Cari Cuan Industri Asuransi Jiwa di Surat Berharga Negara (SBN)

Portofolio penempatan investasi asuransi jiwa di Surat Berharga Negara (SBN) mengalami tren pertumbuhan dari tahun ke tahun.

Asteria Desi Kartikasari

23 Okt 2022 - 16.10
A-
A+
Cari Cuan Industri  Asuransi Jiwa di Surat Berharga Negara (SBN)

Bisnis, JAKARTA— Portofolio penempatan investasi asuransi jiwa di Surat Berharga Negara (SBN) mengalami tren pertumbuhan dari tahun ke tahun.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal 2022 mencatat, besaran investasi perusahaan asuransi jiwa  di SBN per Agustus 2022 mencapai Rp126,31 triliun berbanding Rp105,14 triliun per awal tahun. Sementara dari posisi Juni 2021 di level Rp95,71 triliun. Jadi bisa dihitung terjadi pertumbuhan 31,97 persen. 

Jika mengacu penempatan per Agustus 2021, besaran SBN baru menunjukkan rasio 23,9 persen dari total investasi perusahan asuransi jiwa sebesar Rp528,63 triliun. Masih jauh di bawah ketentuan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 56/POJK.05/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank. Aturan itu mewajibkan investasi perusahaan asuransi jiwa minimal 30 persen di SBN.

Sementara pada semester I/2022, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat investasi mencapai Rp122,46 triliun. Artinya, secara tahunan (year-on-year/yoy), nilai itu tumbuh 27,95 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp95,71 triliun. 

Research Associate IFG Progress Mohammad Alvin Prabowosunu menilai asuransi jiwa yang menambahkan portofolio SBN menandakan bahwa manajer investasi pada perusahaan-perusahaan di industri tersebut memperkirakan adanya keadaan uncertainty dalam perekonomian.

Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, maka market cenderung lebih volatile sehingga manajer investasi memilih untuk mengalokasikan aset di instrumen investasi pendapatan tetap yang cenderung lebih stabil dibandingkan dengan instrumen saham. 

Adapun, IFG Progress memproyeksikan uncertainty akan terus terjadi pada perekonomian global yang berpuncak pada 2023 – 2024 dan kemungkinan mulai mereda pada 2024 ke depan. Hal itu akibat adanya tekanan inflasi yang terjadi secara global dan tingkat inflasi di Indonesia yang juga mulai meningkat. Tekanan geopolitik dari adanya konflik Rusia-Ukraina yang mendisrupsi harga energi juga merupakan faktor uncertainty dalam perekonomian.

Baca Juga: Heboh Gaji dan Uji Eksistensi Agen Asuransi 

“Dan ini dilanjutkan di Indonesia dengan adanya tahun politik di tahun 2024 yang menambahkan faktor uncertainty,” ujar Alvin kepada Bisnis, Minggu (23/10/2022).

Pada perekonomian global, kondisi ini dapat dilihat dari adanya fenomena inverted yield curve. Artinya, lanjut Alvin, yield pada obligasi jangka pendek lebih besar daripada obligasi jangka panjang. “Perlu diperhatikan bahwa tekanan inflasi ini mendorong bank sentral untuk meningkatkan suku bunga untuk meredam inflasi. Namun, berdasarkan data historis, kenaikan tingkat suku bunga akan direspons oleh tingkat yield dari instrumen pendapatan tetap, termasuk government bonds atau SBN,” tuturnya.

Petugas beraktivitas di dekat logo-logo asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Jakarta, Selasa (23/8/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Alvin berujar apabila industri asuransi dapat membeli bond dengan yield tinggi, maka potensi imbal hasil juga dapat menjadi semakin tinggi, mengingat SBN merupakan instrumen yang dijamin oleh negara. “Namun trade off yang dimiliki adalah aset tersebut harus di-hold dalam jangka panjang, setidaknya 2-3 tahun ke depan atau bahkan sampai maturity,” sambungnya.

Selanjutnya, jika manager investasi memilih untuk menjual aset SBN tersebut dalam waktu dekat dan kondisi yield dalam tren peningkatan, nilai aset SBN tersebut dapat mengalami penurunan. Apabila tekanan inflasi di Indonesia terus terjadi, kemudian direspon oleh Bank Indonesia dengan peningkatan suku bunga secara agresif, maka manajer investasi harus memilih instrumen dengan lebih hati-hati. 

Dari kacamata pemain industri asuaransi, PT BNI Life Insurance menilai penempatan investasi pada SBN akan tetap mengalami pertumbuhan pada tahun depan, meski perekonomian disebut kemungkinan terjadi resesi global. 

Baca Juga: Aturan OJK Buat Investasi Reksa Dana perusahaan Asuransi Anjlok 

Direktur Keuangan BNI Life Eben Eser Nainggolan mengatakan bahwa penempatan investasi di SBN akan bertumbuh seiring dengan tingginya imbal hasil SBN. “Penempatan investasi pada SBN akan tetap bertumbuh seiring dengan makin tingginya imbal hasil SBN. Dibandingkan obligasi korporasi dan saham, instrumen SBN dipandang jauh lebih aman dan lebih likuid dalam situasi resesi,”ucapnya.

Eben mencatat, hingga kuartal III/2022, BNI Life terus meningkatkan penempatan investasi pada SBN dan mengurangi porsi alokasi kelas aset lainnya. “Dari total bond [baik langsung atau lewat reksa dana] untuk portofolio non-link sekitar 70 persen SBN, sisanya corporate bond,” ungkapnya.


Selain itu, Direktur Utama PT Asuransi BRI Life Iwan Pasila menjelaskan industri asuransi menempatkan investasi sesuai kebijakan investasinya. Menurutnya, entitas anak usaha bank pelat merah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) menetapkan kebijakan investasi sesuai dengan karakteristik kewajiban, kualitas aset, serta kebutuhan likuiditas. Hal ini karena karakteristik kewajiban dan kebutuhan likuiditas yang ada.

“Kami menempatkan investasi signifikan pada SUN [surat utang negara]. Di BRI Life, karena karakteristik kewajiban dan kebutuhan likuiditas, kami menempatkan mayoritas pada SUN sekitar 60 persen,” kata Iwan kepada Bisnis, Kamis (20/10/2022).

Sedangkan sisanya, sekitar 40 persen, ditempatkan pada obligasi korporasi BUMN yang memiliki investment grade, dan pada money market instruments seperti pada reksa dana pasar uang dan deposito.

“Kami terus memantau kinerja SUN, obligasi korporasi, dan reksa dana pasar uang dan deposito untuk mengoptimalkan hasil investasi,” terangnya.

Merujuk laporan keuangan BRI, total aset yang dimiliki BRI Life pada posisi 30 Juni 2022 mencapai Rp20,38 juta atau 1,23 persen dari total aset konsolidasian. Sementara itu, total pendapatan premi periode enam bulan pertama 2022 sebesar Rp4,25 juta. (Rika Anggraeni)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Asteria Desi Kartikasari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.