Berkelit dari Senjalaka Bisnis Seluler Ritel

Perlahan tetapi pasti, pasar industri seluler segmen ritel mulai mengalami kejenuhan. Makin lama, operator telekomunikasi makin sulit menambah pelanggan baru dari segmen ini. Lantas, strategi apa yang harus dilakukan agar bisnis operator di Indonesia makin berkembang pada masa depan?

Leo Dwi Jatmiko

5 Nov 2021 - 18.12
A-
A+
Berkelit dari Senjalaka Bisnis Seluler Ritel

Pengunjung mencoba ponsel pintar Galaxy Z Flip yang dipajang saat acara peluncuran di San Francisco, California, Amerika Serikat, Selasa (11/2/2020). Bloomberg/Michael Short

Bisnis, JAKARTA — Perlahan tetapi pasti, pasar industri seluler segmen ritel mulai mengalami kejenuhan. Makin lama, operator telekomunikasi makin sulit menambah pelanggan baru dari segmen ini.

Permasalahannya, untuk beralih ke segmen korporasi, dibutuhkan proses negosiasi yang panjang. Walau bagaimanapun, proses tersebut terpaksa harus dijalani guna memperpanjang napas industri seluler di Tanah Air.

Merujuk pada data We Are Social, jumlah pengguna internet pada awal 2021 mencapai 202,6 juta, atau naik 15,5 persen (27 juta pengguna) jika dibandingkan dengan Januari 2020. 

Sementara itu, jumlah total gabungan pelanggan tiga operator seluler besar di Indonesia—Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata—pada Desember 2020 mencapai 287,73 juta pelanggan.

Jika ditambah dengan Tri Indonesia dan Smartfren, jumlahnya menjadi sekira 337 juta atau bertambah 50 juta. 

Di tengah pasar seluler ritel yang makin sesak, operator seluler terus bersaing ketat memperebutkan dan menambah jumlah pelanggan baru. Hal itu menjadi penyebab jumlah pengguna internet tidak akan pernah menyalip jumlah pelanggan operator seluler.

Faktor tersebut lantas melahirkan praktik perang harga layanan, di tengah desakan operator untuk mempertahankan pangsa pelanggan masing-masing dan sebisa mungkin mencaplok pelanggan operator lain. Operator seluler pun gencar membangun jaringan. 

Dalam sebuah wawancara, Ketua Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ITB Ian Yosef M. Edward mengatakan penambahan kapasitas dan ekspansi jaringan saja sulit untuk mendongkrak jumlah pelanggan.

Terlebih, jika areal ekspansi yang disasar adalah daerah yang sudah jenuh atau terdapat banyak layanan operator seluler.

Sesuai peraturan dari pemerintah, pelanggan tidak dapat gonta-ganti kartu atau berlangganan banyak operator lagi. Regulasi registrasi kartu prabayar membatasi praktik tersebut.

Menurut Ian, peluang penambahan jumlah pelanggan ke depan berasal dari pasar mesin atau internet untuk segala alias internet of things (IoT).  

“Pelanggan IoT seperti vending machine, pemantau cuaca dan lain-lain, untuk datanya dikirim dengan jaringan seluler,” kata Ian.

Asosiasi IoT Indonesia (Asioti) menyebut untuk di Indonesia, pasar IoT mencapai US$40 miliar pada 2025. Khusus untuk sektor telekomunikasi dan media, pasarnya mencapai US$30 miliar pada 2025.

BIDIK KORPORASI

Berbanding lurus dengan data tersebut, operator seluler pun beramai-ramai mulai menggenjot pendapatan dari pasar IoT dengan melakukan penetrasi ke segmen korporasi dan pemerintahan.

Dalam menghadirkan solusi IoT, perusahaan seluler bermain di empat lapisan sekaligus yaitu jaringan, platform, aplikasi, dan perangkat. 

Salah satu operator yang agresif membidik pasar korporasi untuk solusi IoT adalah PT Indosat Tbk.

Perusahaan berkode saham ISAT itu memiliki beberapa solusi IoT yang siap mendukung transformasi digital di perusahaan dan pemerintahan. 

Indosat memiliki smart productivity (produktivitas pintar) yang membantu industri untuk menerapkan standar overall equipment effectiveness (OEE).

OEE merupakan metode pengukuran untuk menentukan efektivitas penggunaan dan pemanfaatan mesin, peralatan, waktu dan material dalam suatu sistem operasi pada lantai produksi secara akurat.

Indosat juga memiliki solusi manajemen armada dengan menggunakan aplikasi bergerak (mobile) dan perangkat IoT untuk menjaga biaya operasional dan pemantauan kendaraan perusahaan yang lebih efektif dengan fitur baru, Connected Car.

Dengan sejumlah solusi yang diberikan itu, Indosat membukukan pendapatan senilai Rp2,65 triliun dari segmen bisnis B2B Enterprise pada kuartal II/2021, naik 16,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.  

SVP Head Corporate Communications Indosat Steve Saerang mengatakan munculnya kebutuhan baru terhadap solusi IoT, layanan teknologi informasi, layanan komputasi awan dan keamanan, menjadi pendorong pertumbuhan tersebut. 

“Indosat berkomitmen untuk terus mendukung seluruh pelanggannya termasuk pelanggan korporasi dan pemerintahan,” kata Steve. 

Saat ini Indosat dalam jalur melebur dengan Tri Indonesia. Keduanya akan membentuk perusahaan bernama Indosat Ooredoo Hutchison dan diprediksi menjadi operator seluler nomor dua terbesar kedua di Tanah Air, dengan perkiraan pendapatan tahunan mencapai US$3 miliar. 

Dalam mengembangkan layanan telekomunikasi—termasuk IoT—Indosat Ooredoo Hutchison akan mendapat dukungan permodalan kuat dari Ooredoo dan CK Hutchison.

Masing-masing pemegang saham pada 2020 membukukan pendapatan senilai US$7,96 miliar dan US$52 miliar.   

Selain permodalan, Ketua Umum Asioti Teguh Prasetya mengatakan keunggulan gabungan kedua perusahaan dalam pengembangan IoT adalah dalam kekuatan di jaringan.

Porsi konektivitas dalam pasar IoT untuk seluler mencapai 9% dari total pasar. Artinya, jika pasar IoT US$30 miliar, kontribusi yang diberikan hanya dengan bermodalkan jaringan IoT saja mencapai US$2,7 miliar. 

Meski memberi dampak, gabungan kedua perusahaan harus dapat bermain di lapisan aplikasi, platform dan perangkat, untuk memperoleh manfaat yang lebih besar dari segmen enterprise pengguna IoT. 

Ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Indosat Ooredoo Hutchison. 

“Paling penting mereka harus bisa membuat solusi-solusi IoT. Menurut Watch Economy Forum, masih banyak segmen yang terbuka terhadap IoT dan itu operator seluler belum masuk ke dalamnya,” kata Teguh. 

Dengan masuk ke dalam segmen baru tersebut, kata Teguh, operator seluler tidak akan terjebak dalam konektivitas saja. Mereka akan mengembangkan aplikasi dan platform IoT, sehingga kemudian menjadi perusahaan solusi digital. 

Teguh mengatakan Hutchison memiliki rekam jejak di sektor IoT. Induk dari Tri Indonesia itu memiliki banyak solusi IoT yang berpeluang diadopsi di Tanah Air lewat Indosat Ooredoo Hutchison. 

“[Pada] 2025 pasar IoT mencapai US$40 miliar, kalau operator di Indonesia melakukan implementasi solusi IoT, untuk solusi saja US$17,9 miliar. Platform sebesar US$13,1 miliar. Jika dijumlah US$30 miliar, operator tinggal mau ambil berapa persen dari sini?” kata Teguh.  

Permintaan pasar IoT di Tanah Air bisa jadi bakul makin besar. Komersialisasi generasi kelima yang telah dimulai oleh Indosat, Telkomsel, dan XL akan mendorong percepatan transformasi digital di industri. 

Kebutuhan pemain di sektor manufaktur, pertanian, perkebunan, kesehatan, pemerintahan dan lain sebagainya akan makin aneh-aneh. 

Biaya murah, manfaat besar, dan inovatif merupakan tiga tuntutan utama mereka sekaligus menjadi tantangan bagi operator seluler yang ingin meraup kue dari pasar IoT.

Jika operator tidak sanggup, balik saja ke pasar ritel dan berdarah-darah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.