Bisnis Waralaba Kembali Bersemi Setelah Dihantam Pandemi

Omzet bisnis waralaba di Indonesia masih sekitar Rp54,4 miliar, tetapi tumbuh stabil 5 persen setiap tahunnya. Terdapat 93.732 gerai waralaba yang beroperasi dengan serapan tenaga kerja mencapai 628.622 orang.

Iim Fathimah Timorria

1 Des 2021 - 17.27
A-
A+
Bisnis Waralaba Kembali Bersemi Setelah Dihantam Pandemi

Ilustrasi franchise

Bisnis, JAKARTA — Geliat bisnis waralaba di Indonesia mulai berangsur pulih jelang akhir tahun, kendati masih jauh di bawah capaian sebelum pandemi Covid-19.

Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) melaporkan sekitar 25 persen usaha dengan model bisnis waralaba (franchise) telah mulai pulih ke kondisi sebelum pandemi, setelah sekitar 90 persen usaha terdampak Covid-19.

Ketua Wali Tri Rahardjo menjelaskan selama 2020 hanya 10 persen dari total waralaba yang beroperasi di Indonesia yang mampu bertahan.

Sebagian besar berasal dari sektor usaha kebutuhan pokok seperti waralaba minimarket, jasa isi ulang air minum, apotek, dan toko perlengkapan binatang peliharaan (pet shop).

“Namun, berdasarkan riset kami, per November 2021 sebanyak 25 persen sudah pulih 100 persen. Sementara itu, yang 75 persen harus kita dorong untuk kembali pulih seperti sebelum Covid-19,” kata Tri dalam konferensi pers bersama Kementerian Perdagangan, Rabu (1/12/2021).

Tri meyakini bisnis waralaba akan tetap tumbuh positif pada 2022, seiring dengan dibukanya aktivitas perdagangan di mal atau pusat perbelanjaan. Dia juga tidak mengkhawatirkan momen pemulihan terganggu kebijakan PPKM yang lebih ketat jelang Natal dan Tahun Baru.

“Meski nanti ada pemberlakuan PPKM kembali, kami sudah tahu jangka waktunya, saya kira pelaku usaha sekarang lebih siap,” tambahnya.

Dia mengatakan bisnis franchise memiliki daya tarik tersendiri, terutama bagi pengusaha pemula yang ingin memulai bisnis. Model bisnis waralaba, kata dia, akan mempermudah jalannya usaha karena penerima waralaba tidak memulainya dari 0.

“Bisnisnya sudah terbukti berhasil, dan brand-nya sudah dikenal, dan memiliki standar serta ada dukungan awal dan lanjutan untuk mitra atau penerima waralabanya,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar mengatakan bisnis yang berorientasi kebutuhan jangka pendek memiliki prospek waralaba paling besar. Jenis usaha mencakup waralaba minimarket, makanan dan minuman, dan apotek.

“Kalau kita perhatikan yang kebutuhan jangka pendek ini berpeluang dikembangkan lebih lanjut pada masa ini,” kata Anang.

Data yang dihimpun Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa omzet bisnis waralaba masih sekitar Rp54,4 miliar, tetapi tumbuh stabil 5 persen setiap tahunnya. Terdapat 93.732 gerai waralaba yang beroperasi dengan serapan tenaga kerja mencapai 628.622 orang.

Sektor usaha makanan dan minuman mendominasi bisnis waralaba dengan kontribusi mencapai 58,37 persen, disusul oleh ritel sebanyak 15,31 persen, dan jasa pendidikan nonformal sebesar 13,40 persen.

Jasa kecantikan dan kesehatan menyusul di angka 6,22 persen, jasa penatu (laundry) 3,35 persen, dan jasa perantara perdagangan properti 3,35 persen.

REVISI PERMENDAG

Di sisi lain, Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa ritel modern tidak akan diwajibkan mewaralabakan gerai ketika melakukan ekspansi gerai.

Kebijakan ini disiapkan dalam rangka revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 23/2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan.

“Akan ada perubahan, terutama di pasal 10 dan 15. Intinya itu saja. Kalau di Permendag No. 23/2021 Pasal 10 disebutkan harus waralaba. Nantinya tidak hanya waralaba, tetapi waralaba dan kemitraan,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan.

Oke memastikan kebijakan pembatasan jumlah gerai milik sendiri oleh ritel modern tetap berlaku, yakni maksimal 150 gerai. Namun, dalam hal ekspansi, pemilik merek diperkenankan menggunakan model kemitraan, tidak hanya waralaba.

“Jadi pembatasan gerainya tetap, tetapi tidak hanya batasi lalu wajib menggunakan waralaba. Selanjutnya tidak hanya waralaba yang boleh,[model] kemitraan lainnya bisa digunakan,” tambah Oke.

Pasal 10 Permendag No. 23/2021 menyebutkan bahwa pelaku usaha hanya dapat memiliki paling banyak 150 gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri. Dalam hal pelaku usaha ingin menambah jumlah gerai melebihi batasan tersebut, setiap gerai harus dikelola dalam model waralaba.

Kewajiban waralaba ini sebelumnya menuai penolakan dari peritel dalam negeri. Investasi baru di sektor ritel modern dikhawatirkan mandek tanpa pertambahan jumlah gerai yang signifikan karena peritel kesulitan mencari penerima waralaba.

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan (Kemendag) Nina Mora mengatakan bahwa peritel juga cenderung menunggu kepastian hukum dalam hal ekspansi.

"Kaitannya dengan rencana investasi dan ekspansi peritel besar, beberapa pelaku usaha telah melaporkan akan melakukan ekspansi. Namun para pelaku usaha juga masih menunggu sampai dengan rancangan Permendag No. 23/2021 final dan disahkan pemerintah," ujarnya.

Ritel modern format besar seperti supermarket, department store, dan hypermarket menjadi lini usaha yang kesulitan merealisasikan ketentuan ini. Jenis usaha toko format besar disebut Nina tidak dikonsepkan untuk diwaralabakan.

Ritel modern format besar juga memerlukan investasi besar untuk pembukaan setiap gerai baru. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha soal minat penerima waralaba.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.