Adios! Rezim TV Analog di Indonesia Segera Tumbang

Pemadaman siaran televisi analog akan dimulai 17 Agustus 2021 di 5 wilayah Tanah Air. Di antara negara-negara Asia Tenggara, hanya Indonesia dan Timor Leste yang hingga kini masih melakukan siaran analog.

6 Jun 2021 - 20.34
A-
A+
Adios! Rezim TV Analog di Indonesia Segera Tumbang

Ilustrasi televisi digital./freepik

Bisnis, JAKARTA — Dalam kurun 2 bulan ke depan, Indonesia harus mulai mengucapkan selamat tinggal pada siaran televisi analog. Rezim siaran digital akan dimulai di 5 daerah Nusantara pada 17 Agustus 2021, tepat saat HUT ke-76 Indonesia.

Penghentian siaran analog di 5 daerah tersebut merupakan tahap perdana dari lima tahapan analog switch off (ASO) yang dihelat Kementerian Komunikasi dan Informatika, sesuai Peraturan Menkominfo No. 6/2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran.

Terkait dengan rencana tersebut, Juru Bicara Kemenkominfo Dedy Permadi menjabarkan kelima wilayah yang akan menjadi target ASO serentak tahap awal a.l. Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.

Kemudian, Kepulauan Riau yang meliputi Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang. 

Lalu, Provinsi Banten yang meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Cilegon dan Kota Serang. Berikutnya, Kalimantan Timur yang mencakup Kabupaten Kutai Kata negara, Kota Samarinda, dan Kota Bontang.

Terakhir, Provinsi Kalimantan Utara yang meliputi Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan. 

Lebih lanjut, dia mengungkapkan wilayah-wilayah tersebut merupakan bagian dari 12 wilayah yang digelar siaran multipleksing tahap awal pada 2012.

Artinya, sudah 9 tahun lembaga penyiaran swasta dan pemerintah bahu membahu dalam membangun infrastruktur digital dan menyalurkan set top box (STB) atau dekoder. 

Dedy pun menjelaskan pemilihan wilayah-wilayah tersebut telah mempertimbangkan keberadaan infrastruktur siaran digital yang dibutuhkan untuk ASO.

“Secara kesiapan infrastruktur, siaran di seluruh daerah yang akan mengalami ASO di tahap pertama sudah memadai untuk dilakukan di 17 Agustus 2021,” kata Dedy kepada Bisnis, Sabtu (5/6/2021). 

Dedy mengimbau agar seluruh lembaga penyiaran segera beralih melakukan simulcast alias siaran analog dan digital secara bersamaan.

Stasiun-stasiun televisi pun diminta segera menyosialisasikan kepada pemirsanya untuk beralih ke peranti yang mengakomodasi siaran digital.

“Penghentian siaran analog di suatu daerah harus dilakukan serentak oleh seluruh stasiun televisi di daerah tersebut sehingga memudahkan masyarakat untuk menonton siaran dari satu jenis penerimaan saja,” kata Dedy. 

TANTANGAN MIGRASI

Dedy juga mengatakan dalam ASO tahap awal ini, Kemenkominfo menitikberatkan pada persoalan penataan frekuensi antara siaran analog yang masih berjalan dengan siaran digital yang perlahan diperkenalkan.  

“Jumlah stasiun televisi di Indonesia mencapai 701 lembaga penyiaran, sedangkan spektrum frekuensi yang tersedia terbatas. Hal ini menjadi tantangan yang akan diantisipasi,” ujarnya.

Selain masalah frekuensi, tantangan dalam migrasi Indonesia ke era siaran digital adalah kesiapan perangkat set top box (STB).

Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi ( LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan 5 wilayah yang menjadi target pemadaman siaran analog tahap awal dihuni oleh penduduk dengan jumlah terbatas, tidak sebanyak di Jawa. 

Dengan memilih wilayah yang terbatas itu, Kamilov menduga ketika terjadi peralihan, kerugian yang ditanggung oleh lembaga penyiaran tidak terlalu besar. 

“Kerugian itu dalam aspek menyedikan perangkat set top box (STB) atau dekoder,” kata Kamilov, Minggu (6/6/2021). 

Sekadar informasi, sesuai dengan Permenkominfo No.6/2021 Pasal 64, pengadaan alat bantu penerima siaran digital kepada rumah tangga miskin menjadi tanggung jawab penyelenggara multipleksing. 

Pasal 9, jika STB yang telah disediakan tidak mencukupi maka pemerintah akan membantu dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, terdapat 8,7 juta STB yang menjadi komitmen LPS untuk didistribusikan kepada masyarakat di 12 provinsi, termasuk di dalamnya adalah 5 wilayah layanan yang akan dipadamkan siaran analognya. 

Dari jumlah tersebut, PT Banten Sinar Dunia Televisi (BSTV) menjadi LPS dengan komitmen distribusi STB terbesar yaitu 3 juta STB.

PT Media Televisi Indonesia (Metro TV) berkomitmen mendistribusikan STB sebanyak 2 juta STB, MNC Group sebanyak 1,72 juta STB, Emtek Group sebanyak 1,47 juta STB, PT Rajawali Televisi (RTV) sebanyak 500.000 STB, Viva Group sebanyak 36.282 STB, dan Transmedia Group sebanyak 16.000 STB. 

Adapun, harga per STB diperkirakan mencapai Rp150.000—Rp200.000. 

Tidak hanya itu, Kamilov juga menduga bahwa pemadaman siaran analog tahap awal ini terlalu terburu-buru.

Masih banyak masyarakat yang belum memiliki STB, karena daya beli masyarakat di sana yang kurang baik. 

“Saya menduga Kemenkominfo kejar tayang  karena masyarakat secara teknis tidak mengerti soal digital dan analog. apalagi di daerah-daerah tadi,” kata Kamilov. 

Lebih lanjut, jika STB diberikan oleh Kemenkominfo atau lembaga penyiaran, maka STB tersebut harus diaudit terlebih dahulu perihal kualitasnya. 

Mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia periode 2009—2012 itu pun berharap STB yang diberikan adalah perangkat baru sehingga umur penggunaan perangkat tersebut masih lama. 

“Pemerintah harus menyediakan tempat perawatan STB agar jika ada STB yang rusak dia tidak harus ganti,” kata Kamilov.

Senada, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan persiapan pergelaran siaran digital tidak hanya sebatas tersedianya infrastruktur penyiaran digital saja. 

Pemerintah harus dapat memastikan seluruh aspek telah siap menyambut siaran dengan kualitas jernih. 

“Jangan sampai merugikan masyarakat karena tv mereka belum digital atau tidak mampu membeli set top box,” kata Heru. 

RESPONS STASIUN TV

Menanggapi rencana ASO tahap awal pada Agustus, Direktur Operasional PT Transmedia Corpora Latief Harnoko menilai pemadaman siaran analog merupakan keniscayaan. Makin cepat, makin baik. 

Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, dia menilai hanya Indonesia dan Timor Leste yang masih melakukan siaran analog. Indonesia tertinggal dalam menggelar siaran digital. 

“Saya yakin pemerintah sudah memperhitungkan dampaknya dengan segala perhitunhan yang matang,” kata Latief. 

Latief mengatakan perseroan akan terus  mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan peralihan siaran analogk ke siaran digital, agar sejalan dengan program pemerintah baik secara teknis dan nonteknis. 

Menurutnya, untuk menyukseskan program ini, pemerintah dan lembaga penyiaran harus bekerja sama menyosialisasikan peralihan siaran dari analog ke digital kepada seluruh masyarakat. 

“Di sisi lain saat ini alat ukur pengiklan kita masih berbasis kota AC Nielsen,  sehingga hal itu yang harus kita jaga dan yakinkan bahwa market share respondennya digital, sudah sesuai dari analog,” kata Latief. 

Bagaimanapun, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) justru mengaku tidak mengetahui mengenai rencana pemerintah yang akan memadamkan siaran analog pada 17 Agustus 2021.

ATVSI tetap mendorong pemerintah untuk memadamkan siaran analog pada 2 November 2022 saja dan tidak memadamkan siaran  televisi analog lebih awal dari yang ditetapkan Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. 

“Kami mengikuti yang  tercantum pada UU Ciptaker yaitu 2 tahun sejak diundangkan atau dapat diartikan 2 November 2022,” kata Ketua Umum ATVSI Syafril Nasution.

Syafril mengatakan sesuai dengan ketentutan di UU Ciptaker, ASO dilakukan secara serentak. ASO tidak terbagi ke dalam tahapan-tahapan.

“Di mana wilayah yang akan dipadamkan siaran analognya pada 17 Agustus 2021? Kami belum tahu,” kata Syafril. 

Syafril menyampaikan jika pemerintah tetap ingin memadamkan siaran televisi analog di 5 wilayah, maka harus dipastikan bahwa masyarakat di sana telah memiliki perangkat penerima siaran digital, agar tujuan memberikan siaran berkualitas dapat tercapai. 

Sementara itu, menurut Wakil Ketua I ATVSI Neil R. Tobing, pergelaran siaran digital di 5 wilayah sulit terealisasi.

Daya beli masyarakat kurang baik, terlebih dalam kondisi yang masih pandemi ini. 

Neil juga menjelaskan untuk menggelar siaran digital, perlu dilakukan siaran simulcast terlebih dahulu.

Tujuannya, untuk mengetahui jumlah masyarakat yang sudah dapat mengakses siaran digital. 

Jika jumlah masyarakat yang menerima siaran digital telah mencapai 90% dari populasi rumah tangga di daerah tersebut, maka siaran digital dapat digelar.

Jika jumlahnya masih minim, tidak dianjurkan menggelar siaran digital karena masyarakat tidak dapat mengakses hiburan dan informasi ketika siaran analog dipadamkan.

Metode ini digunakan di negara-negara lain sebelum memadamkan siaran digital.

Sayangnya, kata Neil, saat ini siaran simulcast belum digelar secara maksimal, beberapa bahkan masih dalam tahap uji coba. Sulit untuk mengetahui bahwa masyarakat telah siap mengakses siaran digital. 

“Kalau siaran analog dimatikan terus tidak ada yang menonton bagaimana? Bisa-bisa yang rugi pelaku usaha dan industri, Kemenkominfo tidak peduli industrinya mati,” kata Neil. (Leo Dwi Jatmiko)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.