Aral Mengadang Target Pertumbuhan Manufaktur 5 Persen pada 2022

Diperlukan komunikasi intensif dengan industriawan mengenai kesiapan pelaku dalam negeri menyuplai bahan baku.

Reni Lestari

15 Nov 2021 - 15.07
A-
A+
Aral Mengadang Target Pertumbuhan Manufaktur 5 Persen pada 2022

Buruh menyelesaikan pembuatan masker di PT Jayamas Medica Desa Karangwinongan, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (18/3/2020)./ANTARA FOTO-Syaiful Arif

Bisnis, JAKARTA — Target pertumbuhan sektor manufaktur 2022 di rentang 5—5,5 persen masih menemui tantangan dalam hal harmonisasi kebijakan di semua lini yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.

Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan upaya penghiliran industri dengan menyetop ekspor sejumlah barang mentah tambang harus ditindaklanjuti dengan upaya penguatan sektor hilir.

Penguatan tersebut baik dari segi kesiapan tenaga kerja, infrastruktur, logistik, maupun skema perdagangan internasional yang menguntungkan industri dalam negeri.

"Banyak faktor yang memengaruhi yang berada di luar domain [Kementerian] Perindustrian, misalnya untuk urusan bahan baku, energi, infrastruktur, dan tenaga kerja," kata Andry, Senin (15/11/2021).

Selain membidik pertumbuhan di atas 5 persen, pemerintah juga menargetkan pencapaian substitusi impor 35 persen pada tahun depan.

Andry mengatakan perlu komunikasi intensif dengan industriawan mengenai kesiapan pelaku dalam negeri menyuplai bahan baku.

Sebab, ada tiga faktor yang mempengaruhi rendahnya penggunaan bahan baku dari dalam negeri di beberapa industri, yakni daya saing harga, ketersediaan dari segi jumlah, serta kontinuitas pasokan.

Hal lain yang juga perlu dipastikan yakni konsistensi standar kualitas bahan baku dari waktu ke waktu.

"Kalau yang ingin disubstitusi adalah bahan baku impor, harus diupayakan industri bahan baku di dalam negeri sesuai dengan kebutuhan industri di hilir dan intermediate," ujarnya.

Hal lain yang berpeluang memperkuat industri bahan baku dalam negeri yakni masuknya investasi baru ke sektor tersebut. Hal yang sama juga perlu diupayakan untuk substitusi impor barang jadi.

"Semua perlu mengundang investor, atau dari investor yang sudah ada di Indonesia, diminta untuk ekspansi," katanya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri manufaktur pada kuartal III/2021 sebesar 3,68 persen, sedikit di atas pertumbuhan ekonomi pada triwulan tersebut sebesar 3,51 persen.

Pertumbuhan industri pengolahan didukung peningkatan kinerja beberapa sub sektornya, seperti industri alat angkut sebesar 27,84 persen dan industri kimia, farmasi dan obat tradisional yang tumbuh 9,71 persen.

Ada pula industri logam dasar yang tumbuh 9,52 dan industri makanan dan minuman yang naik 3,49 persen. 

NERACA KOMODITAS

Pada perkembangan lain, pemerintah berencana mulai menerapkan penggunaan neraca komoditas pada tahun depan dengan peraturan presiden mengenai hal tersebut tengah dalam tahap harmonisasi.

Namun, dari perspektif pelaku usaha, pemberlakuan kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan ekses negatif bagi aliran investasi ke Indonesia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan dalam konteks tata niaga ekspor-impor yang berkaitan dengan neraca komoditas, ada mekanisme wajib lapor kebutuhan dan verifikasi data.

Dalam kacamata investor, hal tersebut tampak seperti mekanisme tambahan di luar perizinan ekspor-impor yang selama ini telah berjalan.

"Jadi ini bukan izin tetapi menjadi semacam izin yang menjadi bagian dari administrasi perizinan. Kemudian sifatnya wajib, dan ada sanksinya," kata Firman.

Pada kenyataannya, lanjutnya, peluang ekspansi investasi asing semakin terbuka didorong sejumlah kondisi di luar Indonesia, seperti lockdown ketat di Vietnam dan krisis energi di China.

Firman mengatakan dengan tetap beroperasinya pabrik-pabrik di masa pembatasan, ada kepastian pasokan ke negara-negara pelanggan.

Hal inilah yang menjadi daya tarik Indonesia dibandingkan dengan sejumlah negara pesaing lain terutama di regional Asean.

Namun, konsistensi kebijakan pemerintah menjadi tantangan ke depan jika ingin tetap mempertahankan daya tarik investasi.

Selain itu, gangguan operasi akibat pembatasan di Vietnam juga bersifat sementara. Di sisi lain, negara itu telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa sehingga menjadikan bea masuk ke Benua Biru lebih kompetitif.

Hal itu dapat menjadi dapat menjadi tantangan baru bagi daya saing industri alas kaki Indonesia.

"Kalau mereka [Vietnam] bisa mengatasi pandemi Covid-nya, bisa saja nanti menjadi kendala bagi kita, karena kita belum ada perjanjian perdagangan bebas dengan UE sehingga tarif bea masuk kita tidak kompetitif dengan Vietnam," jelas Firman. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.