Aral Internal & Eksternal, Mana Lebih Mengancam Kinerja Dagang?

Importir lebih berhati-hati melakukan pengapalan hingga akhir tahun, mengingat ketidakpastian risiko nilai tukar rupiah masih sangat besar akibat berbagai faktor eksternal dan internal.

22 Agt 2021 - 14.07
A-
A+
Aral Internal & Eksternal, Mana Lebih Mengancam Kinerja Dagang?

Ilustrasi kapal pengangkut kontainer ekspor impor./istimewa

Bisnis, JAKARTA — Kinerja perdagangan Indonesia pada semester II/2021 bakal dihadapkan pada dua tekanan berat dari luar maupun dalam negeri.

Pengurangan stimulus moneter The Federal Reserve menjadi tantangan eksternal pengujung tahun, sedangkan ketidakpastian pandemi menjadi aral di dalam negeri.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, tanpa ada pandemi Covid-19 sekalipun, dampak dari pengurangan pembelian obligasi bulanan (tapering) oleh bank sentral Amerika Serikat sudah cukup signifikan terhadap ekspor impor RI.

“Apalagi jika ada lonjakan kasus Covid-19, maka akan memberi tekanan ekstra ke perekonomian dalam negeri. Ini harus diantisipasi karena ketidakpastian makin tinggi sebagaimana tidak ada yang mengira Indonesia menghadapi lonjakan kasus seperti sekarang,” kata, akhir pekan.

Faisal memperkirakan The Fed akan cenderung dovish alias akan memangkas stimulus moneternya secara bertahap. Hal ini diharapkan membuat dampak apresiasi greenback atau nilai tukar dolar AS yang dirasakan negara lain—termasuk Indonesia—tidak akan terlalu agresif.

Di sisi lain, di dalam negeri, cadangan devisa Indonesia berada pada posisi aman untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Meski demikian, dia tidak memungkiri jika tapering bakal berdampak pada aktivitas impor.

Risiko depresiasi nilai tukar rupiah bisa membebani pemasukan bahan baku dan penolong di tengah prospek pemulihan ekonomi.

“Melihat pengalaman selama ini, dampak tapering lebih dirasakan impor dari pada ekspor karena mayoritas ekspor kita berbasis komoditas yang harganya lebih banyak ditentukan demand dari pada nilai tukar,” kata dia.

Untuk diketahui, sinyal kuat tapering  pada tahun ini mengemuka dalam risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) atau Komite Pasar Terbuka Federal pada 27 sampai 28 Juli.

Mayoritas anggota komite saat itu menilai bahwa pengurangan pembelian aset bisa dimulai tahun ini jika ekonomi berkembang sesuai perkiraan.

Merespons situasi tersebut, Kementerian Perdagangan meyakini ekspor dan impor Indonesia memiliki ketahanan menghadapi risiko pelaksanaan tapering The Fed.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri mengatakan otoritas perdagangan turut memantau perkembangan kebijakan moneter Paman Sam sebagai mitra dagang terbesar kedua setelah China.

Perekonomian AS sejauh ini memperlihatkan kinerja yang baik, tecermin dari angka inflasi dan jumlah klaim pengangguran yang mencapai level terendah selama pandemi.

“Saya kira kinerja ekspor dan impor kita cukup resilience menghadapi risiko dampak dari Kebjikan The Fed. Sebagaimana disampaikan Bank Indonesia, kebijakan tapering off-nya kemungkinan akan bertahap mengingat situasi perbaikan ekonomi AS juga tetap dibayangi Covid-19 yang belum sepenuhnya tuntas,” kata Kasan kepada Bisnis.

Kasan juga menggarisbawahi langkah Bank Indonesia yang menjalin kesepakatan local currency settlement (LCS) dengan beberapa negara mitra. Yang terbaru adalah LCS dengan China.

Menurutnya, hal tersebut merupakan sinyal keyakinan bank sentral atas stabilitas rupiah.

“Pada Juli [2021], LCS antara Bank Indonesia dengan Bank Sentral China untuk transaksi bilateral termasuk ekspor impor disepakati. Menurut saya, ini juga menunjukkan keyakinan BI atas stabilitas nilai tukar rupiah ke depan dan ketergantungannya terhadap dolar Amerika Serikat tidak terlalu dikhawatirkan,” tambahnya.

Cadangan devisa yang berada di posisi US$137,3 miliar, kata Kasan, juga menambah keyakinan pada aktivitas ekspor dan impor jika Indonesia menghadapi dampak tapering.

Bank Indonesia menyebutkan cadangan devisa tersebut memadai untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

“Posisi cadangan devisa juga cukup bagus di atas US$137 miliar ini menambah keyakinan bagi kegiatan ekspor dan impor jika nanti menghadapi dampaknya dari tapering tersebut,” kata dia.

GANGGUAN MANUFAKTUR

Pada perkembangan lain, risiko depresiasi rupiah akibat sentimen tapering The Fed hampir pasti turut berdampak pada aktivitas produksi industri di dalam negeri, mengingat pelaku industri harus menyiapkan modal lebih besar jika bahan baku yang diperlukan berasal dari impor.

“Risiko tapering terhadap kenaikan bahan baku sangat ada dan akan sangat menyulitkan pelaku usaha nasional bila terjadi. Ini bukan hanya masalah kehilangan daya saing ekspor, tetapi juga pada masalah pembiayaan operasional,” kata Koordinator Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani.

Shinta menjelaskan pelaku usaha sudah merasakan kenaikan harga bahan baku dan penolong, sebagai imbas dari disrupsi pandemi terhadap kelancaran pasokan dan logistik.

Jika situasi ini ditambah dengan pelemahan nilai rupiah, pelaku usaha akan makin terbebani.

“Terutama di sisi manufaktur untuk produksi karena saat ini pun pelaku usaha masih membukukan kerugian operasi karena kontraksi permintaan pasar,” tambahnya.

Untuk itu, dia berharap pemerintah dapat mengambil langkah intervensi kebijakan agar nilai tukar bisa tetap stabil demi mendukung pemulihan.

Dia memperkirakan impor akan makin tinggi jika pemulihan sesuai harapan.

Terlepas dari kekhawatiran tersebut, Shinta memperkirakan dampak tapering tidak akan seburuk 2013.

Pelaku usaha melihat bahwa Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan lebih proaktif dalam menyiapkan antisipasi.

“Karena itu kami tidak terlalu khawatir pada saat ini. Kami yakin pemerintah sudah siap untuk melakukan intervensi yang dibutuhkan agar nilai tukar bisa tetap stabil meskipun terjadi tapering nantinya,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengatakan pelaku usaha belum menyiapkan antisipasi.

Dia mengatakan fluktuasi nilai tukar adalah hal yang lumrah di tengah ketidakpastian pandemi.

“Importir yang sudah membuat nota kesepahaman dengan harga yang sudah ditetapkan akan langsung mengeksekusi. Sementara itu, [importir] yang belum membuat kesepakatan pembelian akan menghitung ulang apakah masih mungkin pembelian dilakukan dengan nilai baru,” kata Subandi.

Dia menjelaskan nilai tukar yang terdepresiasi terlalu dalam bakal mengganggu harga jual produk.

Dalam situasi tersebut, produsen biasanya akan meninjau ulang pembelian atau memilih mempersempit margin.

“Opsi terakhir adalah menaikkan harga jika margin yang sudah dipersempit belum menutup biaya produksi yang naik akibat kenaikan harga,” katanya.

KENAIKAN HARGA

Dari sisi sektoral, pelaku industri produk elektronika tidak bisa menghindari menaikkan harga produk jika nilai rupiah terimbas kebijakan tapering. Serapan pasar diperkirakan bisa tidak optimal.

“Untuk produk berorientasi ekspor, tentunya akan naik. Di sisi lain kami harus melihat bagaimana situasi pasar. Kalau pasar dalam negeri, dengan kondisi sekarang saja produk sulit terjual,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronika (Gabel) Oki Widjaja.

Oki menjelaskan pabrik elektronika di dalam negeri sejatinya telah berhadapan dengan masalah harga komponen yang naik di kisaran 10%—15%, imbas dari logistik dan pasokan yang terganggu pandemi.

“Gangguan logistik masih terjadi selama pandemi karena kelangkaan kontainer yang berlanjut. Di sisi lain bahan baku juga tidak lancar. Jadi meski demand mulai tumbuh, pabrik tidak bisa langsung pulih,” katanya.

Impor bahan baku dan penolong pada produk elektronika sendiri, kata Oki, menyumbang sampai 80% dari total produksi.

Sepanjang semester I/2021, impor mesin dan perlengkapan elektrik dalam kelompok HS 85 mencapai US$11,08 miliar.

Nilai itu meningkat 26,91% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu senilai US$11,08 miliar.

Sementara itu, dari sisi ekspor, kenaikan tahunan berada di angka 24,69% dari US$4,05 miliar menjadi US$5,05 miliar.

Reporter : Iim F. Timorria

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.