Aturan Pajak Ekspor Nikel Jalan Terus di Tengah Kemelut di WTO

Indonesia tengah menyiapkan aturan penerapan pajak ekspor nikel tersebut dan terus melanjutkan pembahasannya bersama pelaku usaha untuk mencari formulasi penentuan persentase bea keluar sejumlah produk turunan bijih nikel seperti nikel pig iron (NPI) hingga feronikel (FeNi).

Ibeth Nurbaiti

7 Des 2022 - 19.00
A-
A+
Aturan Pajak Ekspor Nikel Jalan Terus di Tengah Kemelut di WTO

Pekerja melakukan proses pemurnian dari nikel menjadi feronikel di fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) Pomalaa milik PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk., di Kolaka, Sulawesi Tenggara. JIBI/Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah terus berupaya menguatkan ekosistem penghiliran nikel yang terintegrasi dari hulu hingga hilir demi memperoleh manfaat yang lebih besar dari segi nilai sehingga pada akhirnya bisa mengerek perekonomian nasional.

Terlepas dari masih berlanjutnya upaya banding Indonesia terhadap keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang memenangkan gugatan Uni Eropa (UE) dalam perkara larangan ekspor bijih nikel, pemerintah memastikan akan memberlakukan bea keluar ekspor komoditas hasil olahan bijih nikel mulai tahun depan.

Baca juga: Jalan Panjang RI Keluar dari Jeratan 'Ekspor Paksa' Bijih Nikel

Saat ini, Indonesia tengah menyiapkan aturan penerapan pajak ekspor nikel tersebut dan terus melanjutkan pembahasannya bersama pelaku usaha untuk mencari formulasi penentuan persentase bea keluar sejumlah produk turunan bijih nikel seperti nikel pig iron (NPI) hingga feronikel (FeNi). 

Formulasi pungutan progresif tersebut diharapkan fleksibel mengikuti kondisi pasar nikel mendatang karena. “Tahun depan kita akan berlakukan [bea keluar turunan nikel],” kata Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto kepada Bisnis, belum lama ini.

Baca juga: Blok East Natuna, ‘Harta Karun’ yang Belum Terjamah Kini Diincar

Sejalan dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menjamin kepastian hukum dan investasi untuk rantai industri nikel domestik tetap terjaga kendati Indonesia dinyatakan kalah dalam sengketa di WTO. Sejauh ini, sudah ada 21 smelter yang beroperasi di Tanah Air dan hingga akhir tahun ini Kementerian ESDM menargetkan total sudah 28 yang efektif beroperasi.

“Kepastian hukum, kita harus sediakan karpet merah. Jangan ada yang menghambat investor,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, Selasa (6/12/2022).


Yang jelas, pada prinsipnya penerapan pajak ekspor bijih nikel tersebut memiliki sasaran yang sama dengan tujuan dari kebijakan larangan ekspor nikel yang digugat oleh UE, yakni mendorong terjadinya penghiliran produk nikel di dalam negeri.

Seperti yang disampaikan Pande Putu Oka Kusumawardani, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pemerintah tidak begitu terpaku pada hasil banding di WTO dalam membahas kebijakan larangan ekspor tersebut.

Baca juga: Pantang Mundur Indonesia di WTO, Tekad Penghiliran Kian Kuat

Menurut dia, keputusan pemerintah untuk mewacanakan penerapan pajak ekspor bijih nikel tidak disebabkan oleh karena faktor kekalahan di WTO. Sebab, pada prinsipnya kebijakan perpajakan ekspor memiliki manfaat yang luas, terutama untuk mendukung ketersediaan suplai di dalam negeri.

“Jadi, waktu kita bicara pajak ekspor itu bukan karena gugatan. Bukan untuk balas dendam. Tidak boleh dikaitkan dengan itu,” katanya di sela-sela acara Internasional Annual International Forum of Economic Development and Public Policy (AIFED) yang ke-11 di Nusa Dua, Bali, Selasa (6/12/2022).

Baca juga: Seputar Fakta Indonesia Kalah Gugatan Nikel di WTO

Oka mengatakan bahwa topik pajak ekspor sejatinya dibahas secara regular oleh pemerintah untuk berbagai komoditas, tidak saja untuk bijih nikel. Kebijakan tersebut dilakukan untuk menyisir komoditas mana saja yang bisa didorong untuk meningkatkan nilai tambahnya.

Namun, untuk penghiliran nikel diyakini bakal meningkatkan efek berantai pada perekonomian nasional. Terlebih, industri ini kini sangat strategis seiring dengan perkembangan industri kendaraan listrik yang sangat membutuhkan nikel sebagai komponen utama baterainya.

Kendati demikian, Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai keputusan WTO untuk memenangkan UE cukup beralasan dan adil. Menurutnya, untuk mengejar hingga memenangkan upaya banding atas kasus tersebut relatif kurang produktif.

Dia tidak menampik bahwa tujuan akhir dan jangka panjang dari pemerintah adalah untuk mendorong penghiliran dan peningkatan nilai tambah produk-produk hasil tambang dalam negeri. 

Baca juga: Bersiasat Menjadi 'Raja' Baterai Kendaraan Listrik Dunia

Namun, tujuan tersebut tidak mesti dicapai dengan upaya pelarangan ekspor. Masih banyak instrumen lain yang bisa digunakan, termasuk instrumen fiskal. Selain itu, terdapat pula berbagai strategi industrialisasi lainnya, seperti mendorong masuknya investasi hingga penciptaan iklim usaha yang lebih kompetitif di dalam negeri.

Riefky menilai bahwa dana pungutan pajak ekspor pada akhirnya juga dapat digunakan untuk optimalisasi penghiliran nikel. “Saya tidak rekomendasikan spesifik, misalnya apakah income [pajak] ini perlu langsung dimasukkan ke [industri] nikel, mungkin itu bukan policy option yang paling baik atau feasible. Namun, paling tidak dalam budget [kebijakan anggaran] keseluruhan, ini industrialisasi nikel perlu kelihatan,” katanya.

Baca juga: Tatkala Kedaulatan Indonesia Diuji Bijih Nikel oleh Uni Eropa

Sebagaimana diketahui, pemerintah tak gentar melanjutkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel meski kalah dalam gugatan Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) WTO.

Presiden Joko Widodo bahkan menegaskan bahwa Indonesia akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Pemeritah juga akan melanjutkan moratorium ekspor untuk komoditas bauksit dalam waktu dekat.


“Setelah itu, bahan-bahan yang lainnya, termasuk hal yang kecil-kecil, urusan kopi usahakan jangan sampai diekspor dalam bentuk bahan mentah. Sudah beratus tahun kita mengekspor itu. Setop, cari investor. Investasi agar masuk ke sana sehingga nilai tambahnya ada,” kata Jokowi saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022, Rabu (30/11/2022). 

Tak hanya Uni Eropa, negara-negara tujuan ekspor bijih nikel Indonesia lainnya sebenarnya juga berpotensi dirugikan atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Pada 2013, menurut Plt Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, sejumlah negara seperti China, Jepang, Australia, Ukraina, Hongkong, Yunani, Korea Selatan, Turki, Singapura, dan Rusia tercatat sebagai negara tujuan ekspor nikel Indonesia.

Baca juga: Mengejar Target Besar Konversi 1.000 Unit Sepeda Motor Listrik

Dengan kata lain, imbuhnya, negara-negara tersebut berpotensi akan dirugikan dengan adanya larangan ekspor bijih nikel. “Namun, tidak semua karena di antara negara tersebut, nanti tetap ada yang berinvestasi di Indonesia,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (6/12/2022).

Adapun, laporan final panel WTO pada 17 Oktober 2022 lalu menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada DS 592. Pembelaan Pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 yang berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut. (Emanuel B. Caesario/Nyoman Ary Wahyudi/Rahmi Yati)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.