BPJS Kesehatan Siapkan Jurus Antisipasi Defisit

BPJS Kesehatan menyiapkan jurus mengantisipasi defisit keuangan sejalan naiknya penggunaan jaminan sosial. Berikut penjelasannya.

Denis Riantiza Meilanova

17 Sep 2021 - 15.52
A-
A+
BPJS Kesehatan Siapkan Jurus Antisipasi Defisit

BPJS Kesehatan menyiapkan jurus mengantisipasi defisit keuangan sejalan naiknya penggunaan jaminan sosial. (Bisnis/Eusebio Chrysnamurti)

Bisnis, JAKARTA— Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mulai mengantisipasi defisit yang berpotensi muncul pada 2023 sejalan dengan naiknya kunjungan ke rumah sakit.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan menurunnya pemanfaatan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada masa awal pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perbaikan kondisi keuangan dana jaminan sosial (DJS), sehingga tak lagi mengalami defisit.  

Per 31 Agustus 2021, dia mengklaim posisi aset bersih telah mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 3,8 bulan. Posisi tersebut telah melampaui ketentuan minimum yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.84/2015. Dalam Pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa kesehatan keuangan aset DJS diukur berdasarkan aset bersih dengan beberapa ketentuan. Pertama, aset bersih mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan. Kedua, aset bersih cukup membayar klaim selama 6 bulan ke depan.


"Keuangan kami membaik, meski belum sangat baik tetapi biasanya defisit, sekarang sudah tidak defisit, jadi sudah positif," ujarnya.

Kendati dalam kondisi yang aman, dia menyebut perlu antisipasi defisit sejak dini karena peningkatan penggunaan layanan JKN meningkat sejalan dengan menurunnya kasus Covid-19.

Jika penggunaan layanan JKN naik, defisit bisa kembali muncul. Badan tersebut pun telah melakukan sejumlah simulasi dengan berbagai macam asumsi dari skenario baik hingga yang terburuk. Ghufron menuturkan, berdasarkan proyeksi yang telah dibuat, potensi defisit bisa terjadi lagi pada 2023. Namun dengan tarif iuran yang lebih tinggi, dia menyebut potensi defisit pada 2023 bisa makin tipis.

Ketua Dewan Pengawas Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Achmad Yurianto mengatakan sejumlah opsi antisipasi defisit telah disiapkan. Beberapa opsi yang disiapkan di antaranya mitigasi risiko jangka pendek dan jangka panjang.

Opsi lainnya yakni membuat proyeksi arus kas dan strategi biaya manfaat jangka panjang. Tujuannya, memastikan kesiapan kondisi keuangan DJS selama pandemi dan setelahnya. Adapun, faktor yang turut memengaruhi kinerja penyesuaian tarif kapitasi dan instrumen untuk menghitung pembayaran kepada rumah sakit atau Ina CBG’s, serta penjaminan Covid-19 ke dalam lingkup JKN.

“Tren sekarang sudah menunjukkan rebound terhadap layanan JKN, beberapa saat lalu sempat turun karena berbagai faktor," katanya.

SURPLUS TEBAL

Berdasarkan Buku II Nota Keuangan, tarif iuran peserta yang baru mendorong BPJS Kesehatan mendapatkan surplus lebih dari Rp20 triliun pada 2021.

Selain itu, asumsi perkembangan utilisasi rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL) pada Mei 2021 menyentuh 83,4 persen dan rawat inap tingkat lanjutan (RITL) mencapai 72,4 persen.

“Program Jaminan Kesehatan Kondisi keuangan DJS Kesehatan pada tahun 2020 sampai dengan Juni 2021 mengalami surplus, dipengaruhi oleh revisi besaran iuran sesuai Perpres No.64/2020,” tulis dokumen tersebut seperti dikutip pada Selasa (17/8/2021).

Kendati demikian, pemerintah mewaspadai lonjakan kunjungan ke rumah sakit yang terus menanjak saat pandemi Covid-19 mereda.

Hal itu turut tecermin pada asumsi perkembangan utilisasi pada pengujung 2021. Pada pengujung 2021, RITL diproyeksi menyentuh 90,5 persen dan naik menjadi 94,5 persen pada Juni 2022. Tren yang sama terjadi pada RJTL yang diproyeksi menyentuh 103,2 persen pada pengujung tahun ini dan naik menjadi 108,5 persen pada Juni 2022.

Adapun, faktor lain yang bakal memengaruhi perkembangan surplus BPJS Kesehatan yakni penerapan kebijakan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

“Akan memengaruhi proyeksi keuangan DJS jangka menengah, khususnya asumsi kebijakan penyesuaian tarif layanan.”

Lebih lanjut, dalam skenario buruk terdapat asumsi penurunan peserta aktif jenis peserta bukan penerima upah (PBPU) sebesar 1 persen dan bukan pekerja (BP) turun 3 persen. Asumsi lain yang diperhitungkan yakni penerapan KRIS dengan 2 kelas, tarif Indonesia Case Base Groups (Ina CBG’s) naik 10 persen dan kapitasi naik 20 persen pada awal 2023.

“Defisit sebesar Rp18.000 miliar pada tahun 2024,” katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.