Berat Sebelah Keberpihakan Pajak

Sulit untuk mengesampingkan negosiasi politik dalam penghapusan alternative minimum tax. Keputusan ini merupakan kompromi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mengompensasi peningkatan beban pelaku usaha dari pengenaan tarif PPh badan 22%  tahun depan.

Tim Redaksi

7 Okt 2021 - 23.59
A-
A+
Berat Sebelah Keberpihakan Pajak

Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, Jum\'at (31/3)./Antara

Bisnis, JAKARTA – Hanya dalam waktu sangat singkat, yakni sekitar tiga bulan pembahasan di Komisi XI DPR, RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan –sebelumnya bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan— dibawa ke sidang paripurna DPR.

Perkembangan itu disampaikan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo melalui kicauannya di Twitter, Rabu (29/9/2021) malam. Hal yang sama juga dia kemukakan di akun Instagramnya.

“Kerja marathon tanpa jeda itu berbuah. Proses yang deliberatif, diskursif, dan dinamis ini mendekati ujung yang benderang," tulisnya di Instagram.

RUU KUP masuk ke DPR dengan pengantar Surat Presiden No R21 tertanggal 5 Mei 2021. RUU itu kemudian dibahas perdana antara Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan pada Senin (28/6/2021) melalui konferensi video.

Hari ini, dalam sidang paripurna DPR, RUU itu disahkan menjadi UU dengan persetujuan delapan fraksi, yakni F-PDIP, F-Golkar, F-Gerindra, F-Nasdem, F-PKB, F-Demokrat, F-PAN, dan F-PPP. Hanya F-PKS yang menolak. Konstelasi ini sama dengan pembahasan di tingkat komisi.

Dibandingkan dengan pembahasan RUU KUP pada 2007 yang menelan waktu dua tahun, pembahasan RUU HPP tentu superkilat.  

Anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan, mengatakan dinamika global yang begitu cepat dan belum diantisipasi regulasi perpajakan saat ini menjadi alasan DPR segera mengesahkan RUU HPP. Perkembangan itu temasuk pertumbuhan bisnis digital dan transaksi dagang-el.

Jika dinamika tersebut tak segera diantisipasi, ada celah untuk menghindari pajak secara lintas yurisdiksi.

“Berdasar latar belakang keadaan itulah, DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan harmonisasi peraturan perpajakan. Dalam rangka itu, segenap regulasi perlu disempurnakan dan perlu dibuat untuk menopangnya,” ujarnya, sesaat setelah RUU HPP disahkan, Kamis (7/10/2021).

Pembahasan RUU HPP diketahui kental dengan nuansa kompromi antara DPR, pemerintah, dan pengusaha. Sumber Bisnis yang mengetahui perjalanan pembahasan RUU mengatakan kompromi itu menyangkut tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang tetap 22% tahun depan –rencana tarif 20% batal. Kompensasinya, pasal-pasal yang memberatkan pelaku usaha dianulir.

Pertama, pembatalan rencana pengenaan PPh minimum atau alternative minimum tax (AMT) sebesar 1% untuk perusahaan yang merugi selama 5 tahun berturut-turut.

Kedua, penganuliran general anti avoidance rule (GAAR) atau ketentuan antipenghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan penghindaran atau tidak mencakup substansi bisnis.

Ketiga, lenyapnya substansi yang mengatur tindak pidana perpajakan bagi wajib pajak badan alias korporasi. Sebelumnya, ketentuan ini tertuang secara detail dalam pasal 39B RUU HPP.

Keempat, pelonggaran sanksi administrasi yang ditetapkan memiliki kurang bayar pajak, yang hanya mengacu pada tarif bunga, bukan dari PPh yang tidak atau kurang bayar dalam 1 tahun pajak sebagaimana selama ini berlaku. Selain itu, sanksi denda dikurangi jika keberatan serta permohonan banding wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian.

Kelima, pelonggaran tarif pengampunan pajak atau dalam UU HPP disebut dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak (PPSWP). Dalam PPSWP, pemerintah menetapkan tarif PPh atas harta di kisaran 6%—18%, jauh lebih tinggi dari usulan pemerintah 12,5%—30%.

Kelonggaran demi melindungi kepentingan pengusaha itu juga diamini oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewakili pemerintah dalam sidang paripurna di DPR.

“Pemerintah juga menyepakati usulan DPR untuk tidak mencantumkan ketentuan mengenai pajak minimum alternatif (alternative minimum tax/AMT) dan general anti avoidance rule (GAAR) dalam RUU ini, agar kondisi kegiatan usaha dan iklim investasi tetap kondusif,” katanya saat membacakan pandangan akhir pemerintah tentang RUU HPP.

Pemerintah berjanji tetap akan melakukan langkah-langkah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melalui kerja sama internasional untuk melindungi basis pajak dan kepentingan penerimaan negara dari praktik-praktik penghindaran pajak.

Keberpihakan RUU HPP terhadap pengusaha juga disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, RUU itu memberikan keleluasaan kepada pengusaha sehingga memiliki kontribusi yang besar terhadap pemulihan ekonomi.

“Diharapkan perubahan ini memberikan banyak ruang bagi para pengusaha,” katanya.

Pengajar ilmu administrasi fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menilai sulit untuk mengesampingkan negosiasi politik dalam penghapusan AMT ini.

Menurutnya, keputusan ini merupakan kompromi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mengompensasi peningkatan beban pelaku usaha dari pengenaan tarif PPh badan 22%  tahun depan.

“Semua perdebatan serta pro kontra dari isi RUU akan berakhir pada satu kata, yaitu kompromi,” ujarnya.

BEBAN MENENGAH KE BAWAH

Di tengah keberpihakan kepada pengusaha itu, pemerintah dan DPR justru menelurkan kebijakan yang membebani kelompok menengah ke bawah dengan mengerek tarif PPN atau pajak atas konsumsi.

Per April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11% dan kemudian menjadi 12% paling lambat pada 2025. Kendati kebutuhan pokok tetap mendapat pengecualian, keputusan ini dapat menggerus daya beli yang masih lunglai akibat dampak pandemi Covid-19. Daya beli yang turun berisiko memperpanjang pemulihan konsumsi rumah tangga, pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus mengestimasi kenaikan tarif PPN berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi 0,02%.

Sejalan dengan itu, upah riil juga berisiko mengalami penurunan hingga 6,2% karena inflasi yang diperkirakan meningkat 0,4%. Ahmad memprediksi konsumsi masyarakat berpotensi turun hingga 2,05%.

“Kalau upah riil turun, maka akan mendorong penurunan konsumsi,” katanya.

Di samping itu, kenaikan tarif PPN juga akan menurunkan pendapatan sekitar 5% secara rerata di seluruh kelompok rumah tangga. (Maria Elena/Wibi Pangestu Pratama/Tegar Arief Fadly/Sri Mas Sari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.