Beda Pendapat soal Keputusan MK dan Jaminan Sosial

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pengelolaan jaminan sosial ternyata mendatangkan respons berbeda. Simak penjelasannya.

Denis Riantiza Meilanova

4 Okt 2021 - 17.35
A-
A+
Beda Pendapat soal Keputusan MK dan Jaminan Sosial

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pengelolaan jaminan sosial ternyata mendatangkan respons berbeda. (Bisnis/Himawan L. Nugraha)

Bisnis, JAKARTA— Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar peleburan beberapa program yang dikelola oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) ke tubuh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dibatalkan karena tak sesuai dengan hukum memicu perbedaan respons.

MK pada Kamis (30/9/2021), dalam putusannya telah mengabulkan uji materi Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU No 24 Tahun 2011 (UU BPJS), yang dinilai berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional para peserta Asabri. MK juga mengabulkan uji materi Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS yang diajukan para pensiunan Taspen.

Dengan demikian peleburan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun dari PT Asabri (Persero), serta pengalihan program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun dari PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri atau Taspen (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang dilakukan paling lambat 2029 dibatalkan.

Terkait dengan putusan tersebut, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pelaksanaan jaminan sosial seharusnya tidak boleh diskriminatif. Sementara itu, keputusan MK itu dinilai membuat prinsip gotong royong dalam program jaminan sosial menjadi tidak terpenuhi sehingga berpotensi mengancam keberlanjutan program jaminan sosial.

Teori hukum bilangan besar, kata Timboel, seharusnya menjadi acuan bagi pelaksanaan asuransi termasuk jaminan sosial yang merupakan asuransi sosial. Artinya, makin banyak peserta, makin banyak pendapatan iuran sehingga kemampuan pembayaran klaim lebih solid.

Menurutnya, peleburan program jaminan sosial di tubuh Taspen dan Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan memberikan jaminan keberlangsungan program.

"Sebagai contoh riil adalah program jaminan kematian bagi PNS diselenggarakan oleh Taspen sejak 1 juli 2015. Tetapi karena peserta PNS-nya hanya 6 juta orang, maka ketika berlangsung selama 2 tahun, program jaminan kematian ini mengalami masalah pembiayaan klaim sehingga Taspen meminta kenaikan iuran jaminan kematian dari awalnya 0,3 persen menjadi 0,72 persen dari upah," ujar Timboel ketika dihubungi Bisnis, Senin (4/10/2021).

Kalau saja jaminan kematian ini diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan, maka dengan peserta aktif 29 juta akan mampu semua peserta bergotong royong membiayai peserta PNS yang meninggal. Di sisi lain, bila Taspen tak memiliki kemampuan untuk membayar klaim, anggaran negara turut terbebani saat iuran jaminan kematian harus dinaikkan.

Menurutnya, pengelola jaminan sosial memang seharusnya dikelola oleh lembaga yang diamanatkan oleh undang-undang (UU), sementara pijakan hukum Asabri dan Taspen masih berdasar Peraturan Pemerintah (PP).  


"Dalam pertimbangan hukum MK menyebutkan penyelenggara jaminan sosial itu tidak harus dilebur, tetapi disesuaikan badan hukum perseronya, sehingga Asabri dan Taspen seharusnya punya pijakan hukum UU, bukan yang sekarang, yaitu PP," kata Timboel.

Dia menilai peleburan pengelolaan program layanan Taspen dan Asabri akan membuat efisiensi biaya operasional karena dijadikan satu dengan BPJS Ketenagakerjaan sedangkan jika dibuat lagi UU untuk melegitimasi Taspen dan Asabri, akan timbul biaya operasional di masing-masing entitas.  

Pengelolaan jaminan sosial ketenagakerjaan yang terpisah-pisah menurutnya tidak efektif dan efisien.

"Menjadi hal umum, pengelola jaminan sosial itu dilaksanakan oleh lembaga nirlaba, sementara Taspen adalah lembaga yang mengejar profit. Ini akan berdampak pada tata kelolanya. Saya menilai tata kelola BPJS Ketenagakerjaan lebih baik dari Taspen dan Asabri," katanya.

Sementara itu, Direktur Utama Asabri,, Wahyu Suparyono mengatakan bahwa dalam beroperasi, pihaknya selalu berpedoman terhadap regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk adanya putusan MK Nomor 6/PUU-XVIII/2020.  

"Artinya, dengan putusan MK itu, sebagai operator kami tetap jalan dan harus tunduk terhadap regulator," ujar Wahyu ketika dihubungi Bisnis, akhir pekan lalu.

Wahyu menambahkan bahwa sekarang ini, Asabri tengah fokus melakukan penyehatan kinerja perseroan. Strategi yang tengah dilakukan perseroan, antara lain perbaikan tata kelola perusahaan dan investasi. 

Perseroan mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, terutama yang berkaitan dengan kewenangan komisaris dan tata kelola investasi. Perubahan anggaran dasar ini, kata Wahyu, telah disetujui oleh Menteri BUMN Erick Thohir selaku pemegang saham.

"Investasi untuk jumlah-jumlah tertentu sekarang harus izin komisaris. Kemarin kan ugal-ugalan, siapapun bisa investasi, kepala divisi saja bisa keluarkan. Misal, mau investasi Rp1 triliun sekarang direksi enggak bisa, harus izin komisaris. Bahkan kalau tidak ada kajian, tidak bisa," katanya.

Selain itu, Asabri tengah mengajukan permohonan untuk unfunded past service liability (UPSL) dan permohonan penyesuaian bunga aktuaria kepada Kementerian Keuangan. Asabri juga sedang mengupayakan pemulihan kinerja aset dari kasus kerugian aset investasi Asabri yang masih dalam proses persidangan di pengadilan.

"Pola-pola penyehatan tidak hanya terkait keuangan, tetapi juga layanan. Termasuk kami sedang memperbaiki layanan digital," tutur Wahyu.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Taspen (Persero) A.N.S. Kosasih mengatakan bahwa sebagai BUMN yang taat hukum, Taspen akan mengikuti Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

"Selama ini sebagai BUMN dana pensiun terbesar di Indonesia kami secara profesional mengelola dana pensiun ASN dan pejabat negara dengan prinsip PAHALA (Pastikan Aman, Hasil, Andal, Likuid dan Antisipatif),” ujar Kosasih ketika dihubungi Bisnis, Jumat (1/1/2021).

Direktur Utama BP Jamsostek, Anggoro Eko Cahyo mengatakan bahwa sebagai pihak terkait, instansinya menghormati dan menerima putusan tersebut.


"Sebagai badan hukum publik, semua kegiatan operasional BP Jamsostek tentunya berdasar pada regulasi, termasuk perubahannya, seperti putusan MK ini," kata Anggoro melalui keterangan tertulisnya yang diterima Bisnis, Senin (4/10/2021).

Perlindungan Jamsostek yang dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan tersebut terdiri atas program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JKM) dan yang terakhir Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Anggoro menambahkan salah satu upaya instansinya dalam memperluas kepesertaan adalah terus mengedukasi pekerja, pemberi kerja, dan pemangku kepentingan lainnya bahwa manfaat program Jamsostek sangat baik dan lengkap.

Dia menyebut beberapa manfaat yang diberikan berupa perawatan dan pengobatan bagi korban kecelakaan kerja tanpa batasan biaya untuk peserta JKK, manfaat beasiswa hingga Rp174 Juta pada program JKK dan JKM, santunan kematian sejumlah Rp42 juta pada program JKM, hingga manfaat hasil pengembangan JHT di atas bunga deposito bank pemerintah.

“Semua bentuk perlindungan itu dapat diraih dengan iuran yang sangat ringan," katanya.

Dia juga menekankan pihaknya terus berupaya meningkatkan pelayanan, yang telah menjangkau seluruh Indonesia melalui sebaran 325 kantor cabang, ditambah layanan daring melalui situs, dan aplikasi JMO.

Anggoro berharap dengan putusan MK ini, semua pihak terkait dapat melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing agar pekerja Indonesia mendapatkan perlindungan jaminan sosial sesuai haknya sebagai pekerja, dan sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.