BI Lanjutkan Burden Sharing, Hasil Lelang Sukuk Naik Tipis

Lelang surat berharga syariah negara atau sukuk negara, Selasa (24/8/2021), menghasilkan penawaran masuk senilai Rp52,46 triliun.

24 Agt 2021 - 20.12
A-
A+
BI Lanjutkan Burden Sharing, Hasil Lelang Sukuk Naik Tipis

Karyawan mencari informasi tentang obligasi di Jakarta, Rabu (17/7/2019). - Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk melanjutkan pembagian beban atau burden sharing pada 2021 dan 2022.  Dalam kesepakatan tersebut, BI akan melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp215 triliun di 2021 dan Rp224 triliun di 2022.

Di tengah keputusan tersebut, lelang surat berharga syariah negara atau sukuk negara yang digelar Selasa (24/8/2021) menunjukan hasil yang positif. Penawaran yang masuk dalam lelang untuk enam seri SBSN itu mencapai Rp52,46 triliun.

Nilai tersebut naik tipis dibandingkan hasil lelang sebelumnya sebesar Rp51,65 triliun. Adapun hasil lelang menunjukkan penawaran terbanyak masuk untuk seri PBS029 yang jatuh tempo 15 Maret 2034 dengan total Rp14,17 triliun. 

Dari penawaran yang masuk, yield atau imbal hasil rerata tertimbang yang dimenangkan 6,45 persen dengan jumlah nominal dimenangkan Rp3,75 triliun. 
Seri selanjutnya yang paling diincar oleh investor yakni PBS031 yang jatuh tempo 12 Juli 2024 dengan total penawaran masuk Rp13,99 triliun. imbal rerata tertimbang yang dimenangkan 4,34 persen dengan jumlah nominal yang dimenangkan Rp2,45 triliun. 

Adapun, total nominal yang dimenangkan dari kelima seri yang ditawarkan senilai Rp9 triliun, sedikit dibawah target indikatif pemerintah yaitu sebanyak Rp10 triliun. 

 

Burden Sharing Semarakan Lelang SBN

Perpanjangan burden sharing hingga 2022 menjadi langkah yang tepat dalam mengendalikan risiko fluktuasi berlebihan pada pasar Surat Berharga Negara (SBN). Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan perpanjangan burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) hingga 2022 mendatang merupakan keputusan yang tepat.

Menurut FIkri, langkah ini merupakan tindakan preventif yang dilakukan pemerintah dan BI untuk mengantisipasi potensi capital outflow dan tapering off yang akan dilakukan The Fed pada 2022 mendatang. Hal ini tetap dilakukan kendati porsi kepemilikan asing terhadap SBN Indonesia tidak sebesar di tahun 2013 – 2015 dimana taper tantrum pernah terjadi.

“Perpanjangan burden sharing ini memberi sinyal ke pasar kalau stabilitas pasar SBN Indonesia menjadi perhatian khusus pemerintah dan bank sentral,” jelasnya saat dihubungi pada Selasa (24/8/2021).

Ia melanjutkan, kebijakan burden sharing juga tidak akan membebani kemampuan fiskal Indonesia dalam jangka pendek. Pasalnya, dalam kesepakatan ini, jenis SBN yang diterbitkan pemerintah adalah surat utang bertenor 5 tahun hingga 8 tahun.

Pada saat yang sama, pembagian beban antara Bank Indonesia dan pemerintah juga akan menekan risiko capital outflow dari pasar SBN. Risiko outflow yang menurun ini akan turut menekan depresiasi mata uang rupiah yang mungkin terjadi.

“Sehingga, kondisi pasar SBN Indonesia juga akan tetap optimal baik dari segi risiko maupun pergerakan imbal hasil (yield),” imbuhnya.

Lebih lanjut FIkri memprediksi imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) seri acuan 10 tahun Indonesia masih berpotensi menguat hingga ke level 6 persen pada akhir 2021. Hal ini akan ditopang oleh sentimen perpanjangan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia.

Di sisi lain risiko pandemi virus corona juga akan terus menjadi perhatian investor. Pasar juga terus menanti perkembangan vaksinasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia sebelum menentukan langkah selanjutnya.

Sementara itu, pergerakan imbal hasil SUN Indonesia pada tahun depan akan dibayangi oleh langkah tapering off yang akan dilakukan oleh The Fed. Sentimen ini akan memicu penguatan yield obligasi AS yang berimbas pada pelemahan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia.

“Selain itu, pada tahun depan juga akan terjadi tarik menarik sentimen antara berapa banyak penjualan terhadap SBN yang tradeable dan berapa banyak yang dapat diserap oleh BI,” tutupnya.

Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Ariawan juga menilai perpanjangan burden sharing antara pemerintah dengan Bank Indonesia hingga 2022 mendatang akan berimbas positif bagi pasar Surat Berharga Negara (SBN). 

Ia menjelaskan, kesepakatan berbagi beban tersebut dapat menekan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari sisi kupon penerbitan SBN. Hal tersebut karena beban bunga akan ditanggung oleh BI dan juga Kementerian Keuangan. 

Hal tersebut juga didukung oleh tingkat bunga yang disepakati sebagai acuan. Pemerintah dan BI telah menetapkan Suku Bunga Reverse Repo BI tenor 3 bulan sebagai acuan. “Suku bunga ini berada di bawah tingkat suku bunga pasar. Sehingga, pemerintah bisa menghemat beban kupon yang akan dikeluarkan,” katanya saat dihubungi Bisnis pada Selasa (24/8/2021). 

Pengendalian beban bunga ini, lanjutnya, akan berimbas pada meningkatnya minat investor, terutama dari luar negeri, terhadap pasar SUN Indonesia. Sehingga, posisi credit default swap (CDS) Indonesia juga akan semakin kuat. 

Seperti diketahui, level CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pula pada instrumen surat utang suatu negara, dalam hal ini untuk surat utang Indonesia dalam denominasi rupiah. 

“Apalagi, saat ini minat investor terhadap SBN Indonesia juga terbilang masih bagus. Dengan adanya kebijakan ini, potensi inflow dari pasar surat utang juga semakin besar,” tambahnya. 

Selain itu, kerja sama antara BI dan pemerintah ini juga dapat membantu mengurangi penerbitan SBN pada tahun depan. Hal ini sejalan dengan penurunan target penerbitan SBN yang tercantum pada Rencana APBN (RAPBN) 2022 sebesar Rp991,28 triliun. 

Ariawan mengatakan, dengan pasokan SBN yang turun dan permintaan pasar yang masih tinggi, maka harga surat berharga negara Indonesia akan mengalami kenaikan. Hal ini juga akan berimbas pada penguatan imbal hasil SUN. 

Sebagai catatan, pergerakan harga obligasi dan yield obligasi saling bertolak belakang. Kenaikan harga obligasi akan membuat posisi yield mengalami penurunan sementara penurunan harga akan menekan tingkat imbal hasil. 

Data dari laman World Government Bonds mencatat, tingkat imbal hasil Surat Utang Negara Indonesia seri acuan 10 tahun berada pada kisaran 6,419 persen. Sementara itu, CDS Indonesia 5 tahun berada di level 73,286. 

Lebih lanjut, Ariawan mengatakan berkurangnya penerbitan SBN juga memungkinkan pemerintah untuk menekan biaya penerbitan surat utang atau cost of fund. Ke depannya, Ariawan optimistis perpanjangan burden sharing akan memperkuat posisi imbal hasil SBN Indonesia. 

Kendati demikian, sejumlah sentimen negatif dari luar negeri juga masih membayangi pergerakan yield. Ia menjelaskan, sejauh ini tingkat ketidakpastian global masih cukup tinggi menyusul munculnya varian delta pada virus corona. 

Hal ini mengganggu laju pemulihan ekonomi dunia, terutama pada negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang signifikan. Ketidakpastian tersebut juga berdampak pada prospek tapering off yang akan dilakukan bank sentral AS, The Fed. 

Menurut Ariawan, sejauh ini pelaku pasar masih terus menanti kejelasan bentuk tapering yang akan dilakukan The Fed di tengah fluktuasi pasar yang cukup tinggi. “Sentimen ini juga masih akan berperan dalam pergerakan yield SBN pada tahun depan. Hingga akhir tahun ini, kami perkirakan yield SUN Indonesia berada di level 6 persen,” pungkasnya.

(Lorenzo Anugrah Mahardhika)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.