Berkelit dari Teror Krisis Bahan Baku Industri Pertekstilan

Kapas diproyeksikan mengalami defisit pasokan global selama 2 tahun berturut-turut. Industri tekstil dalam negeri pun perlahan bakal menaikkan harga jual produk mereka akibat melesatnya harga bahan baku di pasar internasional. 

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

12 Okt 2021 - 19.10
A-
A+
Berkelit dari Teror Krisis Bahan Baku Industri Pertekstilan

Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020)./ANTARA FOTO-M Risyal Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Pelaku industri pertekstilan bersiap menaikkan harga jual produk hilirnya seiring dengan terus berlanjutnya lonjakan harga kapas di pasar  global.

Langkah tersebut salah satunya akan ditempuh oleh PT Pan Brothers Tbk. Perusahaan berkode sahan PBRX bakal menyesuaikan harga produk ekspor mereka seiring melesatnya harga kapas di pasar internasional.

Vice CEO Pan Brothers Anne Patricia Sutanto mengatakan penyesuaian harga produk itu tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor perusahaan. 

“Kami akan sesuaikan [harga jual produk ekspor] dengan harga bahan baku. Jadi dampaknya kenaikan harga produk, tetapi tidak berdampak pada naik atau turunnya ekspor karena ini komoditas global,” kata Anne saat dihubungi Bisnis, Selasa (12/10/2021). 

Setelah penyesuaian harga produk, Anne mengatakan, kebijakan itu tidak bakal berdampak langsung pada pengurangan laba atau margin dari setiap pengiriman produk garmen ke luar negeri.

Alasannya, penyesuaian harga itu bakal mengikuti ketetapan harga yang berlaku di pasar internasional saat ini.

“Harga pasar dunia naik, tetapi tidak berurusan dengan pengurangan margin karena kami membuat ongkos berdasarkan harga terkini, bukan harga yang lalu,” kata dia. 

Di sisi lain, dia mengatakan, eksportir garmen dalam negeri dapat mengambil peluang untuk meningkatkan ekspor ke sejumlah negara yang terdampak akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Selain itu, kurva pandemi Covid-19 di Indonesia yang relatif membaik juga dapat menjadi momentum untuk memasok produk garmen ke pasar internasional. 

“Indonesia sudah kompetitif sekarang untuk pasokan ke dunia. Kita tidak terkena lockdown terus ada peralihan dari negara-negara yang geopolitiknya bentrok dengan Amerika Serikat dan Dunia Barat,” tuturnya.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja juga mengatakan industri tekstil dalam negeri perlahan bakal menaikkan harga jual produk mereka akibat melesatnya harga bahan baku kapas di pasar internasional belakangan ini. 

Jemmy mengatakan peningkatan harga itu juga terjadi pada bahan baku yang mayoritas digunakan di Indonesia seperti poliester dan rayon. 

“Dampaknya yang pasti ada penyesuaian harga jual. Memang penyesuaian harga jual, menaikkannya [harga] itu perlu waktu,” kata Jemmy. 

Melansir China Chemical & Fiber Economic Information Network (CCFEI), Jemmy menuturkan, harga serat poliester mengalami peningkatan sebesar 11% selama dua pekan terakhir.

Kenaikkan harga serat tersebut, menurut dia, turut dipengaruhi oleh krisis energi yang melanda China. 

“Kami tidak bisa berbuat banyak karena ini adalah barang komoditas. Harga bahan baku poliester, kapas, dan rayon mengikuti harga pasar di dunia. Kami harus menyesuaikan” kata dia.

Sekadar catatan, harga kapas berjangka melesat melampaui US$ 1 per pon untuk pertama kalinya dalam hampir 1 dekade karena cuaca buruk. Hambatan pengiriman yang mengancam pasokan pun turut mengerek biaya produksi pakaian di seluruh dunia. 

Di New York, kontrak untuk pengiriman Desember 2021 naik ke angka US$1,005 per pon, tertinggi sejak November 2011. 

Per Selasa (28/9/2021), harga kapas telah melonjak 28% secara year to date (YtD) karena permintaan yang ketat terutama dari China, ditambah dengan gangguan pasokan akibat pandemi dan kekacauan logistik yang dipicu oleh naiknya biaya pengiriman.

Kapas diproyeksikan mengalami defisit pasokan global selama 2 tahun berturut-turut. China, selaku pengguna utama, membutuhkan sumber serat baru untuk industri tekstilnya di tengah reaksi internasional tentang pelanggaran perburuhan di Xinjiang, wilayah penghasil terbesarnya. 

Lain pihak, AS melarang impor produk kapas dari Xinjiang awal tahun ini. Negara-negara berkembang utama lainnya seperti Bangladesh, Pakistan dan India mengalami masalah panen. Meksiko, pembeli utama, akan membeli serat Amerika paling banyak dalam 11 tahun. 

Ekspor AS pada musim 2020-2021 yang berakhir pada Juli adalah yang tertinggi dalam 15 tahun pada 16,4 juta bal, didorong oleh rekor impor global. China melampaui Vietnam sebagai tujuan terbesar kapas AS untuk pertama kalinya dalam enam tahun.

Kekhawatiran pasokan terbaru datang dari India, di mana panen di Punjab gagal karena penyakit bollworm.

Kementerian Perindustrian, di sisi lain, tengah berfokus mengembangkan bahan baku pengganti untuk mengantisipasi kenaikkan harga kapas di pasar internasional yang melampui US$1 per pon untuk pertama kalinya selama hampir satu dekade. 

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh mengatakan langkah itu menjadi solusi yang dapat diambil untuk mengatasi gejolak harga kapas di pasar internasional.

Selain itu, Elis menambahkan, kementerian tengah mendorong pencampuran sejumlah bahan baku pengganti untuk dapat menghasilkan produk yang memenuhi standar ekspor. 

“Kita punya industri rayon di Indonesia yang sedang mengembangkan kapasitasnya. Bahkan, rayon ini memang punya Indonesia yang bisa menggantikan kapas,” kata Elis. 

Kendati demikian, Elis mengakui, terdapat sejumlah karakteristik kapas yang tidak mudah dipenuhi oleh rayon.

Kendala itu, menurut dia, dapat diatasi dengan mencampur rayon dengan poliester hingga serat bambu untuk mencapai produk yang sesuai standar bahan baku kapas. 

Malahan dia menuturkan, industri poliester dalam negeri belakangan berhasil menciptakan sifat-sifat kapas pada bahan baku poliester. Dengan demikian, pengembangan bahan baku alternatif itu dapat menjadi solusi bagi industri tekstil dalam negeri berbasis kapas dan berorientasi ekspor. 

“Kita terus mempromosikan ini, juga memsosialisikan ke buyer-buyer yang tujuannya ekspor. Industri harus menegosiasikan ulang dengan buyer-buyer tersebut,” kata dia. 

PENGARUH MINIM

Perspektif berbeda, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menegaskan kenaikkan harga kapas di pasar internasional tidak bakal berdampak langsung pada industri tekstil dalam negeri. 

Redma beralasan produsen tekstil untuk kebutuhan domestik selama ini sudah menggunakan bahan baku pengganti kapas seperti polyester dan rayon yang dapat diproduksi dalam negeri. 

Di sisi lain, Redma mengatakan, kebutuhan kapas hanya mencapai 600.000 ton setiap tahunnya. Adapun, 60% kebutuhan bahan baku kapas itu digunakan untuk produk ekspor. Sisanya, kebutuhan bahan baku kapas itu digunakan untuk industri dalam negeri. 

“Tidak akan ada gejolak harga di dalam negeri, karena memang permintaannya lebih banyak diambil poliester dan rayon. Apalagi, pasokan kapas tidak banyak, dengan kondisi seperti ini  [kenaikkan harga internasional] akan turun lagi,” kata Redma. 

Dia menambahkan kebutuhan bahan baku pengganti kapas untuk industri domestik mencapai 1,2 juta ton setiap tahunnya. Perinciannya, konsumsi rayon mencapai 600.000 ton, kebutuhan filamen poliester sebesar 500.000 ton, dan serat poliester 700.000 ton. 

Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi meminta pemerintah untuk waspada terkait dengan potensi inflasi akibat melesatnya bahan baku kapas di pasar internasional.

Fithra mengkhawatirkan tingginya harga kapas itu menyebabkan minimnya pasokan bahan baku pada kegiatan industri tekstil dalam negeri. 

“Kalau ini berlarut-larut tentu akan menjalar pada inflasi. Kalau kita lihat unsur inflasi ini adalah penyebab kontraksi ekonomi domestik mencapai 15%—17% hampir setinggi Covid-19,” kata Fithra. 

Menurut perhitungannya, faktor pandemi Covid-19 menyumbangkan kontraksi pada perekonomian nasional sebesar 17%—19%, faktor energi dan komoditas menyebabkan kontraksi 0,6%—9% sementara inflasi mengakibatkan kontraksi perekonomian domestik mencapai 15%—17% . 

“Ketika menjalar menjadi inflasi ini akan mempunyai kontraksi ekonomi seperti Covid-19, kita harus memitigasi input produksi terutama lini kapas supaya tetap terjamin pasokannya, sehingga tidak terganggu produksi dalam negeri,” kata dia. 

Di sisi lain, dia menambahkan, sinyal peningkatan bahan baku industri dalam negeri terlihat jelas lewat raihan indeks manajer pembelian atau PMI Manufaktur Indonesia pada September 2021 berada di posisi 52,2. 

“Ini merupakan berita baik sekaligus harus waspada. Kenaikkan PMI ini artinya permintaan terhadap input produksi akan meningkat akhirnya ke depan,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.