China Revisi Janji Iklim Jelang COP26, Tapi Masih Mengecewakan

Pemerintah China merevisi janji iklim mereka menjelang COP26 di Glasgow, Skotlandia. Namun, menjadi pertanyaan besar apakah China benar-benar mampu merealisasikan janji itu mengingat negara raksasa itu tengah berada dalam krisis energi yang berat.

M. Syahran W. Lubis

29 Okt 2021 - 17.38
A-
A+
China Revisi Janji Iklim Jelang COP26, Tapi Masih Mengecewakan

Pembangkit listrik tenaga uap (kiri) tampak di belakang sebuah pabrik di Provinsi Inner Mongolia, China, pada foto file 31 Oktober 2010. — Reuters

Bisnis, JAKARTA – China mengajukan rencana revisi untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sebelum akhir dekade ini, tetapi para kritikus mengatakan negara yang menghasilkan 27% emisi global itu telah gagal melangkah lebih jauh dan menunjukkan kepemimpinan pada saat kritis bagi planet ini.

Beijing berjanji emisi karbon dioksidanya akan mencapai puncaknya sebelum 2030 dan akan bertujuan netralitas karbon sebelum 2060. Mereka mengatakan hal itu 3 hari menjelang KTT Perubahan Iklim COP26 (26th Conference of the Parties) di Glasgow, Skotlandia, yang dimulai pada Minggu (31/10/2021).

Seperti yang ditegaskan Presiden Xi Jinping, kata Pemerintah China dalam rencana tersebut, yang diserahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Kamis (28/10/2021), untuk mengatasi perubahan iklim bukan atas permintaan orang lain, tetapi atas inisiatif China sendiri.

“Inilah yang perlu dilakukan China untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di dalam negeri, serta memenuhi kewajibannya untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia. China akan menerapkan strategi nasional proaktif tentang perubahan iklim,” lanjt dokumen itu sebagaimana ditulis BBC.

Untuk mencapai targetnya, China mengatakan akan menurunkan emisi CO2 per unit PDB lebih dari 65% dari tingkat 2005.

Ini juga akan meningkatkan pangsa bahan bakar nonfosil dalam konsumsi energi primer menjadi sekitar 25%, meningkatkan volume stok hutan seluas 6 miliar m3 dari tingkat 2005, serta membawa total kapasitas terpasang tenaga angin dan surya menjadi lebih dari 1,2 miliar kilowatt pada 2030.

BANGUN PLTA BARU

Selain pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin baru, China juga berencana membangun bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) baru di hulu Sungai Yangtze, Mekong, dan Kuning, dan memanfaatkan lebih banyak teknologi nuklir generasi baru, termasuk reaktor lepas pantai skala kecil.

China juga berjanji mengurangi konsumsi batu bara antara 2025 dan 2030. Batu bara, yang dianggap sebagai salah satu bahan bakar fosil yang paling berpolusi, menyumbang lebih dari 60% pasokan energi China. Namun, dengan krisis energi yang sedang berlangsung di negara itu, tidak jelas bagaimana bisa mengurangi konsumsi batu bara dalam waktu dekat.

Bulan lalu China mengumumkan bahwa mereka akan berhenti membiayai proyek pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri, langkah yang dipandang sebagai “pengubah permainan” mengingat Beijing adalah pendukung terbesar proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di dunia.

“China telah membuat kemajuan signifikan dalam memenuhi komitmennya secara aktif dan pragmatis,” kata rencana itu.

Pengamat iklim telah mengamati dengan cermat tanda-tanda bahwa China, sumber terbesar gas rumah kaca pemanasan iklim, mungkin membuat janji yang lebih ambisius menjelang pembicaraan Glasgow.

JANJI MENGECEWAKAN

Dalam wawancara dengan New Scientist, pakar iklim Bernice Lee dari Chatham House, think-tank Inggris, menyambut baik janji China untuk mencapai puncak emisi sebelum 2030, yang digambarkan sebagai “peningkatan” dari komitmen sebelumnya untuk “puncak emisi CO2 sekitar 2030 dan melakukan upaya terbaik untuk mencapai puncak lebih awal”.

Tapi dia menambahkan, “Anda tidak bisa melapisinya dengan gula, itu mengecewakan. Dunia mengharapkan lebih banyak dari China pada saat ini. Ini telah kehilangan kesempatan untuk memperlambat kepemimpinan global.”

Joanna Lewis, ahli iklim dan energi di Universitas Georgetown, juga mengatakan bahwa sebagai penghasil emisi CO2 dan gas rumah kaca terbesar di dunia yang menyebabkan pemanasan global, tujuan revisi China adalah “mengecewakan” dan tidak menawarkan "sesuatu yang baru".

Lauri Myllyvirta, analis utama di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih di Helsinki, mencatat bahwa janji terbaru China tidak memberikan jawaban atas pertanyaan kunci tentang emisi negara itu.

“Pada tingkat apa emisi akan memuncak dan seberapa cepat mereka harus turun setelah puncak?”

Negara-negara yang berpartisipasi dalam konferensi iklim PBB, yang dikenal sebagai Konferensi Para Pihak ke-26, atau COP26, mengajukan apa yang disebut “kontribusi yang ditentukan secara nasional” yang menyusun rencana pengurangan emisi.

Joanna Lewis selanjutnya mengatakan bahwa masih mungkin bahwa China akan membuat pengumuman tambahan pada KTT iklim terkait dengan pembiayaan untuk energi terbarukan di luar negeri.

Tetapi, Li Shuo, dari Greenpeace Asia Timur, mengatakan bahwa rencana terbaru China “membayangi upaya iklim global”. “Mengingat ketidakpastian ekonomi domestik, negara itu tampak ragu-ragu untuk merangkul target jangka pendek yang lebih kuat, dan melewatkan kesempatan untuk menunjukkan ambisi. Pilihan China melambangkan kurangnya tekad untuk meningkatkan tindakan di antara ekonomi utama,” tambah Li.

Kekecewaan banyak pihak sangat mungkin bertambah lantaran Presiden Xi Jinping kemungkinan tidak datang ke Glasgow untuk menghadridi COP26.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Syahran Lubis

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.