44 Tahun Pasar Modal Indonesia: Ribuan PR dan Sejuta Prestasi

BEI telah berkembang sangat pesat, terutama dalam beberapa tahun terakhir, baik dari sisi regulasi, jumlah emiten, jumlah investor, dan teknologi. Namun, pekerjaan rumah juga tak kalah banyak jika ingin bersaing dengan pasar modal global. Masih banyak investor ritel yang merasa dirugikan di bursa.

9 Agt 2021 - 20.11
A-
A+
44 Tahun Pasar Modal Indonesia: Ribuan PR dan Sejuta Prestasi

Pekerja melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis, JAKARTA — Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diberesi oleh Bursa Efek Indonesia setelah kini memasuki usianya yang ke-44. Meskipun demikian, tidak sedikit pula prestasi yang telah berhasil ditorehkan selama perjalanan bersejarahnya memajukan ekonomi Indonesia.

BEI berkomitmen untuk berupaya memberi kedalaman, transparasi, dan integritas pasar modal serta menambah jumlah investor dan emiten agar lebih beragam.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengatakan pasar modal selalu mendapatkan dua tantangan utama. Pertama, adalah pendalaman pasar yang selalu menjadi pertanyaan. Kedua, integritas pasar untuk mewujudkan aktivitas yang teratur dan wajar.

Adapun tantangan lain adalah mencari pertumbuhan baru dari sisi demografis dan ekuitas.

“Sejauh ini market kita mayoritas dipenuhi oleh perusahaan tradisional seperti finansial atau yang berbasis komoditas. Saat ini, tren tidak lagi ke arah sana sehingga kita sedang mempersiapkan bagi yang baru,” katanya kepada Bisnis, Senin (9/8).

Hasan menambahkan BEI akan berupaya agar siap ketika menyambut pelaku ekonomi baru. Misalnya unikorn, perusahaan teknologi, aplikasi, infrastruktur data, hingga kesehatan. Selain itu, juga perusahaan yang fokus pada sustainable development goals.

Di luar efek saham, lanjutnya, BEI akan mendorong pertumbuhan exchange traded fund (ETF) ataupun warrant terstruktur yang berpeluang tumbuh. “Efek derivative dengan skema baru juga direspon baik oleh pasar. Segmen syariah pun memiliki potensi yang masih luas untuk kami kembangkan,” ucapnya.

Menurutnya, operator bursa telah memberikan kemudahan bagi emiten dengan bermacam skala untuk bisa tumbuh bersama di pasar modal, tanpa mengabaikan kebijakan yang telah ditetapkan oleh regulator.

BEI, lanjutnya, juga massif melakukan pembukaan galeri investasi baik itu di kampus, sekolah, atau digital. “Kami telah melakukan transformasi sebelum pandemi, kami mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Kami berharap investor kita bisa menjadi invest society,” katanya.

Direktur Perdagangan dan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo ikut berharap sampai akhir tahun transaksi semakin ramai dan jumlah investor juga semakin meningkat.

Sementara itu, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan berharap jumlah investor ritel di pasar modal Indonesia terus bertambah. Selain itu, kuantitas dan kualitas emiten yang go public pun semakin bervariasi.

“Penguatan bursa harus didukung oleh perusahaan dengan cakupan yang besar dan luas. Contohnya Bukalapak ketika listing, ikut menarik investor asing untuk masuk,” terangnya.

Alfred menambahkan BEI juga harus lebih transparan dalam konstituen indeks ataupun proses penetapan suspensi dan unusual market activity (UMA), sehingga masyarakat bisa melihat dengan jelas.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Perindustrian Bobby Gafur Umar mengungkapkan optimisme para pelaku industri akan terus memanfaatkan pasar modal untuk memenuhi kebutuhan pendanaan.

"Dari sisi pelaku industri dapat memanfaatkan pasar modal sebagai dukungan pendanaan. Situasi krisis Covid-19 ini, pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7,07% di kuartal II/2021 dan banyak dikontribusi oleh sektor manufaktur," jelasnya kepada Bisnis.

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) dan Komisaris Bakrie & Brothers ini meyakini dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat, para pelaku industri akan memanfaatkan pasar modal untuk memenuhi kebutuhan pendanaannya.

Hingga 9 Agustus 2021, sudah ada 740 perusahaan tercatat dengan total kapitalisasi pasar mencapai Rp7.481 triliun.

Sepanjang tahun berjalan 2021, BEI kedatangan 28 emiten anyar, termasuk salah satunya perusahaan unikorn PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) yang meraup dana IPO terbesar sepanjang sejarah BEI, mencapai Rp21,9 triliun.

"Akan banyak pelaku industri-industri baru atau yang sudah ada sekarang masuk bursa dalam beberapa tahun ke depan," paparnya.

Di sisi lain, perkembangan jumlah investor di pasar modal sangat signifikan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan jumlah investor hingga akhir Juli sudah mencapai 50% menjadi 5,28 juta single investor identification (SID).

Menariknya, peningkatan jumlah investor itu didominasi milenial dan generasi Z dengan jumlah mencapai 58,39%.

Dari sisi penggalangan dana, OJK mencatat jumlah penghimpunan dana hingga 3 Agustus 2021 mencapai Rp117,94 triliun dari 92 penawaran umum. Jumlah itu termasuk aksi IPO, rights issue, dan penerbitan surat utang.

Di antara penghimpunan dana itu terdapat sejumlah aksi korporasi yang melibatkan entitas usaha konglomerasi.

Contohnya, IPO PT Archi Indonesia Tbk. yang merupakan entitas grup Rajawali Corpora, PT Bank Multiartha Sentosa Tbk. yang terafiliasi dengan Grup Wings, IPO Bukalapak dengan Grup Emtek, dan PT Cemindo Gemilang Tbk. yang terafiliasi dengan Grup Wilmar.

Di luar aksi IPO, korporasi yang terkait dengan konglomerasi juga cukup aktif melakukan rights issue atau aksi merger dan akuisisi. Berdasarkan data BEI, saat ini ada 83 penawaran umum dengan nilai Rp52,56 triliun dalam pipeline.

TEKNOLOGI DAN PERLINDUNGAN INVESTOR

Di tengah banyaknya prestasi BEI beberapa tahun belakangan, tantangan besar juga masih tetap membayangi pasar modal Indonesia. Kalangan manajer investasi menilai teknologi akan menjadi tantangan pasar modal ke depan, baik itu pemanfaatannya maupun dalam mengakomodasi kedatangan berbagai emiten sektor teknologi baru.

Direktur Avrist Asset Management Tubagus Farash Akbar Farich mengungkapkan saat ini investor mulai mencari aplikasi yang dapat membeli saham di pasar modal Amerika Serikat (AS), padahal seharusnya teknologi dapat membantu menarik investor ritel asing ke Indonesia.

"Saat ini malah teknologi atau aplikasi luar dicari  banyak investor Indonesia supaya mereka bisa beli saham di Amerika Serikat. Harusnya teknologi Indonesia berkembang dan bantu menarik investor asing ritel investasi di Indonesia," jelasnya kepada Bisnis.

Dia melihat saat ini ada fenomena terbalik dengan semakin dominannya investor domestik di pasar modal Indonesia. Hal ini membuat fluktuasi harga-harga di pasar modal juga lebih stabil dan tidak rentan pada faktor eksternal.

Di sisi lain, jumlah emiten sebagai suplai pengisi pasar modal perlu sekali ditambah, karena jika membandingkan dengan pasar modal Malaysia, emitennya sudah lebih dari 900 perusahaan.

Selain itu, perlu pula dikembangkan emiten dengan berbagai skala, yakni big caps, mid caps, dan small caps.

"Dengan demikian, di pasar modal yang sudah advance seperti di Amerika memungkinkan untuk menjalankan strategi investasi small caps karena pilihan emiten banyak dan likuid," paparnya.

Farash juga menilai perlunya pihak yang bertindak sebagai perusahaan liquidity provider selain perusahaan sekuritas untuk membantu pasar yang sedang kurang likuid seperti di obligasi korporasi, DIRE, RDPT, derivatif, EBA, dan dinfra.

"Produk-produk dengan strategy distressed fund yang juga diterapkan di luar negeri mungkin juga bisa dipertimbangkan," katanya.

Sementara itu, Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management menilai Indonesia perlu memikirkan lebih lanjut pengembangan pasar perdagangan obligasi, sehingga ada keterbukaan data dan transaksi layaknya seperti saham yang dapat diakses.

Adapun, dia menilai saat ini sektor teknologi atau terkait teknologi yang sedang hype menyebabkan kinerja saham bluechip dengan menggunakan indikator seperti LQ45 dan IDX30 berada di bawah IHSG.

"Selisih yang cukup jauh untuk periode year-to-date hingga awal Agustus 2021 ini sehingga diversifikasi sektor memang menjadi suatu pilihan. Namun, valuasi yang saham sektor teknologi yang tinggi juga harus menjadi perhatian," jelasnya kepada Bisnis.

Dia juga berharap tax benefit atas investasi reksa dana di instrumen surat hutang dapat terus dipertahankan.

Selain itu, perlunya dukungan dari self regulatory organization (SRO) yakni Bursa Efek Indonesia (BEI), Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) terhadap industri pengelolaan investasi yang lebih besar.

"Seperti kegiatan literasi bersama dan adanya hak suara atau rekomendasi dari asosiasi pengelolaan investasi dalam pemilihan direktur bursa," urainya.

Sementara itu, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) Sanusi mengungkapkan setelah berjalan cukup lama, pasar modal Indonesia masih menghadapi tantangan dari sisi perlindungan terhadap investor, terutama investor ritel. Padahal, sejak 2020, pertumbuhan investor ritel sangat signifikan.

"Tantangan kembali pada perlindungan investor oleh regulator. Peluang ada dengan tumbuhnya jumlah investor, bagi investor yang mau bekerja keras, belajar, dan disiplin makin terbuka kemungkinan untuk berhasil di pasar modal," jelasnya kepada Bisnis, Senin (9/8).

Dia menyebutkan harapan investor yang utama adalah perlindungan terhadap investor ditingkatkan. Contohnya, emiten yang baru menawarkan sahamnya ke publik (IPO) justru dijual sahamnya oleh semua pemegang saham pengendali kepada investor ritel.

PT Envy Technologies Indonesia Tbk. (ENVY), misalnya. Saat ini kepemilikan saham investor publik, yakni investor dengan kepemilikan masing-masing kurang dari 5%, telah mencapai 93,37%. Saat ini, harga sahamnya mentok di Rp50 per lembarnya.

Selain itu, ada PT Jaya Bersama Indo Tbk. (DUCK) yang pemegang saham publiknya mencapai 87%, sedangkan pengendalinya yakni PT Asia Kuliner Sejahtera hanya 6,4%. Demikian pula PT Sky Energy Indonesia Tbk. (JSKY), porsi pemegang saham publiknya mencapai 68,19%.

"ENVY kepemilikan publik 91 persen lebih, saat ini minoritas yang mengendalikan perusahaan tersebut. Begitu juga JSKY dan lainnya, minoritas yang mengendalikan perusahaan," paparnya.

Menurutnya, harus dicarikan aturan yang dapat melindungi investor publik dalam kasus seperti ini. Dalam banyak kasus, saham yang delisting tidak lagi melaporkan laporan keuangan ke OJK dan akhirnya di-delisting seperti PT Sigmagold Inti Perkasa atau TMPI yang kepemilikan publiknya lebih dari 90%.

"Investor berharap dilindungi dari rekayasa keuangan yang dilakukan emiten. Tingkatkan perlindungan investor publik," urainya. (Reporter: Rinaldi Azka dan Pandu Gumilar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.