Banyak Emiten Terancam Delisting, Investor Publik Bakal Rugi

Peraturan delisting emiten yang ada di Indonesia secara ideal mengatur proses delisting dengan mewajibkan adanya buyback atas saham investor publik. Namun, pada kenyataannya aksi buyback itu tidak mudah dilakukan oleh emiten, apalagi yang tengah dalam kondisi tertekan bisnisnya.

Pandu Gumilar

28 Sep 2021 - 19.48
A-
A+
Banyak Emiten Terancam Delisting, Investor Publik Bakal Rugi

Pengunjung memotret papan elektronik yang menampilkan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (22/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis, JAKARTA — Selain PT Bentoel International Investama Tbk. (RMBA) yang memang berencana untuk keluar dari Bursa Efek Indonesia (BEI) atau delisting secara sukarela, otoritas pasar modal mencatat ada beberapa emiten yang juga terancam delisting paksa atau forced delisting.

BEI bahkan mencatat ada delapan emiten yang berpotensi forced delisting. Daftar tersebut bahkan baru berasal dari satu sektor industri saja, yakni dari sektor properti. Adapun, secara sederhana, saham yang delisting nantinya tidak akan dapat lagi diperdagangkan di pasar modal.

Kedelapan emiten tersebut adalah PT Natura City Developments Tbk. (CITY), PT Sinergi Megah Internusa Tbk (NUSA), PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN), PT Rimo International Lestari Tbk. (RIMO), PT Hanson Internasional Tbk (MYRX), PT Hotel Mandarine Regency Tbk (HOME), PT Cowell Development Tbk (COWL), dan PT Modernland Realty Tbk (MDLN).

BEI berpendapat kedelapan emiten itu berpotensi untuk terdepak dari lantai bursa sebab telah mengalami suspensi selama lebih dari 6 bulan. Adapun alasan penghentian perdagangan saham disebabkan beragam sebab.

Misalnya PLIN, emiten yang mengelola Plaza Indonesia itu disuspensi akibat tidak memenuhi aturan free float. Akibatnya kepemilikan publik kurang dari tujuh persen atau hanya sekitar 2,99%. Adapun saham mayoritas dikoleksi oleh PT Plaza Indonesia Investama sebanyak 96,61%.

Selain emiten terafiliasi dengan grup Sinarmas itu, ada pula MYRX dan RIMO yang berpotensi didepak. Sebagaimana diketahui kedua kakak beradik Benny Tjokrosaputro dam Teddy Tjokrosaputro yang menjadi direktur utama di kedua perseroan tengah mendekam akibat skandal kasus kerugian Jiwasraya.

Sementara itu, bursa mengunci saham MDLN akibat JGC Ventures Pte. Ltd., tidak melakukan pembayaran kupon atas Guaranteed Senior Notes due 2021 yang telah jatuh tempo.  MDLN bertindak sebagai parent guarantor.

Perseroan berencana untuk mengajukan permohonan moratorium terhadap JGC Ventures Pte. Ltd., MDLN Holdings Pte. Ltd., dan Perseroan. Selain itu, mengajukan permohonan restrukturisasi Notes di Pengadilan Singapura.

Green Central City Gadjah Mada, Jakarta, salah satu proyek superblok yang dibangun oleh Modernland Realty. /moderland.co.id

Hal tersebut mengindikasikan adanya keraguan atas kelangsungan usaha perseroan. Selanjutnya, Bursa memutuskan untuk melakukan penghentian sementara perdagangan efek (saham dan obligasi) MDLN di seluruh pasar terhitung sejak Sesi II Perdagangan Efek tanggal 30 September 2020.

ATURAN MAIN DELISTING

Adapun, emiten yang hendak delisting, entah secara sukarela atau dipaksa, wajib melalui sejumlah proses yang dipersyaratkat otoritas pasar modal. Salah satu syarat penting adalah wajib melakukan buyback terhadap saham perseroan yang dimiliki oleh investor publik.

Berdasarkan POJK No. 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, calon delisting wajib melaksanakan pembelian kembali saham paling lambat 18  bulan setelah pengumuman keterbukaan informasi.

Dalam aturan tersebut disebutkan pula bahwa calon emiten yang akan delisting bisa saja tidak melakukan buyback jika ada pihak lain yang bersedia melakukan penawaran tender terhadap seluruh saham yang dimiliki oleh publik sehingga jumlah pemegang saham menjadi kurang dari 50 pihak.

Selain itu, pembelian kembali saham dapat dilakukan sampai jumlah melebihi 10% dari modal disetor oleh emiten.

Perihal penetapan harga, bagi emiten yang mengajukan delisting sukarela (voluntary delisting), OJK mengatur bahwa harga pembelian saham harus lebih tinggi dari harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam jangka waktu 90 hari terakhir sebelum pengumuman RUPS.

Lalu apabila sahamnya telah disuspensi atau tidak diperdagangkan selama 90 hari atau lebih, maka harga pembelian saham harus lebih tinggi dari harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di BEI dalam waktu 12 bulan terakhir.

Periode 12 bulan tersebut dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya.

Sementara itu, bagi emiten yang menjadi perusahaan tertutup atas perintah OJK (forced delisting), maka harga pembelian saham harus paling rendah pada harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di BEI dalam jangka waktu 90  hari terakhir sebelum adanya perintah untuk melakukan perubahan status emiten menjadi perseroan yang tertutup.

Akan tetapi, bila saham perseroan tidak diperdagangkan atau disuspensi oleh BEI maka harga pembelian saham harus paling rendah pada harga rata-rata dari harga penutupan perdagangan harian di BEI dalam waktu 12 bulan terakhir. Harga dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya.

Terakhir, bila status perubahan dimohonkan oleh BEI (forced delisting), maka harga pembelian saham harus paling rendah pada harga rata-rata perdagangan saham emiten di BEI dalam jangka waktu 30 hari terakhir yang dihitung mundur dari hari perdagangan terakhir atau hari dihentikan sementara perdagangannya.

Selain itu, nilai buku per saham berdasarkan laporan keuangan terakhir, digunakan yang lebih tinggi.

KESULITAN BUYBACK

Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan emiten yang berpotensi delisting akan sulit memenuhi aturan delisting yang dipersyaratkan OJK. Alasannya, banyak emiten yang memiliki ekuitas atau modal minus.

“Iya, bagaimana diwajibkan jika perusahaan yang delisting itu ekuitasnya negatif dan tidak memiliki saldo kasnya lagi,” katanya kepada Bisnis pada Selasa (28/9).

Budi menegaskan emiten yang bermasalah dengan going concern usaha perseroan, hampir dipastikan tidak akan mampu untuk membeli seluruh saham publik. Oleh sebab itu, dia menilai beleid yang diterbitkan oleh regulator tidak realistis.

Menurutnya, yang saat ini perlu dilakukan adalah pengetatan kriteria pencatatan. Dengan begitu, kecil kemungkinan terjadinya permasalah serupa di kemudian hari.

Budy berharap jumlah emiten yang terancam delisting itu tidak akan bertambah sebab pandemi Covid-19 sampai saat ini masih berlangsung. Dia menilai emiten yang berada di zona merah adalah perhotelan, parawisata, travel, dan pembiayaan.

“Semoga [delisting] tidak bertambah lagi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.