Ancaman Delisting Emiten Bermasalah dan Pertimbangan Panjang BEI

Beberapa saham di yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia telah mengalami suspensi lebih dari 24 bulan dan berpotensi delisting. Namun, BEI masih menunggu upaya perbaikan kinerja emiten-emiten yang tersebut sebelum benar-benar dikenakan delisting.

23 Agt 2021 - 19.36
A-
A+
Ancaman Delisting Emiten Bermasalah dan Pertimbangan Panjang BEI

Pekerja melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis, JAKARTA — PT Bursa Efek Indonesia masih berhati-hati dalam menempuh langkah penghapusan status sebagai perusahaan terbuka atau delisting pada sejumlah emiten di pasar modal yang telah disuspensi sahamnya selama 24 bulan.

Berdasarkan pantauan Bisnis, BEI setidaknya telah mensuspensi saham PT AirAsia Indonesia Tbk. (CMPP), PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL), PT Golden Plantation Tbk. (GOLL), PT Nipress Tbk. (NIPS), PT Sugih Energy Tbk. (SUGI), dan juga PT Trikomsel Oke Tbk. (TRIO) selama lebih dari 24 bulan.

Berdasarkan keterbukaan informasi BEI, pada 5 Agustus 2021 diumumkan bahwa PT AirAsia Indonesia Tbk. berpotensi delisting karena telah disuspensi di pasar reguler dan pasar tunai selama 24 bulan.

BEI pun juga telah mengumumkan potensi delisting untuk BTEL. pada 27 Mei 2021. Begitu halnya dengan GOLL pada 29 Januari 2021, NIPS pada 1 Juli 2021, SUGI pada 1 Juli 2021, dan TRIO pada 16 Juli 2021.

Sesuai dengan Peraturan Bursa No.:I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa, bursa dapat menghapus saham perusahaan tercatat salah satunya apabila saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengungkapkan emiten-emiten tersebut masih dalam proses delisting. Menurutnya selama tidak ada perbaikan kondisi atas penyebab terjadinya suspensi maka perusahaan tercatat berpotensi didepak.

“Bursa akan mempertimbangkan upaya perbaikan kinerja yang dilakukan sebelum perusahaan tercatat tersebut ditetapkan delisting oleh bursa,” katanya pada Senin (23/8).

Selain itu, Nyoman menegaskan bakal terus memantau kondisi dan perkembangan terkini dari emiten yang berpotensi delisting.

Berdasarkan POJK No. 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, BEI dapat melakukan delisting perusahaan tercatat salah satunya apabila terdapat permasalahan kelangsungan usaha.

Delisting saham emiten oleh BEI dapat dilakukan salah satunya apabila saham emiten telah dilakukan suspensi di pasar reguler dan pasar tunai atau hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24  bulan terakhir.

Nyoman menambahkan perusahaan yang terdepak akan wajib melakukan pembelian kembali seluruh saham publik atau buyback.

Dia juga meminta kepada para pemangku kepentingan untuk memperhatikan dan mencermati segala bentuk keterbukaan informasi yang disampaikan oleh BEI dan emiten.

Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengungkapkan sejumlah emiten yang terkena suspensi otoritas pasar modal perlu diperhatikan per kasusnya.

"Apakah masalah serius dan kompleks seperti menyangkut going concern atau masalah administrasi seperti keterlambatan penyampaian laporan keuangan," urainya kepada Bisnis, Senin (23/8).

Jika melihat sekilas dari sejumlah emiten yang terkena suspensi lebih dari 24 bulan ini, penyebabnya memang bervariasi.

AirAsia Indonesia menjadikan Lombok sebagai salah satu hub./Bisnis-Eka Chandra Septarini

CMPP, misalnya, karena syarat batas minimal kepemilikan publik; BTEL isu going concern dan pendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari KAP; GOLL karena laporan keuangan dan kasus hukum; NIPS karena isu going concern; SUGI karena Laporan Keuangan 2018—2020; dan TRIO karena opini disclaimer KAP.

"Ternyata banyak yang mengalami masalah yang serius dan kompleks," terangnya.

Secara fundamental, beberapa emiten juga mengalami kerugian bersih yang cukup dalam, bahkan posisi CMPP, BTEL dan TRIO nilai ekuitasnya sudah negatif dengan nilai yang signifikan, sehingga perlu restrukturisasi. Namun, dalam kondisi pandemi akan semakin sulit untuk menempuh jalur itu.

Dengan demikian, hal ini akan berimbas terhadap investor ritel terutama yang memiliki saham-saham perusahaan tersebut.

"Tentu prioritasnya adalah cut loss. Namun, kendalanya adalah karena suspensi tentu sulit untuk melakukan cut loss, apalagi jika di pasar negosiasi juga tidak dapat dilakukan. Pilihan lainnya memang relatif tidak ada," paparnya.

Menurut Alfred, berdasarkan pengalaman selama ini, investor publik hanya mendapatkan informasi yang sangat minim terkait proses delisting suatu emiten. Seakan-akan, begitu emiten terkena delisting, informasi perusahaan ke pemegang saham ritel terputus.

"Apalagi untuk yang mengalami kebangkrutan, sulit sekali bagi pemegang saham ritel untuk tahu apakah hak atas pembagian dari penjualan aset masih didapat, karena sekali lagi akses pemegang saham ritel terputus begitu suatu emiten terkena delisting," urainya.

Menurutnya, realita ini harus diperhatikan oleh regulator, terutama yang terkait dengan pasar modal. Ke depannya, regulator perlu tetap memfasilitasi investor agar bisa mendapatkan akses informasi ke perusahaan yang telah delisting.

Bagi emiten yang terkena delisting dan masih tetap melangsungkan usahanya, tentu pemegang saham ritel masih tetap menjadi pemiliknya, hanya saja sahamnya tidak bisa diperjualbelikan lagi di pasar.

"Beberapa kejadian saham yang delisting, bisa kembali melantai di bursa. Namun, untuk kejadian delisting yang diikuti dengan dilikuidasinya perusahaan [bangkrut/tutup], konsekuensinya tidak baik bagi investor," katanya.

Dalam berinvestasi saham, memang resiko terbesarnya adalah kebangkrutan dari perusahaan atau emiten. Pemegang saham adalah pemilik sehingga konsekuensi hilangnya modal saat perusahaan delisting dan dilikuidasi akan terjadi.

Budi Frensidy, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia, merekomendasikan investor emiten-emiten yang sedang disuspensi untuk mencoba menjual sahamnya di pasar negosiasi. Namun, memang ada kemungkinan tidak ada peminatnya.

UPAYA EMITEN

Salah satu emiten yang terancam delisting, yakni AirAsia Indonesia sempat menyatakan upayanya untuk memperbaiki kondisi keuangan.

Pada Desember 2020 lalu, Sekretaris Perusahaan AirAsia Indonesia Indah Permatasari Saugi dalam suratnya kepada BEI terkait upaya perbaikan kondisi perseroan mengungkapkan CMPP akan berupaya untuk memulihkan kinerja keuangan perseroan pasca pandemi Covid-19 di  kuartal I/2021.

Lalu pada kuartal II/2021, Indah menyebutkan perseroan akan melanjutkan rencana pemulihan kinerja keuangan pasca pandemi Covid-19 dengan melakukan pembukaan kembali rute-rute domestik yang pernah beroperasi dan rute-rute baru.

Tampaknya strategi tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh perseroan dan membuat BEI pada awal Agustus ini mengeluarkan surat yang menyatakan emiten tersebut berpotensi delisting.

CMPP pun diketahui akan melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS) pada Kamis, 8 September 2021 mendatang.

Bakrie Telecom. /Bisnis.com

Selain CMPP, Bakrie Telecom (BTEL) juga masih mendapatkan perpanjangan waktu dari Bursa Efek Indonesia meskipun tenggat waktu untuk delisting telah terlampaui.

Saham BTEL telah digembok sejak 27 Mei 2019. Seharusnya, bursa memberikan batasan hingga 24 bulan yang berakhir pada 27 Mei 2021. Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda parseroan bakal didepak.

Nyoman Yetna mengatakan BTEL belum didepak sampai dengan Agustus karena perseroan telah menyampaikan keterbukaan informasi terkait rencana untuk perbaikan kondisi keuangan perusahaan ke depan.

“Saat ini BEI juga sedang melakukan koordinasi dengan perseroan untuk mendapatkan informasi terkait proses hukum yang sedang berlangsung, rencana bisnis perseroan, serta keberlangsungan usaha,” katanya.

Nyoman menambahkan BEI akan terus memantau kondisi dan perkembangan terkini dari BTEL. Pihaknya juga meminta kepada para pemangku kepentingan untuk memperhatikan dan mencermati segala bentuk keterbukaan informasi yang disampaikan oleh manajemen BTEL.

BTEL telah rajin menerbitkan laporan keuangan supaya gembok saham perseroan dibuka. Akan tetapi, pada 11 Mei 2021, berdasarkan evaluasi BEI atas laporan keuangan serta tanggapan permintaan penjelasan yang telah disampaikan perseroan, BEI berpendapat masih terdapat keraguan atas kelangsungan usaha (going concern) perseroan.

Sehubungan dengan hal tersebut, BEI memutuskan untuk melakukan perpanjangan penghentian sementara perdagangan efek BTEL di seluruh pasar sejak sesi I perdagangan hari Selasa, 11 Mei 2021 hingga pengumuman lebih lanjut.  (Reporter: Pandu Gumilar & Ika Fatma Ramadhansari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.