Akhir Penantian Harga, Pengembang Mulai Tinggalkan Rumah Subsidi

Hingga menjelang pertengahan tahun 2023, rencana penyesuaian harga baru rumah subsidi belum juga direalisasikan oleh pemerintah. Hal ini membuat banyaknya pengembang yang beralih membangun rumah komersial dan akan berdampak pada target Program Sejuta Rumah (PSR) untuk MBR terancam meleset.

Yanita Petriella

21 Mei 2023 - 01.41
A-
A+
Akhir Penantian Harga, Pengembang Mulai Tinggalkan Rumah Subsidi

Anak-anak bermain sepak bola di salah satu perumahan bersubsidi di Bogor, Jawa Barat, Jumat (27:1:2023). Bisnis:Himawan L Nugraha

Bisnis, JAKARTA – Hingga menjelang pertengahan tahun 2023, rencana penyesuaian harga baru rumah subsidi belum juga direalisasikan oleh pemerintah. 

Harga rumah subsidi saat ini masih menggunakan beleid Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) No 242/KPTS/M/2020 yang dikeluarkan pada Maret 2020 yang berisikan aturan pembaharuan terkait harga jual rumah subsidi, batasan penghasilan kredit pemilikan rumah subsidi, besaran suku bunga, lama masa subsidi, batasan luas tanah dan bangunan rumah serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan. 

Meskipun beleid ini mencabut berlakunya Kepmen PUPR No 535/KPTS/M/2019 tentang batasan harga jual rumah sejahtera tapak yang diperoleh melalui kredit/pembiayaan pemilikan rumah bersubsidi yang kala itu diteken oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono pada 18 Juni 2019, namun tak ada perubahan harga rumah subsidi di Kepmen PUPR nomor 242 tahun 2020. 

Penetapan harga rumah subsidi dalam Kepmen PUPR No 535/KPTS/M/2019 mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 tahun 2019 tentang batasan rumah umum, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar, serta perumahan lainnya yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 20 Mei 2019 silam. 

Batasan harga rumah subsidi pada 2019 itu mengalami kenaikan sebesar 3 persen hingga 11 persen atau sekitar Rp7 juta hingga Rp11,5 juta per unit yang tergantung wilayahnya dari harga rumah subsidi tahun 2018.

Harga rumah bersubsidi berkisar Rp150,5 juta hingga Rp219 juta per unit sesuai dengan zonasi. Sementara itu, batasan penghasilan untuk memiliki rumah bersubsidi adalah maksimum Rp8 juta hingga Rp10 juta per bulan sesuai dengan zonasi. 

Pembicaraan tentang penyesuaian harga baru rumah subsidi sudah dilakukan antara pengembang dan pemerintah sejak akhir tahun 2021. Namun hingga kini, belum ada kepastian waktu kenaikan harga rumah subsidi. 

Rumah subsidi memang menjadi salah satu pilihan favorit para pencari hunian dengan jumlah penghasilan tertentu. Sesuai dengan namanya, pembeli rumah ini mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga bisa mendapatkan rumah dengan harga miring atau harga yang jauh lebih murah dibandingkan rumah komersial. Hal inilah yang membuat harga rumah subsidi diatur oleh pemerintah.   

Adapun bantuan pembiayaan yang diberikan pemerintah berupa subsidi melalui skema Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM). 

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan saat ini kondisi pengembang rumah subsidi yang tergabung dalam Apersi sangat sulit dalam memproduksi unit hunian MBR. Pasalnya, harga material bangunan saat ini sangat tinggi dan juga terjadi kenaikan pada lahan. Jika persoalan harga rumah subsidi ini dibiarkan berlarut-larut maka dipastikan pengembang akan beralih membangun rumah komersial.

“Pengembang berat bangun rumah subsidi, apalagi setelah covid-19 kemarin cukup menghantam kondisi pengembang. Ini kalau tidak segera disesuaikan harganya, akan banyak pengembang yang memilih bangun rumah komersial karena harga rumah subsidi saat ini tidak menutupi ongkos biaya produksi karena harga material yang naik,” ujarnya dikutip Sabtu (20/5/2023). 

Baca Juga: Napas Terakhir Pengembang Menanti Harga Baru Rumah Subsidi

Tak dipungkiri, untuk bisa bertahan hidup, para pengembang membangun hunian dengan ukuran rumah subsidi tetapi kualitasnya ditingkatkan agar bisa dijual sebagai rumah komersial. Adapun harga rumah komersial yang ditawarkan pun tidak mahal, hanya sedikit di atas harga rumah subsidi atau sekitar Rp200 jutaan. 

Berpindahnya pengembang rumah subsidi ke rumah komersial ini juga dikarenakan margin yang diperoleh sangat tipis yakni kurang dari 10 persen. Padahal, margin rumah subsidi ini digunakan pengembang untuk membayar kredit konstruksi kepada perbankan maupun operasional perusahaan. 

“Saat ini memang banyak pengembang yang mengubah rumah subsidi menjadi rumah komersial. Itu karena mereka lelah disuruh menunggu harga baru dan ditambah lagi dengan berbagai aturan yang menyulitkan. Tapi efeknya akan dirasakan masyarakat juga karena angsuran KPR-nya menjadi lebih mahal,” tuturnya.  

Dalam rencana kerja di sepanjang 2023 ini, Apersi akan membangun 46.000 unit hunian komersial. Angka ini mengalami kenaikan signifikan jika dibandingkan tahun 2022 yang hanya 19.000 unit komersial. 

Apersi juga menargetkan membangun 162.000 unit rumah subsidi. Kendati demikian, Junaidi pesimistis target sebanyak 162.000 unit rumah subsidi tahun ini dapat tercapai. Biasanya, dari target pembangunan rumah subsidi setiap tahunnya, Apersi hanya bisa mencapai 70 persen saja. 

Beralihnya orientasi pembangunan ini sudah terjadi sejak satu tahun terakhir ketika Pemerintah mulai memberikan janji kenaikan harga rumah subsidi pascapandemi. Banyaknya pengembang yang beralih membangun rumah komersial akan berdampak pada target Program Sejuta Rumah (PSR) untuk MBR terancam meleset. 

“Berdasarkan siteplan ada 162.000 unit rumah subsidi dan sebanyak 46.000 unit rumah komersial. Untuk rumah komersial ini tinggi sekali, tahun  lalu ada 19.000 unit komersial. Artinya banyak pengembang yang hijrah dari bangun rumah subsidi ke komersial. Kami sudah betul-betul capek bener nunggu kenaikan harga rumah subsidi. Kalau tidak segera, saya yakin ada 30 persen dari 162.000 unit rumah subsidi yang akan berpindah ke rumah komersial. bertambahnya realisasi rumah komersial ini, sebanyak itulah berkurangnya pengembangan rumah subsidi,” terangnya. 

Dia berharap kenaikan harga rumah subsidi dapat dilakukan setiap tahun mengikuti besaran angka inflasi tahunan. Pasalnya, harga material pun kenaikannya mengikuti besaran inflasi. Cara itu terbilang lebih mudah, ketimbang pemerintah harus menghitung ulang setiap tahunnya dan membuat aturan dengan proses harmonisasi yang membutuhkan waktu yang lama. 

“Kenaikan harga jangan setiap 2 tahun sekali, pemerintah test lagi kondisi MBR gimana, jangan buat uji coba. Sesuaikan harga baru rumah subsidi setiap tahun dengan angka inflasi. Jangan seperti saat ini, 3,5 tahun tidak ada penyesuaian harga, menunggu, kasihan MBR yang membutuhkan hunian. Apa menunggu pengembang bertumbangan dan pengangguran meningkat di industri properti baru dilakukan penyesuaian harga?,” ucap Junaidi. 

Di sisi lain, Apersi pun sepakat kualitas hunian rumah subsidi memang harus ditingkatkan. Namun demikian, naiknya kualitas hunian rumah subsidi ini juga harus diiringi dengan penyesuaian harga baru. Sebab, harga rumah subsidi saat ini tidak bisa mencukupi dengan permintaan baru pemerintah terkait kualitas hunian.

“Pemerintah tidak serius dalam menyediakan rumah untuk MBR karena saat ini buat pengembang beralih bangun rumah komersial dan terganggunya pasokan rumah subsidi untuk MBR. Kalau pemerintah serius ya mestinya sudah ada penyesuaian, tapi malah menuntut kualitas lebih bangun rumah subsidi padahal mereka sudah tahu harga yang ada saat ini tidak mencukupi,” katanya. 

Junaidi pun mendesak Pemerintah untuk segera menerbitkan PMK kenaikan rumah subsidi. Bukan malah membuat regulasi baru yang membingungkan dan saling tumpang tindih,” ujarnya. 

Baca Juga: Ketika Pemerintah Kembali Pertegas Sasaran Kualitas Rumah MBR

Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja menuturkan harga rumah subsidi sudah tidak naik selama 3,5 tahun. Hal ini berdampak pada berkurangnya pasokan rumah subsidi hingga kuartal II tahun ini. 

Berkurangnya produksi rumah subsidi pada awal tahun 2023 ini sangat memengaruhi realisasi target rumah berbasis KPR FLPP. Sebagai informasi, target penyaluran dana FLPP tahun 2023 sebanyak 229.000 unit senilai Rp25,18 triliun.

“Di kuartal I tahun ini pembangunan rumah subsidi masih on the track bisa capai 99 persen hingga 102 persen karena pengembang punya kredit konstruksi sehingga mau tidak mau harus jalan bangun rumah. Namun di kuartal II ini, pasokan rumah subsidi mulai berkurang,” ujarnya.  

Agar penyesuaian harga rumah subsidi tak berlarut-larut dan mengganggu pasokan, Endang mengusulkan harga rumah subsidi dapat mengalami kenaikan setiap tahunnya. Adapun besaran kenaikan rumah bisa hanya 6 persen hingga 7 persen, atau lebih dari 10 persen. Namun demikian, dia berharap ke depannya pemerintah bisa menghitung besaran dan melakukan harmonisasi secara cepat aturan kenaikan harga rumah subsidi. 

“Kami asosiasi pengembang justru diminta menandatangani perjanjian soal peningkatan kualitas rumah. Kami sebenarnya tidak masalah, asal ada kepastian setiap tahun harga bisa naik 6-7 persen atau kalau bisa 10 persen. Dengan begitu kami mampu menjamin kualitas dapat ditingkatkan,” ucapnya. 

Menurut Endang, melihat fenomena ini Pemerintah bukannya segera menerbitkan PMK patokan harga baru, sebaliknya justru meminta pengembang menandatangani pakta perjanjian peningkatan kualitas rumah subsisi. Padahal, penundaan penyesuaian harga rumah subsidi pada akhirnya akan merugikan konsumen yakni MBR.

“Yang kami khawatirkan justru dampaknya kepada MBR. Kalau harga tidak naik dan pengembang terus dihantam oleh aturan yang banyak, maka banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang dan berkurang. Ini yang rugi ya MBR karena suplai dan pilihannya menjadi sedikit,” katanya. 

Baca Juga: Program Sejuta Rumah Tembus 298.203 Unit per April 2023

Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Maria Nelly Suryani berpendapat selama masih ada MBR maka permintaan rumah subsidi akan terus berlanjut. Dia menilai seharusnya Pemerintah Indonesia mememiliki keberpihakan kepada MBR. Pada giliannya, PSR terutama penyediaan rumah bersubsidi seharusnya dapat terus berkelanjutan. 

“Pengembang juga masih berkomitmen tinggi untuk membantu tugas pemerintah dalam merumahkan MBR, tuturnya.

Dalam pelaksanaannya, pembangunan rumah bersubsidi berbasis FLPP mengalami berbagai masalah. Selain tidak ada kenaikan patokan harga sejak 2020, pengembang malah dituntut untuk meningkatkan kualitas rumah yang persyaratannya dianggap terlalu teknis. 

Menurut Maria, pengembang tidak bisa membangun hanya dengan modal tanah, tetapi juga butuh bahan material. Sementara setiap tahun harga material pasti naik, dan kenaikan tersebut harus diikuti oleh pengembang. Sebagai contohnya harga besi yang sudah naik 90 persen sejak 2020. 

Dia menilai pemerintah sepatutnya lebih peduli dengan fakta tersebut. Namun kenyataannya, dalam tiga tahun terakhir harga tidak ada penyesuaian dengan berbagai alasan. Alih-alih menaikkan harga, justru peningkatan kualitas rumah dengan berbagai syarat teknis yang dipaksakan pemerintah.

“Tidak apa sih dituntut kualitas dengan spek yang tinggi asal harga berimbang. Ada barang, ada harga. Jika syarat itu tetap dipaksakan dampaknya pasti semakin banyak pengembang rumah subsidi yang tumbang atau beralih ke rumah komersial,” terangnya. 

Maria juga mengkritik proses harmonisasi regulasi kenaikan harga rumah subsidi yang berbelit-belit. Padahal, pemerintah pernah menerbitkan PMK yang mengatur besaran kenaikan harga rumah subsidi, khususnya terkait pembebasan biaya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) per lima tahun pada 2013 dengan terukur dan jelas. PMK ini diterbitkan sebagai barometer pemerintah mengacu pada proyeksi kenaikan inflasi.

“Saat itu harmonisasi di Kementerian Keuangan tidak serumit sekarang. Terakhir tahun 2020, dimana setelah itu harmonisasi harga rumah subsidi ditetapkan setiap tahun. Seharusnya, bagaimana pun kondisi negara tetap rumah itu kebutuhan dasar,” ujarnya.

Dia berharap pemerintah dapat secara otomatis menaikkan harga rumah susbidi dengan besaran sesuai inflasi. Hal ini agar tidak terjadi delay yang lama penyesuaian harga rumah subsidi sehingga mengganggu investasi. 

“Penyesuaian harga baru rumah subsidi ini harus segera dilakukan di tahun ini. Kalau ini terus berlarut tidak ada kepastian, akan banyak pengembang yang nantinya tidak sanggup melanjutkan usahanya termasuk saya, seret pasokan, berdampak ke MBR yang membutuhkan rumah, mereka dirugikan,” tutur Maria. 

Baca Juga: Menanti Janji Harga Baru Rumah Subsidi Tak Kunjung Datang

Terpisah, Direktur Rumah Umum dan Komersial (RUK) Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Fitrah Nur mengatakan pihaknya masih menunggu PMK terkait pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

“Rumah subsidi ini memang itu kan harus PMK setelah keluar PP [Peraturan Pemerintah] terkait dengan perpajakan, nah PMK ini sedang harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM,” katanya. 

Adapun, kenaikan harga rumah subsidi terbaru di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.49 Tahun 2022 terkait jenis rumah apa saja yang dapat diberikan fasilitas bebas PPN.

Di sisi lain, Fitrah menanggapi desakan para pengembang rumah subsidi untuk segera melakukan penyesuaian, mengingat ongkos produksi semakin tinggi dalam 3 tahun terakhir. 

Menurutnya, Kementerian PUPR telah memberikan insentif melalui Peraturan Menteri (Permen) No.7 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perumahan Dan Penyediaan Rumah Khusus. Insentif yang dimaksud yakni, kemudahan pengembangan site plan di mana pemerintah akan mengembangkan 50 persen Prasarana Sarana Utilitas Umum (PSU). 

“Itu bisa mengcover kekurangan dari harga rumah, kita bisa bantu PSU 50 persen dari kapasitas site plan dan kami bisa masuk ke persampahan sekarang bisa masuk juga air bersih, ucapnya. 

Tak hanya itu, Kementerian PUPR juga mengaku siap memberikan bantuan untuk jalan akses perumahan. Namun, Pemda setempat perlu memastikan bahwa delineasi merupakan kawasan perumahan. Dengan demikian, menurutnya sudah banyak opsi yang ditawarkan untuk membantu para pengembang rumah subsidi yang kesulitan. 

“Dulu itu cuma jalan lingkungan saja, dan itu cuma 30 persen kapasitas site plan, jadi kalau ada 500 unit dia 30 persennya, kalau sekarang kita bisa 250 unitnya kita bantu,” tutur Fitrah. 

Powered by Froala Editor

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Yanita Petriella
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.