri Perbankan

Pelaku industri perbankan maupun stakeholder terkait meyakini kinerja industri perbankan bakal jauh lebih baik tahun ini dibanding tahun lalu. Kendati masih dibayangi pandemi, potensi kinerja ekonomi yang lebih tinggi menjadi harapan bangkitnya permintaan kredit bank.

Rika Anggraeni & Dionisio Damara

27 Jan 2022 - 19.02
A-
A+
2022 Jadi Tahun Akselerasi Kinerja Industri Perbankan

Karyawan beraktivitas di salah satu kantor cabang BCA di Jakarta, Selasa (21/12/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis, JAKARTA — Kinerja industri perbankan secara umum diproyeksikan bakal jauh lebih baik tahun ini ketimbang yang berhasil dicapai sepanjang 2021 lalu. Kondisi fundamental industri perbankan nasional yang relatif masih kuat dan potensi peningkatan aktivitas ekonomi menjadi penopangnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memproyeksikan penyaluran kredit perbankan naik 7 persen hingga 9 persen di tahun ini.

Proyeksi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan capaian pertumbuhan kredit industri perbankan sepanjang 2021 lalu yang sebesar 5,20% year-on-year (YoY) menjadi Rp5.766,60 triliun. Kinerja kredit perbankan bahkan masih negatif atau turun hingga Mei 2021.

“Mari kita tingkatkan pembiayaan dan kredit kepada perbankan. Prediksi kami bisa sampai 7 sampai 9 persen, bahkan bisa lebih tinggi,” ucap Perry dalam Peluncuran Laporan Transparansi dan Akuntabilitas BI secara virtual, Rabu (26/1).

Perry mengatakan, kenaikan penyaluran kredit akan membantu proses pemulihan ekonomi, sejalan dengan pertumbuhan konsumsi masyarakat dan industri.

Di sisi lain, Perry memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik di kisaran 4,7 persen sampai 5,4 persen pada 2022. Meski inflasi akan naik, tetapi dapat dikendalikan sesuai sasaran di kisaran 2 hingga 4 persen.

Perry menyampaikan, nilai tukar akan menjadi tekanan tahun ini. Namun, BI berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.

“Mari kita tingkatkan kredit dan pembiayaan untuk pemulihan ekonomi dan di sanalah kekuatan dari sinergi kebijakan ekonomi nasional,” imbuhnya.

Perry menyatakan, Bank Indonesia terus berkomitmen bersama pemerintah, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan berbagai pihak dalam memperkuat sinergi untuk membantu pemulihan ekonomi.

“Mari kita bangkit kan optimisme di tahun 2022 akan lebih baik. Marilah kita terus bersinergi untuk bersama mengangkat ekonomi kita segera pulih menuju Indonesia maju,” ucapnya.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai sudah ada indikasi yang cukup kuat terkait pertumbuhan kinerja kredit industri perbankan. Hal ini terlihat dari realisasi penyaluran kredit kepada 200 debitur kakap yang naik sebesar 6,7 persen sepanjang 2021 atau Rp75,97 triliun menjadi Rp Rp1.202,75 triliun.

“Kami tracking 200 grup debitur besar, dapat kami sampaikan bahwa outstanding kredit naik 6,7 persen YoY. Ini menunjukkan bahwa terutama korporasi sudah mulai bangkit,” kata Wimboh dalam Raker Komisi XI DPR RI, Kamis (27/1).

Namun, Wimboh menjelaskan bahwa kinerja korporasi belum sepenuhnya kembali normal. “Korporasi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk betul-betul normal seperti sebelum Covid-19,” sambungnya.

OJK mencatat seluruh jenis segmen kredit sudah meningkat. Pada segmen UMKM dan ritel tumbuh sebesar 11,23 persen YoY. Wimboh menyatakan, kredit korporasi sudah merupakan porsi terbesar dalam pertumbuhan kredit, yaitu naik 2,72 persen secara YoY.

“Jadi, kredit korporasi ini adalah indikator bahwa ini nanti bisa menimbulkan multiplier kepada kredit UMKM untuk downstream sektor supplier-nya,” ujarnya.

Di samping itu, OJK mencatat bahwa pertumbuhan kredit masih ditopang oleh bank persero atau BUMN, yaitu tumbuh sebesar 7,24 persen, sedangkan bank asing masih terkontraksi sebesar 5,6 persen secara yoy.

Per Desember 2021, kredit baru melanjutkan tren kenaikan, di tengah pembayaran angsuran dan pelunasan kredit yang juga terpantau meningkat sebesar Rp289,82 triliun.

OJK sendiri menargetkan tahun ini pertumbuhan kredit industri perbankan dapat mencapai angka 7,5 persen plus minus satu persen, atau sekitar 6,5 persen hingga 8,5 persen.


Wimboh menyatakan proyeksi tersebut sangat bergantung dari mobilitas masyarakat. Menurutnya, jika mobilitas lebih leluasa, ruang untuk belanja masyarakat akan meningkat dan secara simultan mampu mengerek kredit bank.

“Proyeksi pertumbuhan kredit 7,5 persen itu dengan asumsi kita bisa mengontrol Covid-19,” ujar Wimboh dalam kesempatan terpisah.

Dia menyatakan bahwa ke depan masih banyak yang perlu dilakukan untuk menjaga percepatan pemulihan kredit dalam skema restrukturisasi kredit Covid-19 yang diperpanjang hingga 2023. Selain itu, penyebaran varian baru Omicron juga dinilai menjadi tantangan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK, Heru Kristiyana, menyatakan target kredit sebesar 7,5 persen pada tahun ini dinilai masuk akal karena dalam proyeksi rencana bisnis bank menargetkan pertumbuhan hingga 9,5 persen.

“Memang dengan berbagai syarat kasus Omicron ini bisa kita kendalikan dengan baik. Saya tetap bisa optimistis bahwa target 7,5 persen bisa tercapai di tahun ini dengan berbagai dorongan yang akan kami lakukan nanti,” pungkasnya.

OJK mencatat bahwa sepanjang 2021 penyaluran kredit sudah bertumbuh 5,2 persen secara tahunan (YoY) dengan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) terkendali di level 3 persen. NPL cenderung turun dari 2020, yang mencatatkan 3,06 persen,

Adapun rasio permodalan (car adequacy ratio/CAR) bank berada di level 25,67 persen. Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) juga tumbuh 12,21 persen secara tahunan. Tahun ini, OJK memperkirakan DPK meningkat di rentang 10 persen plus minus 1 persen.

Wimboh mengatakan bahwa rasio ini cukup kuat untuk mengantisipasi berbagai risiko default dari debitur. “Ini sudah sustain, [CAR] terjaga di atas 20 persen sejak sebelum pandemi,” kata Wimboh.


OPTIMISME BANK

Optimisme terkait pertumbuhan kredit tahun ini juga datang dari kalangan pelaku industri perbankan sendiri.

PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 6 persen hingga 8 persen secara tahunan di tahun ini.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja menjelaskan, target tersebut bisa dicapai apabila fundamental perekonomian Indonesia dalam keadaan bagus. Diikuti dengan bunga yang tidak terpengaruh naik terlalu tinggi, memiliki NPL yang bisa dikendalikan, serta tren loan at risk (LAR) yang makin menurun.

“Mudah-mudahan kita bisa lebih dari target, tetapi tentunya secara konservatif [pertumbuhan kredit] 6 sampai 8 persen,”  kata Jahja dalam Paparan Kinerja Full Year 2021 secara virtual, Kamis (27/1).

Sepanjang 2021, pertumbuhan kredit BCA mencapai 8,2 persen YoY menjadi Rp637 triliun dan diikuti oleh perbaikan kualitas pinjaman. Hal ini sejalan dengan kredit yang direstrukturisasi berangsur kembali ke pembayaran normal.

Kemudian, rasio LAR turun ke 14,6 persen di 2021, dibandingkan dengan 18,8 persen di tahun sebelumnya. Sedangkan, NPL terjaga sebesar 2,2 persen didukung oleh kebijakan relaksasi restrukturisasi.

“Kita enggak mau kalau namanya kredit langsung dari awal jor-joran karena susah. Mobil yang kecepatan tinggi lebih susah direm. Jangan tiba-tiba tancap gas, lalu ngerem. Itu kurang bagus rasanya, penumpang juga kasihan,” kata Jahja.

Pada 2021 lalu, BCA hanya menargetkan pertumbuhan kredit 4 sampai 6 persen, tetapi terealisasi menjadi 8,2 persen. Kemudian, BCA menargetkan rasio dana murah atau current account saving account (CASA) sebesar 7 sampai 9 persen, faktanya BBCA berhasil meningkatkan CASA menjadi 19 persen.

Adapun, target keseluruhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 4 sampai 6 persen, dan BCA berhasil meningkatkan DPK menjadi 16,1 persen pada 2021.

Sama halnya dengan return on asset (ROA) yang ditargetkan sebesar 3,2 persen dan terlampaui menjadi 3,4 persen.

Berikutnya, BCA menargetkan rasio return on equity (ROE) sebesar 16 sampai 17, dan berhasil mencapai 18,2 persen. Sedangkan, BCA memasang target rasio kecukupan modal atau CAR sebesar 24 sampai 25 persen, dan tembus mencapai 25,7 persen.

“Jadi, kita bisa memperlihatkan performance kita antara target yang tidak terlalu optimistis, tetapi ternyata pencapaian 2021 cukup bagus,” terangnya.

Jahja berharap, di tahun ini, BCA bisa mempertahankan kinerja ke depan dan lebih konservatif dalam memegang target-target perseroan.

Secara keseluruhan, BBCA dan entitas anak berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp31,4 triliun di tahun 2021 atau tumbuh 15,8 persen YoY.

Sementara itu, dari kalangan bank BUMN, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) optimistis akan tumbuh lebih agresif dari tahun sebelumnya. Hal ini seiring dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi akan tumbuh sekitar 5 hingga 5,5 persen.

Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menyatakan, kredit akan tumbuh di kisaran 7 hingga 10 persen YoY sepanjang tahun ini.

“Di first half ini, kita yakin bisa tumbuh di tahun 2022 perkiraannya 7 sampai 10 persen,” Ujar Royke dalam Paparan Kinerja BNI Full Year 2021 secara virtual, Rabu (26/1).

Untuk mencapai target tersebut, Royke mengatakan bahwa pada tahun ini perseroan akan melakukan penguatan pada manajemen risiko dan mengembangkan bisnis di segmen digital.

“Jadi, strateginya adalah beberapa proses kita lakukan digital dan manajemen risiko juga kita lakukan perubahan,” jelasnya.

Sepanjang 2021, BNI mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar 5,2 persen yoy menjadi Rp582,44 triliun.

Royke mengungkapkan, pendorong utama kredit selama tahun 2021 berasal dari penyaluran di sektor business banking, terutama pembiayaan di segmen korporasi swasta yang tumbuh 7,6 persen YoY menjadi Rp180,4 triliun.

Lalu, disusul di segmen large commercial yang tumbuh 10,4 persen yang menjadi Rp40,9 triliun dan diikuti segmen kecil yang mengalami pertumbuhan 12,9 persen dengan nilai kredit Rp95,8 triliun.

Menurut Royke, secara keseluruhan kredit di sektor business banking tumbuh 4,5 persen yoy menjadi Rp482,4 triliun.

Sementara itu, di sektor konsumer, kredit terbesar yang tumbuh berasal dari kredit payroll yang naik 18,3 persen yoy menjadi Rp35,8 triliun. Kemudian, kredit kepemilikan rumah (mortgage) juga tumbuh 7,7 persen jadi Rp49,6 triliun. Dengan demikian, secara keseluruhan kredit konsumer tumbuh 10,1 persen yoy menjadi Rp99 triliun.

Adapun, pertumbuhan kredit juga ditopang oleh DPK yang secara keseluruhan mencapai Rp729,17 triliun atau tumbuh 15,5 persen YoY.

Melihat hal itu, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini mengatakan, kondisi DPK ini menjadikan likuiditas BNI saat ini sangat mencukupi dan melampaui pertumbuhan kredit tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.