Cukai Minuman Manis 2022, Respons Industri Terbelah

Besaran cukai minuman berpemanis ditetapkan sebesar Rp1.500 per liter untuk teh dalam kemasan dan Rp2.500 per liter untuk minuman bersoda dan sejenisnya. 

Reni Lestari

26 Okt 2021 - 17.53
A-
A+
Cukai Minuman Manis 2022, Respons Industri Terbelah

Konsumen di satu gerai supermarket di Purwokerto, Minggu (28/7). /BISNIS.COM

Bisnis, JAKARTA — Suara pelaku industri minuman berpemanis terpecah dalam merespons rencana kebijakan pengenaan cukai terhadap produk tersebut mulai tahun depan. Sebagian mendukung keputusan tersebut, tetapi tidak sedikit yang resisten.

Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman (APIDMI), dalam hal ini, mendukung penerapan cukai minuman berpemanis yang telah disepakati pemerintah dan DPR mulai tahun depan.

Sekretaris Jenderal APIDMI Ipung Nimpuno mengatakan pengenaan pungutan pada minuman bergula akan melengkapi struktur penerimaan cukai yang selama ini baru berasal dari minuman beralkohol dan rokok.

"Kami mendukung, karena berarti industri minuman beralkohol dan industri rokok ada temannya," kata Ipung, Selasa (26/10/2021).

Minuman berkabonasi dari Coca Cola Group./istimewa

Adapun, barang yang terkena ekstensifikasi cukai yakni minuman teh dalam kemasan, minuman berkarbonasi atau soda, serta kopi, minuman berenergi, dan konsentrat.

Besaran cukai minuman berpemanis ditetapkan sebesar Rp1.500 per liter untuk teh dalam kemasan dan Rp2.500 per liter untuk minuman bersoda dan sejenisnya. 

Berdasarkan kalkulasi sementara, pemerintah berpotensi mengantongi penerimaan tambahan senilai Rp6,25 triliun per tahun dengan ekstensifikasi tersebut.

Sementara itu, Ipung juga mengatakan, pengenaan cukai pada minuman manis sesuai dengan praktik kontrol konsumsi gula di banyak negara. Hal lainnya, pemerintah sedang menggalakkan penerimaan negara pada masa pemulihan ekonomi akibat pandemi.

"Jadi harus balik lagi ke tujuan pengenaan cukai itu apa. Tujuan pemerintah mengenakan cukai terhadap produk tertentu itu karena produk itu dinilai punya risiko sosial maupun kesehatan," lanjutnya.  

Meski mendukung ekstensifikasi cukai ke minuman berpemanis, Ipung berharap pemerintah menahan besaran pungutan untuk minuman beralkohol.

Penyebabnya, industri minuman beralkohol yang menjadi salah satu penopang pariwisata, masih merasakan dampak berkepanjangan dari pandemi.

Jika cukai minol diberlakukan, Ipung khawatir peredaran produk ilegal akan semakin menjamur.

"Kalau dalam kondisi kami sedang suffering dan cukainya dinaikkan, justru akan memberikan insentif pada pelaku black market. Bisa mendorong konsumen untuk mendapatkan harga murah dari black market yang tidak membayar cukai dan pajak impor," jelas Ipung. 

Di sisi lain, pengenaan cukai minuman berpemanis yang direncanakan mulai tahun depan juga disikapi secara resisten oleh pelaku usaha.

Produsen minuman Cap Panda dan Cap Kaki Tiga, PT Kino Indonesia Tbk. (KINO) memprediksi penerapan kebijakan itu akan menekan daya beli dan menghambat pemulihan ekonomi.

Direktur Kino Budi Muljono mengatakan di saat pelaku usaha masih berusaha bangkit dari kesulitan selama 2 tahun pandemi, tambahan biaya kemungkinan besar akan diteruskan kepada konsumen.

Hal itulah yang dinilai akan membebani daya beli masyarakat. Terlebih pungutan diterapkan di tengah kondisi ritel yang relatif masih terpuruk.

"Kami masih berada dalam ketidakpastian yang merupakan hal yang tidak disukai pelaku usaha. Tambahan biaya yang kemungkinan besar akan di-pass on ke konsumen, akan semakin menurunkan daya beli dan memperlambat pemulihan ekonomi," kata Budi.

Meski demikian, dia mengaku belum menghitung seberapa besar dampaknya terhadap kinerja produksi perseroan. KINO masih menunggu terbitnya petunjuk pelaksanaan dari ekstensifikasi pengenaan cukai tersebut.

Menilik laporan keuangan perseroan, minuman berkontribusi kedua tertinggi setelah perawatan tubuh dari total penjualan Kino sampai dengan kuartal II/2021. Angkanya mencapai 38,60% atau senilai Rp846,78 miliar dari total penjualan Rp2,19 triliun.

Budi melanjutkan, penyesuaian akan dilakukan setelah pelaku usaha mengetahui batasan-batasan dan toleransi kandungan gula yang diperkenankan untuk tidak dikenakan cukai.

"Masih perlu dikaji pengaruh terhadap masing-masing produk kami dan kategori masing-masing," lanjutnya.

Meskipun saat ini pandemi di dalam negeri telah melewati masa kritis, katanya, tidak ada yang bisa memastikan akan datangnya gelombang berikutnya.

MENUNGGU

Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia masih mengkaji detail arah kebijakan pemerintah dalam menerapkan cukai untuk minuman berpemanis yang direncanakan mulai 2022.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Bobby Gafur Umar mengatakan kebijakan tersebut harus lebih dahulu dituangkan dalam aturan turunan seperti peraturan pemerintah (PP). Sementara itu, sejauh ini pelaku industri belum diajak berdialog oleh pemerintah.

"Kalau sedikit-sedikit dikasih cukai begini, pasti akan ada dampaknya. Kami wait and see dulu," kata Bobby.

Mengenai dampak penerapan kebijakan ini, Bobby sepakat bahwa pengenaan cukai minuman berpemanis akan mengerek harga di tingkat konsumen sehingga memberi tekanan pada daya beli yang masih lemah.

Kepastian penetapan cukai untuk minuman berpemanis sebelumnya tertuang di dalam laporan Panitia Kerja (Panja) Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit, dan Pembiayaan Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dengan sasaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.

Sementara itu, pemerintah perlu menyusun aturan turunan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi industri, dia berharap pelaku usaha diajak urun rembuk.

"Karena kan tidak bisa begitu disepakati di atas terus langsung [diterapkan]. Tentunya kami menunggu untuk bisa berdialog dengan pemerintah jika ini akan diterapkan," ujarnya.

Di tempat terpisah, Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) menyayangkan rencana pemerintah menerapkan cukai minuman berpemanis mulai tahun depan. Terlebih keputusan itu diambil tanpa diskusi dengan pelaku usaha.

Ketua Asrim Triyono Pridjosoesilo mengatakan, jika benar-benar diterapkan, pengenaan cukai akan menyebabkan industri semakin tertekan di tengah masih tingginya ketidakpastian akibat pandemi.

"Kami sangat menyayangkan pemerintah tidak konsultasi ke kami, karena kalau ini dikenakan, siap-siap saja industri minuman siap saji akan kolaps," katanya.

Dia menerangkan, pandemi menyebabkan kontraksi yang dalam pada industri minuman ringan. Tahun lalu saja, volume produksi turun hingga lebih dari 20%.

Kondisi pasar pada tahun berjalan 2021 masih menyamai kinerja tahun lalu dan belum bisa berbalik ke situasi sebelum pandemi.

"Tahun ini kami belum recover, belum sampai kembali ke level sebelum pandemi," lanjutnya.

Triyono mendesak pemerintah mengundang pelaku industri dalam proses penyusunan aturan turunan. Namun, pada prinsipnya, asosiasi berharap pemerintah kembali mengkaji kebijakan tersebut dan dampaknya terhadap keberlangsungan industri.  

"Kebijakan ini tolong dikaji ulang. Kemudian ajak kami industri untuk berbicara. Kamilah yang akan menerima dampaknya, sudah sepatutnya kami diajak bicara," ujar Triyono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.