23 Tahun Reformasi, Kebebasan Pendapat Terbelenggu 'Buzzer'

Sejumlah lembaga menyebut iklim demokrasi setelah 23 tahun gerakan reformasi justru mengalami kemunduran. Pemerintah dianggap memiliki tendensi mengadopsi sistem otoriter terutama setelah munculnya fenomena buzzer. 

21 Mei 2021 - 16.07
A-
A+
23 Tahun Reformasi, Kebebasan Pendapat Terbelenggu 'Buzzer'

Mahasiswa berdemonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa (13/10/2020)./Antara-Anis Efizudin

Bisnis, JAKARTA - Euforia jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998 telah usai. Hari Reformasi pun tak lagi diperingati secara besar-besaran.

Padahal tepat 23 tahun lalu, gerakan reformasi menjadi tonggak sejarah perubahan sistem demokrasi Indonesia. Lahirnya reformasi tidak lepas dari gerakan masyarakat sipil bersama mahasiswa melawan Soeharto yang dianggap otoriter selama 32 tahun. 

Suara-suara kritis kala itu dibungkam dan kebebasan pers dibelenggu. Bahkan setiap mereka yang bersorak lantang hilang bak ditelan bumi atau mati diterjang peluru aparat. 

Namun, perjuangan masyarakat sipil dan mahasiswa tidak sia-sia. Semangat mereka keluar dari kepemimpinan otoriter ala Soeharto berbuah manis dengan lengsernya sang jenderal dari tampuk kekuasaan tertinggi di Tanah Air.  

 

FOTO ARSIP - Suasana kegembiraan meliputi kalangan mahasiswa di depan pesawat televisi di gedung MPR/DPR RI ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden RI, di Jakarta, Kamis (21/5/1998). Wapres BJ Habibie selanjutnya menjadi presiden ketiga RI./Antara-Saptono

 

Namun, setelah 23 tahun gerakan reformasi berjalan, demokrasi di Indonesia justru mengalami kemunduran. Merujuk pada lembaga think tank (wadah pemikir) The Economist Inteligence Unit, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi yang cacat dalam tiga tahun terakhir. Skor demokrasi Indonesia hanya mencapai 6,3 hingga 6,4.

Dibandingkan negara di Asia Tenggara, level demokrasi di Indonesia berada di  bawah Malaysia dan Filipina. Sedangkan pada tingkal global, Indonesia berada pada urutan ke-64 dari 180 negara pada 2020.
 
"ibandingkan negara Asia yang lain, kita jauh tertinggal, misalnya Korea Selatan peringkat ke-25," kata Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Firman Noor dilansir dari Antara pada Jumat (21/5/2021). 

Hal itu mengejutkan karena Indonesia dan Korea Selatan mengalami masa-masa kepemimpinan otoriter ala militer. Jika Indonesia memiliki Soeharto, Korea Selatan mempunyai Park Chung Hee sebagai pemimpin otoriter. 

Dibawah kepemimpinan Park, Korea Selatan merasakan kuasa militer. Meskipun negara itu menggunakan sistem presidensial dan banyak partai.

Selain itu, The Economist Intelegence Unit juga menyebut iklim demokrasi dan politik Indonesia juga tertinggal dari Timor Leste. Di sisi lain,  laporan FreedomHouse, salah satu lembaga pemerhati demokrasi yang cukup terkenal di dunia, menempatkan Indonesia sebagai negara setengah bebas atau 'partly free' dengan skor 61 tertinggi 100. 

Lembaga tersebut memberika skor hak politik Indonesia sebesar 30 dari 40. Sedangkan dari sisi kebebasan sipil, negara ini memperoleh skor 31 dari 60. 

Data-data tersebut secara tidak langsung menunjukkan demokrasi Indonesia masih perlu untuk diperbaiki meskipun reformasi telah berjalan selama 23 tahun. Hal itu pun sejalan dengan kajian Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang menunjukkan sistem pemerintahan Indonesia cenderung otoriter. 

"Komnas HAM juga mengeluarkan survei di mana sekitar 36 persen masyarakat semakin khawatir berbicara tentang kebebasan politik atau berekspresi," kata Firman. 

Di sisi lain, anggapan kemunduran demokrasi di Indonesia juga tidak terlepas dari perspektif seluruh modalitas politik dikuasai secara berlebihan oleh pemegang tampuk kekuasaan. Hal itu tercermin dari konglomerat, polisi, kejaksaan, media massa, Komisi Pemberantasan Korupsi, pendengung "buzzer" hingga masyarakat umum berada pada lingkaran pemegang kekuasaan. 

Belum lagi kekuatan politik di Senayan di mana kursi perwakilan rakyat didominasi oleh para partai-partai koalisi pemerintahan. "Saya kira berkelimpahan kekuasaan inilah yang menjadi salah satu pemantik yang nyaris tidak ada saingan dan kontrol," yjarnya. 

Dia juga menyoroti penyeragaman cara berpikir di sejumlah instansi pemerintahan. Contohnya LIPI dan KPK yang diseragamkan melalui pengarahan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Penyeragaman pemikiran atau penempatan ideologi negara yang Pancasila tersebut hampir serupa dengan Orde Baru di mana ideologi dijadikan kartu AS sebagai legitimasi pemerintahan. 

Bahkan cara-cara itu dianggap sebagai upaya menyingkirkan mereka yang dianggap kritis. Hal itu terbukti dari tidak lolosnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan.

 

FOTO ARSIP - Mahasiswa meluber hingga ke kubah Grahasabha Paripurna ketika menggelar unjuk rasa yang menuntut reformasi menyeluruh, Selasa (19/5/1998). Unjuk rasa mahasiswa yang datang dari Jakarta dan sejumlah kota di Jawa dan Sumatera tersebut berlangsung dengan aman. - Antara/Saptono

 

Kebebasan berpendapat

Salah satu buah dari reformasi ialah kebebasan berpendapat. Dengan lahirnya reformasi, sudah pasti masyarakat mendambakan suatu kebebasan berpikir dan menuangkan ide tanpa dihantui kecemasan.

Namun buah dari reformasi itu seakan-akan mulai menghilang. Masyarakat merasa kebebasan yang sesungguhnya tidak dapat tersalurkan lagi dikarenakan terdapat sanksi atau hukum yang terus mengintai.

"Saya mengutip pernyataan Kwik Kian Gie yang merasa gelisah karena situasi jauh lebih buruk dari Orde Baru soal mengutarakan pemikiran," ujar dia.

Terkait polemik kebebasan berpendapat, salah satu kekhawatiran itu sebenarnya merujuk pada pasal-pasal karet yang termuat dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Padahal, seharusnya kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh masyarakat di dunia maya maupun secara langsung tidak mesti ditanggapi dengan tindakan represif aparat atau upaya menjebloskan mereka yang terlibat ke jeruji besi menggunakan UU ITE.

Bak pepatah kuno Belanda "leiden is lijden" yang memiliki arti memimpin itu menderita. Mendalami kata-kata itu, seharusnya setiap penyelenggara negara atau pemegang kekuasaan memahami dan mengerti bahwa kedudukannya harus tahan terhadap kritik, bukan malah menyerang balik dengan kekuasaan yang dipegang.

Lebih buruk lagi, jika penggunaan UU ITE semakin jorjoran, maka masyarakat akan malas. Bahkan, semangat menuangkan pemikiran bisa ikut-ikutan mati. Padahal, kritik serta masukan dari rakyat merupakan bagian penting atau inti dari sebuah demokrasi.

Oleh sebab itu, jika pemerintah ke depannya ingin membuat suatu produk hukum berupa undang-undang, maka pelibatan masyarakat sipil harus lebih masif dan bertahap. Sebab, pembuatannya tidak dapat kejar tayang begitu saja sebagaimana yang terjadi dengan Omnibus Law.

 

FOTO ARSIP - Beberapa kendaraan lapis baja berpatroli di sekitar Jl. Sabang, Jakarta, Kamis (14/5/1998), setelah terjadinya kerusuhan yang disertai penjarahan di tempat tersebut. Aksi kerusuhan yang melanda kota Jakarta itu membuat terhentinya aktivitas masyarakat./Antara-Saptono

 

Kembali ke rakyat

Dengan beragam polemik tatanan demokrasi saat ini, belum lagi persoalan pandemi COVID-19 yang belum reda, maka jalan kembali pada rakyat merupakan hal mutlak. Ini amat penting jika ingin roh dan semangat reformasi tetap ada di Tanah Air.

"Pemerintah harus kembali ke rakyat bukan ke oligarki," katanya.

Perspektif itu muncul tidak terlepas dari sejumlah aksi dan reaksi yang timbul di negara ini beberapa waktu terakhir. Sebagai contoh ialah penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law dan sebagainya.

Adanya pertentangan antara kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan keinginan khalayak bisa jadi muncul karena memang ide pembuatan produk hukum tersebut bukan sepenuhnya datang dari rakyat, namun hanya untuk kepentingan segelintir kelompok saja.

Padahal perlu dipahami kembali bahwa eksistensi dan keberadaan para elite politik tidak terlepas dan tidak bisa dipungkiri merupakan dukungan dari rakyat. Sehingga, kembali kepada rakyat merupakan pilihan wajib yang saat ini mesti dilakukan sebelum roh reformasi 23 tahun itu benar-benar lenyap.

Selain itu, pakar kelahiran 42 tahun silam itu menekankan agar elite politik dan pemangku kepentingan mendengarkan kemauan masyarakat dengan sesungguhnya. Jika ada suatu kebijakan yang ingin dibuat dan berpotensi terjadi reaksi atau protes, maka sebaiknya ditunda dulu.

Dengan kata lain, pemerintah harus bisa lebih sensitif terhadap gejolak-gejolak sosial yang terjadi. Sebab, jangan sampai peristiwa reformasi bertahun-tahun silam itu kembali terulang.

Revisi UU ITE

Masih segar dalam ingatan kasus yang menjerat Baiq Nuril Maknun, guru perempuan yang mendapat pelecehan seksual secara verbal dari kepala sekolah tempat ia mengajar malah dihukum karena merekam percakapan mesum pimpinannya.

Secara jelas ada bukti dan fakta bahwa Baiq Nuril mendapat perlakuan atau pelecehan seksual, tetapi malah menjadi pelaku yang terjerat UU ITE. Hal itu terjadi karena produk hukum tersebut memberikan ruang interpretasi bagi pihak terlapor karena merasa dirugikan dan bisa melaporkan balik korban.

"Jadi ini terbalik-balik, harusnya korban yang dilindungi malah menjadi orang yang salah," kata pemerhati budaya dan komunikasi digital sekaligus pendiri Literos.org Dr Firman Kurniawan.

Dengan adanya ruang yang memungkinkan pihak tertentu "membalikkan" keadaan, keberadaan UU ITE dinilai banyak merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, penting sekali merevisi undang-undang tersebut.

Tujuannya tentu selaras dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan sejak 23 tahun berlalu.

"Sangat perlu direvisi, karena ribuan orang sudah jadi korban," katanya.

Hingga kini tidak terhitung secara pasti jumlah masyarakat yang sudah menjadi "korban" UU nomor 11 tahun 2008 itu. Desakan revisi undang-undang tersebut terus digaungkan.

Secara umum, UU ITE terutama pasal-pasal yang dianggap pasal karet sejatinya sudah beberapa kali digugat ke MK. Sayangnya, dari sekian kali gugatan dilayangkan, setiap itu pula hakim MK menolak. Sebagai contoh ialah pasal 27 ayat 3 yang beberapa kali digugat oleh masyarakat ke MK.

Dengan banyak korban dari interpretasi yang membuka ruang lain dari UU ITE, maka sudah seharusnya pemerintah menjadikan revisi UU ITE sebagai suatu prioritas. Hal tersebut menjadi kebutuhan yang mendesak bagi masyarakat sesuai dengan semangat undang-undang itu dibuat.

Apalagi, kini sudah hampir seperempat abad Indonesia menikmati reformasi. Tetapi, jalan panjang mengisi semangat reformasi yang sesungguhnya ternyata masih cukup panjang. Harapannya, generasi penerus bangsa dapat mewujudkan cita-cita reformasi yang sesuai dengan hakikatnya. Selamat memperingati Hari Reformasi.

(Reporter : Antara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.