pertumbuhan ekonomi

Jakarta macet lagi. Cerita itu yang kini semakin santer terdengar. Normal kembali seperti sebelum pandemi.
Bukan cuma Jakarta. Kota-kota lain di Jawa juga cenderung makin sibuk. Jalur Solo-Jogja, yang biasa saya lalui setidaknya sepekan sekali, juga makin padat.
Jalan raya utama yang menghubungkan dua kota itu rendhet di pagi dan sore hari, saat warga berangkat dan pulang kerja.
Tempat-tempat wisata juga makin ramai. Di gunung maupun pantai. Sekadar gambaran, Sabtu (6/11) pekan lalu, saya pergi ke Dieng. Saya menyaksikan manusia berjejal di destinasi wisata favorit di Jawa Tengah itu.
Sebelumnya, saya lihat di pantai-pantai selatan Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kesibukan baru juga tak kalah seru.
Wisatawan &ldquo;balas dendam&rdquo;, begitu banyak orang menyebut, menyemut di pantai-pantai itu. Mereka seakan lepas dari kungkungan selama hampir dua tahun pandemi.
Maka, macet itu pertanda baik. Destinasi yang dijejali pengunjung juga pertanda baik. Secara lokal, itu terjadi karena pelonggaran mobilitas terkait dengan pengendalian pandemi Covid-19.
Kebanyakan daerah di Jawa sudah masuk level 2, bahkan beberapa di antaranya level 1. Hanya sedikit yang masih level 3, dan tidak ada lagi yang mangkrak di level 4.
Dalam terminologi PPKM, level 1 sampai 4 itu menggambarkan tingkat keketatan pembatasan mobilitas dalam segala urusan.
Level 1 paling longgar dan level 4 paling ketat. Di banyak negara, level 4 ini disebut lockdown. Indonesia tidak mengenal istilah penguncian atau lockdown sejak awal.
Dan yang menggembirakan, secara global, Indonesia masuk jajaran negara yang berada pada level 1. Hal itu bukan semata klaim dari Indonesia sendiri, melainkan label yang disematkan oleh CDC atau pusat kendali wabah di Amerika Serikat.
Artinya, Indonesia relatif paling aman dan berhasil dalam pengendalian pandemi Covid-19 hingga hari ini. Dengan kebijaksanaan lokal, atau local wisdom.
Potret Indonesia itu memberikan gambaran bahwa situasi pandemi yang terjadi saat ini sudah berangsur-angsur membaik.
Bahkan secara global. Saya membaca laporan McKinsey terbaru, bahwa ekonomi terus semakin menggeliat di seluruh belahan dunia. Mulai dari Amerika hingga Eropa.
Salah satu indikatornya adalah pertumbuhan ekspansi industri pengolahan yang diukur melalui Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur. PMI manufaktur global pada periode Oktober sebesar 54,1.
Geliat manufaktur global itu disertai angka pengangguran yang umumnya menurun. Perdagangan dunia juga dilaporkan telah pulih secara efektif ke tingkat sebelum pandemi.
Bahkan di Amerika Serikat, PMI manufaktur bertengger pada posisi kuat di level 58,4 pada Oktober, Zona Euro 58,3 dan India 55,9. Indonesia sendiri, angka PMI manufaktur juga melejit pada Oktober.
Menurut data IHS Markit, PMI manufaktur Indonesia menyentuh level 57,2 pada Oktober, melesat dari posisi 52,2 pada September 2021.
Ini menggambarkan bahwa laju ekspansi manufaktur terus meningkat beberapa bulan terakhir. Bahkan untuk Indonesia, indeks manufaktur itu bahkan lebih tinggi dari level sebelum pandemi. Jelas ini semua adalah kabar baik.
***
Namun, ketika hampir seluruh belahan bumi mengalami tanda-tanda euforia pemulihan ekonomi, giliran hari ini kita menghadapi persoalan baru yang tak kalah krusial. Belakangan kita kerap mendengar di sejumlah negara menghadapi persoalan energi.
Euforia pemulihan ekonomi, yang terutama dipicu oleh pembukaan kegiatan ekonomi dan pelonggaran mobilitas yang makin merata di seluruh dunia, telah mengungkit permintaan energi yang kian membeludak. Akibatnya, di negara-negara Eropa dan sejumlah negara Asia mulai muncul ketidakseimbangan pasok dan permintaan energi.
Dampaknya, harga bahan bakar minyak dan gas bumi terdorong naik sejak September dan Oktober lalu. Akibat kenaikan harga minyak dari sekitar US$40 per barel pada tahun lalu, menjadi lebih dari US$80 per barel saat ini, pemasok energi beralih ke batu bara.
Gilirannya kemudian, harga batu bara naik hampir empat kali lipat dari US$57 per ton pada tahun lalu menjadi lebih dari US$220 per ton. Pergeseran konsumsi bahan bakar dari minyak dan gas bumi ke batu bara menyebabkan harga komoditas itu berlipat ganda.
Padahal, baru saja dalam pertemuan COP-26 di Glasgow, para pemimpin dunia menyepakati transisi baru ke arah energi terbarukan pada tahun 2060. Dan Indonesia turut mengamini.
Masalahnya, transisi menuju energi terbarukan itu tampaknya tidak berlangsung mulus. Padahal, beberapa negara di Eropa sudah terlanjur buru-buru menjalankan regulasi yang lebih ketat untuk menghindarkan bahan bakar fosil dengan sumber terbarukan.
Kombinasi berbagai faktor itu menghasilkan &ldquo;kejutan&rdquo; krisis energi saat ekonomi dunia memasuki fase awal pemulihan. Tidak hanya di Eropa, melainkan juga merembet ke Asia, termasuk India dan China.
Bahkan kini mulai muncul berbagai proyeksi, harga minyak bakal naik ke US$150 per barel, bila pemulihan ekonomi pascapandemi memicu lonjakan permintaan pasok energi yang meledak dalam waktu singkat.
Krisis energi dunia di pengujung pandemi ini juga dipicu ketidakseimbangan pasok-permintaan akibat regulasi green energy yang masih rapuh di banyak negara. Pasalnya, produksi green energy memang tidak mudah.
Sekadar ilustrasi, di China yang belakangan relatif agresif dalam mendorong green energy, termasuk penggunaan kendaraan listrik, ketergantungan terhadap energi berbasis karbon masih sangat tinggi. Faktanya, tidak mudah bagi China membangun 100 gigawatt pembangkit tenaga surya dan 50 gigawatt tenaga angin setiap tahun.
***
Lantas bagaimana dengan Indonesia?
Jelas bahwa tanda-tanda pemulihan ekonomi butuh pasok energi yang kian besar. Dan di sisi lain, Indonesia juga turut berkomitmen untuk menuju green energy. Ini menjadikan dan menempatkan Indonesia pada posisi yang dilematis.
Apalagi, dalam realitas sehari-hari, Indonesia masih sulit melepas bahan bakar fosil dan batubara dan menggantikannya dengan energi baru dan terbarukan. Di sinilah tantangannya.
Ada ambivalensi yang cukup kuat; di saat pandemi Covid-19 mulai teratasi dan tanda-tanda pemulihan ekonomi kian menguat, kita juga dituntut untuk bergerak menuju penyediaan energi baru dan terbarukan. Tentu ini bukan perkara mudah.
Pasalnya, sesuai dengan komitmen dekarbonasi pada 2060, penyediaan energi terbarukan di Indonesia harus tumbuh secara eksponensial dan ekstrim. &ldquo;Tidak bisa hanya business as usual,&rdquo; kata Riki Ibrahim, Dirut Geo Dipa Energy.
Saya sepakat. Dan di situlah tantangannya. Untuk memenuhi komitmen dekarbonasi pada tahun 2060, maka Indonesia membutuhkan power plant dari energi terbarukan sebesar 10 hingga 12 giga watt per tahun sampai dengan 2030. Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk terus melakukan modernisasi grid, selain mengatasi over capacity PLN.
Maka tidak ada jalan lain. Investasi dalam energi terbarukan ini harus terus digenjot, dengan memanfaatkan potensi di banyak daerah. Di Jawa Tengah, misalnya, banyak potensi energi terbarukan termasuk energi surya dan panas bumi yang perlu didorong agar segera diselesaikan.
Apalagi potensi panas bumi ini bisa beroperasi dalam jangka lebih panjang, sampai 100-200 tahun mendatang. Di Indonesia, salah satu kisah sukses energi panas bumi ini adalah di Jawa Barat, di mana banyak daerah telah menikmati pasok energi terbarukan dari panas bumi.
Mengelola keseimbangan baru dalam pasok dan permintaan energi yang sejalan dengan momentum pemulihan ekonomi ini tentu tidak mudah. Namun pemerintah tidak punya pilihan. Terus melakukan akselerasi dalam investasi energi terbarukan ini, atau terjebak dalam krisis energi seperti di belahan dunia yang lain.
Tentu, tanpa harus mengendurkan fokus pada upaya pengendalian risiko Covide-19 di pengujung periode pandemi ini. Dengan demikian, kita siap untuk mempercepat recovery, sekaligus dapat benar-benar dapat terbebas dari wabah yang mengekang kehidupan ekonomi sehari-hari.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Maka, macet itu pertanda baik. Destinasi yang dijejali pengunjung juga pertanda baik. Secara lokal, itu terjadi karena pelonggaran mobilitas terkait dengan pengendalian pandemi Covid-19.

BERANDA : Mengamankan Energi Pemulihan Ekonomi

Pemerintah tengah membentuk Indonesia Tourism Fund atau dana abadi pariwisata. Penyusunan Peraturan Presiden (Perpres) tengah dilakukan untuk membentuk lembaga dan tata kelola dana abadi pariwisata. Adapun alokasi dana pariwisata mencapai Rp2 triliun.

Polemik Rencana Pungutan Iuran Pariwisata dari Tiket Pesawat

Menghadapi pasar yang melesu, kalangan pabrikan atau agen pemegang merek punya strategi beragam untuk tetap menjaga perfoma penjualannya.

Siasat Pabrikan Truk Menghadapi Pasar Lesu

Meskipun pendapatannya masih bertumbuh, laba bersih TLKM tertekan pada kuartal pertama 2024 akibat peningkatan sejumlah beban. Meski begitu, sejumlah analis masih merekomendasikan beli terhadap saham TLKM.

Laba TLKM Tertekan di Kuartal Pertama 2024, Simak Rekomendasi Sahamnya

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020, salah satu target RPJMN yakni kontribusi ekspor produk industri berteknologi tinggi mencapai 13% pada tahun ini. 

Jurus Kemenperin Perluas Pasar Ekspor Non Migas RI

Bank Indonesia memastikan industri perbankan nasional dalam kondisi yang stabil meski suku bunga acuan kembali dinaikkan pada RDG April 2024. Meski demikian, data OJK menunjukkan adanya gejala pelemahan kinerja bank pada awal tahun ini.

Menakar Dampak Naiknya BI Rate pada Bisnis Bank

Tak hanya di dalam negeri, Medco juga bermanuver di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Oman, Yaman, Meksiko, Libya, dan Tanzania, dengan aktif menanamkan investasinya di sejumlah proyek migas.