Catatan Pengusaha Memasuki Babak Baru Tren Energi Hijau

Para pelaku industri memerlukan acuan dan aturan yang jelas dalam penerapan energi hijau agar bisa terus menjaga keberlangsungan industri. Jangan sampai, kebijakan tersebut malah mengorbankan industri dalam negeri.

Muhammad Ridwan & Rayful Mudassir

6 Okt 2021 - 07.59
A-
A+
Catatan Pengusaha Memasuki Babak Baru Tren Energi Hijau

Teknisi Star Energy Geothermal melakukan kegiatan Discharge Well atau uji produksi sumur di salah satu areal sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu, Desa Margamukti, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (22/4/2021). Bisnis/Rachman

Bisnis, JAKARTA — Bauran energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih mendominasi dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2021—2030 disambut beragam oleh pelaku usaha di Tanah Air.

Kendati rancangan pemanfaatan EBT tersebut bertujuan untuk mewujudkan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan, pelaku industri meminta agar penerapannya tetap memperhatikan pertumbuhan dan daya saing di dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan bahwa pada dasarnya pelaku industri mendukung pengembangan EBT di dalam negeri.

Namun, para pelaku industri memerlukan acuan dan aturan yang jelas dalam penerapan energi hijau agar bisa terus menjaga keberlangsungan industri. Jangan sampai, kebijakan tersebut  malah mengorbankan industri dalam negeri.

"Artinya industri setuju dan support untuk EBT, cuma ya penerapannya harus hati-hati terutama. Kedua, perlu perlindungan industri dalam negeri dan pertumbuhan industri dalam negeri harus menjadi nomor satu, jangan sampai produk impor yang mendominasi pasar," katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Dia memaparkan bahwa sampai saat ini industri petrokimia 80% sumber listriknya masih mengandalkan PLN sehingga keputusan peningkatan bauran EBT perusahaan listrik pelat merah itu semestinya tidak menjadi masalah terkait dengan kebutuhan pasokan listrik untuk industri nantinya.

Namun terkait dengan harga, pihaknya meminta agar industri-industri yang telah mengembangkan EBT dapat mendapatkan insentif. Selain itu, pihaknya meminta skema ekspor-impor listrik yang jelas agar nantinya bisa menekan biaya listrik yang digunakan.

"2022 pajak karbon sudah berlaku yang paling banyak kena imbasnya PLN karena 60% menggunakan batu bara. PLN punya produk zero emission panas bumi, surya, dan angin tapi itu masih belum mencukupi. Ya tinggal kalau kita sudah berinovasi menggunakan panel surya dan EBT lain mekanismenya bagaimana, kadang industri itu kan pasti ada saja kelebihan atau kekurangan dari energi harus di-trading," ungkapnya.

Di lain pihak, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai penggunaan EBT justru bakal memberikan tarif listrik yang lebih murah.

Dia menambahkan, para pelaku industri pada prinsipnya mendukung pengembangan EBT guna menekan emisi karbon sesuai dengan target yang ditetapkan. "Pada prinsipnya kami setuju jika bauran EBT nya dinaikkan karena selain lebih ramah lingkungan kan harusnya lebih murah," katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Sementara itu, Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menyatakan dukungannya terhadap RUPTL PLN 2021–2030 karena lebih banyak melibatkan swasta.

Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang memberi respons positif terhadap pengesahan RUPTL kali ini. Pihaknya juga mengapresiasi porsi pengembangan EBT yang akan lebih dominan dalam 10 tahun ke depan.

“Partisipasi swasta juga akan lebih banyak dilibatkan. Perlu adanya interkoneksi sistem yang baik agar terjadi pemerataan kelistrikan yang baik,” katanya kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Agar percepatan pengembangan energi listrik ini lebih besar, Arthur menyebut, perlu adanya insentif yang diberikan oleh pemerintah. Subsidi dinilai perlu dialokasikan ke pembangkit listrik berbasis energi bersih agar lebih kompetitif dari fosil.

Meski begitu, pengembangan EBT akan menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah sifat intermiten atau putus-putus pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) serta pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

APLSI menyebut, tantangan itu akan terjawab dengan keberadaan smart grid, interkoneksi sistem listrik yang andal, serta keberadaan battery storage.

“Di situ peran smart grid dan interkoneksi sistem yang andal, serta battery storage. APLSI mendukung RUPTL yang baru,” terangnya.

Pemerintah telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021—2030. Dari rencana ini diketahui pengembangan EBT sebesar 51,6% dan energi fosil 48,4%.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa RUPTL kali ini lebih hijau karena porsi untuk pengembangkan pembangkit berbasis EBT lebih besar dibandingkan dengan fosil.

“Pembangunan PLTU yang baru tidak lagi menjadi opsi, kecuali yang saat ini yang sudah committed dan sudah dalam konsumsi. Hal ini juga untuk membuka peluang, membuka ruang besar untuk pengembangan EBT,” katanya.

Adapun kapasitas pembangkit EBT akan ditambah hingga 20.923 megawatt (MW), sedangkan tambahan kapasitas pembangkit energi fosil sebesar 19.652 MW. Secara keseluruhan, pemerintah membidik penambahan kapasitas listrik hingga 40.575 MW pada 2030.

RUPTL PLN 2021—2030 juga turut mengoreksi proyeksi pertumbuhan konsumsi listrik nasional menjadi rerata 4,9% dari sebelumnya 6,4%. Penurunan ini disebabkan kondisi oversupply pasokan listrik di Jawa-Bali akibat pandemi Covid-19.

“Percepatan penambahan pembangkit sebesar 40,6 GW [gigawatt] selama 10 tahun ke depan, peran IPP [independent power producer] dibuka lebih besar, termasuk dalam pengembangkan pembangkit tenaga EBT,” kata Arifin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.