Bau Apak Dugaan Kartel di Balik Tantrum Harga Minyak Goreng

Penghitungan KPPU terhadap rasio konsentrasi dari 4 produsen utama minyak goreng di Indonesia menunjukkan total pangsa mencapai 46,5 persen yang menunjukkan bahwa pasar bersifat monopolistik dan mengarah ke oligopoli.

Iim Fathimah Timorria

21 Jan 2022 - 10.30
A-
A+
Bau Apak Dugaan Kartel di Balik Tantrum Harga Minyak Goreng

Sejumlah warga membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar murah minyak goreng di Blok F Trade Center, Pasar Kebon Kembang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/12/2021). /Antara Foto-Arif Firmansyah-nym.\r\n

Bisnis, JAKARTA — Sinyal praktik kartel atau persekongkolan mulai terendus di balik fenomena lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri dalam beberapa bulan terakhir.

Dugaan kartel harga minyak goreng tersebut terendus langsung oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), kendati instansi tersebut menyatakan masih memerlukan penelitian lanjutan.

Analisis struktur pasar yang dilakukan KPPU menunjukkan bahwa sejumlah produsen minyak goreng memiliki pangsa yang mendominasi. 

Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan 4 produsen utama memiliki pangsa pasar berturut-turut sebesar 14 persen, 13,3 persen, 11 persen, dan 8,2 persen.

Penghitungan rasio konsentrasi dari 4 produsen tersebut atau CR(4) menunjukkan total pangsa mencapai 46,5 persen yang menunjukkan bahwa pasar bersifat monopolistik dan mengarah ke oligopoli.

Temuan dari studi yang dilakukan KPPU juga mengungkap bahwa para produsen dengan pangsa besar sejatinya terintegrasi secara vertikal. 

Pasar minyak goreng didominasi oleh produsen atau perusahaan yang juga memiliki usaha perkebunan, produsen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), dan juga turunan lain termasuk margarin dan minyak goreng.

"Dari temuan kami, pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar terbesar itu sebenarnya terintegrasi secara vertikal di mana dia bagian dari kelompok usaha perkebunan kelapa sawit," kata Mulyawan dalam konferensi pers, Kamis (20/1/2022).

Seorang pengunjung memilih minyak goreng kemasan di Supermarket GS, Mal Boxies123, Bogor, Jawa Barat, Selasa (28/12/2021). /Antara Foto-Arif Firmansyah-tom.\r\n

Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengisyaratkan kenaikan harga minyak goreng seharusnya bisa dihindari jika melihat hubungan vertikal antara mayoritas produsen minyak goreng dengan usaha perkebunan sawit.

Namun, dia menduga terdapat keputusan bisnis yang membuat pelaku usaha turut menaikkan harga bahan baku ke pabrik minyak goreng dalam negeri seperti harga pasar global.

Meski harga CPO global yang tinggi cenderung lebih menguntungkan bisnis daripada memasok ke pasar domestik, pengusaha tidak lantas bisa mengentikan pasokan ke pabrik produk olahan di dalam negeri. 

Untuk itu, lanjut Ukay, pelaku usaha turut menaikkan harga minyak sawit ke pasar domestik.

"Tentunya yang paling aman adalah menyamakan, setidaknya menaikkan harga CPO yang dijual ke pabrik minyak goreng yang juga merupakan afiliasi sendiri," kata Ukay.

Lebih lanjut, Ukay menyebut jika kebijakan ini diadopsi oleh salah satu usaha, maka harga di dalam negeri seharusnya tidak naik secara bersamaan. 

Dia mengatakan tren kenaikan harga di tingkat eceran cenderung naik pada saat yang bersamaa, terlepas dari fakta bahwa produsen minyak goreng berafilisasi dengan usaha perkebunan masing-masing.

"Perilaku semacam ini bisa dimaknai sebagai sinyal bahwa apakah terjadi 'kartel'. Ini sinyal-sinyalnya ke sana karena harga kompak naik meski mereka memiliki kebun sendiri-sendiri," tambahnya.

Dihubungi secara terpisah, ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mencatat penetrasi produk minyak goreng di masyarakat didominasi oleh sejumlah merek besar, dengan selisih harga produk yang tidak jauh berbeda. 

Dia mengatakan harga minyak goreng kemasan premium berbagai merek ukuran 2 liter masih berada di bawah Rp30.000 pada awal 2021 dan harga sebelum kebijakan satu harga diterapkan di kisaran Rp39.000 sampai Rp40.000 per kemasan.

"Kalau ada upaya menyamakan harga, saya kira ini bukan hal yang baru. Sudah cukup lama terjadi harga tidak terpaut jauh. Namun jika ada unsur kesengajaan, ini hal baru yang perlu diselidiki," kata Khudori.

Dia menambahkan penguasaan pasar yang mencapai 46,5 persen oleh produsen-produsen utama sangat memungkinkan memicu praktik persekongkolan penetapan harga. 

Namun, dia kembali mengatakan perlu analisis struktur pasar yang lebih dalam untuk sampai pada tahap kesimpulan praktik kartel dilakukan.

Khudori juga memberi catatan soal pentingnya pengawasan publik pada tren harga ke depan jika harga CPO mengalami penurunan. Menurutnya, produk manufaktur cenderung sulit turun ke harga semula jika fenomena commodity supercycle berakhir.

Lain sisi, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat praktik kartel bisa dideteksi dengan melihat jeda antara kenaikan harga CPO dan harga di tingkat eceran. 

Jika terdapat jeda waktu yang tidak normal, ada kemungkinan pelaku usaha sengaja menahan harga dan menaikkan secara bersamaan.

"Implikasinya sangat besar jika memang terbukti karena pemakaian yang luas di masyarakat. Selain itu pemerintah juga menyiapkan subsidi. Kalau struktur pasar oligopoli, subsidi ini akan menguntungkan perusahaan besar yang menguasai pasar," ujarnya.


SANGGAHAN PENGUSAHA

Saat dimintai tanggapan terkait dengan dugaan KPPU, pelaku usaha kembali menegaskan bahwa kenaikan yang terjadi murni dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak sawit mentah atau CPO di pasar internasional.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Bernard Riedo mengatakan CPO merupakan bahan baku utama produksi minyak goreng. 

CPO sendiri merupakan komoditas yang diperdagangkan secara global dan harganya dipengaruhi permintaan dan pasokan internasional.

Mayoritas produksi CPO Indonesia juga diserap oleh pasar luar negeri. Hal ini pulalah yang membuat harga menjadi sangat sensitif.

"Karena mayoritas masih untuk ekspor, harga CPO tidak bisa lari dari harga minyak nabati lainnya, sehingga tidak benar jika perusahaan dalam negeri yang mengatur harga," kata Bernard.

Sementara itu, Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan 66 persen sampai 67 persen biaya produksi minyak goreng dipengaruhi oleh harga CPO. Sisanya merupakan komponen logistik dan operasional produksi.

Sahat juga mengemukakan konsumsi domestik belum mendominasi serapan produksi produk CPO dan turunannya. Sebagian besar produksi produk minyak sawit dipasok untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

Pada 2019, persentase konsumsi domestik sekitar 31 persen dari total produksi dan pada 2021 meningkat menjadi 35 persen akibat implementasi kebijakan biodiesel. Serapan dalam negeri diperkirakan naik menjadi 37 persen.

"Kita adalah produsen terbesar di dunia, tetapi tidak bisa menjadi price leader [penentu harga] karena mayoritas produksi kita tidak dikonsumsi oleh domestik," kata Sahat di hadapan Komisi VI DPR RI.

Sahat pun menjelaskan jika tingkat konsumsi hingga tahun ini masih berkisar 37 persen, akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi penentu harga. Mayoritas produksi yang diserap oleh pasar internasional membuat masih sangat tergantung pada situasi global.

MASIH TINGGI

Pada perkembangan lain, rerata harga minyak goreng hari ini, Kamis (20/1/2022), terpantau masih memperlihatkan tren kenaikan setelah pemerintah memberlakukan kebijakan satu harga secara nasional.

Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) memperlihatkan harga minyak goreng per 20 Januari 2022 naik 0,27 persen atau Rp50 dibandingkan dengan sehari sebelumnya menjadi Rp18.850 per kilogram (kg). 

Minyak goreng kemasan bermerek 1 juga naik 1,18 persen atau setara Rp250 menjadi Rp21.350 per kg.

Sementara itu, data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP) menunjukkan harga per 19 Januari tidak berubah dibandingkan dengan sehari sebelumnya di angka Rp18.100 per liter untuk minyak goreng curah dan Rp19.100 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.

Meski harga di pasar tradisional cenderung masih tinggi, harga minyak goreng kemasan di ritel modern terpantau telah dipatok Rp14.000 per liter, baik untuk kemasan sederhana maupun premium.
 
Bagaimanapun, Kementerian Perdagangan memastikan akan mengawal ketat program minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter yang berlaku di tingkat eceran di seluruh Indonesia.

Sejumlah warga antre untuk membeli minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng murah di Halaman Kantor Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (11/1/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Menteri Perdagangan Muhammad Luttfi mengatakan masyarakat dapat membuat pengaduan ke saluran yang disediakan jika memiliki keluhan dan mendapati minyak goreng yang dijual di atas harga yang telah ditentukan.

“Kami siap membantu seluruh pihak demi kelancaran implementasi kebijakan minyak goreng kemasan satu harga. Silakan apabila mengalami kendala atau mau menyampaikan keluhan, dapat langsung menghubungi hotline yang kami sediakan,” kata Lutfi.

Kemendag menyediakan hotline 24/7 yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat melalui pesan instan WhatsApp 0812 1235 9337, surat elektronik [email protected], dan konferensi video Zoom dengan ID 969 0729 1086 (password: migor).

Lutfi juga memastikan minyak goreng kemasan satu harga akan tersedia di pasar rakyat dan pasar-pasar tradisional. 

Saat ini, Kemendag masih memberikan waktu penyesuaian bagi pasar tradisional selama sepekan sejak penetapan minyak goreng kemasan satu harga pada Rabu (19/1/2022), baik kemasan plastik maupun kemasan jeriken.

“Penyediaan minyak goreng kemasan melalui ritel merupakan tahap awal, selanjutnya kami akan memastikan minyak goreng kemasan Rp14.000 per liter tersedia di pasar tradisional di seluruh Indonesia,” tambahnya.

Terpisah, Ketua Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) Adi Wisoko mengatakan penyaluran minyak goreng subsidi ke pasar tradisional dan warung-warung kecil lebih sulit jika dibandingkan dengan ke ritel modern. 

Hal ini terjadi lantaran proses penggantian harga keekonomian produsen dan harga jual Rp14.000 per liter memerlukan bukti administrasi yang akuntabel ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

"Menagih ke BPDPKS harus disertai dokumen yang bertanggung jawab. Artinya jelas. Kalau kami pasok ke minimarket dan supermarket jelas, ada NPWP. Kalau kami jual ke warung bagaimana? Itu belum jelas pembuktian sampai konsumen Rp14.000 per liter," kata Adi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike Dita Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.