Dana BPDPKS Bakal Dipakai untuk Intervensi Harga Minyak Goreng

Harga minyak goreng curah hingga kemasan terpantau masih stabil tinggi di atas harga acuan Rp11.000 per liter, seiring dengan harga CPO yang berada di atas US$1.000 per ton.

Iim Fathimah Timorria

14 Des 2021 - 19.14
A-
A+
Dana BPDPKS Bakal Dipakai untuk Intervensi Harga Minyak Goreng

Minyak goreng/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Intervensi pemerintah untuk stabilisasi harga minyak goreng diwacanakan menggunakan dana kelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan otoritas perdagangan telah membawa usulan tersebut ke Kementerian Koordinator bidang Perekonomian untuk dibahas.

"Ini sudah kami sampaikan ke Kemenko [Perekonomian], tetapi belum bisa disampaikan detailnya," ujarnya, Selasa (14/12/2021).

(BACA JUGA: Di Balik Pembatalan Larangan Perdagangan Minyak Goreng Curah)

Harga minyak goreng curah hingga kemasan terpantau masih stabil tinggi di atas harga acuan Rp11.000 per liter, seiring dengan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang berada di atas US$1.000 per ton.

Kemendag melaporkan harga CPO internasional telah menyentuh US$1.305 per ton, harga ini 27,17 persen lebih tinggi daripada harga pada awal 2021.

(BACA JUGA: Ritel Kurang Inisiatif, Intervensi Minyak Goreng Tak Efektif)

Kenaikan harga CPO telah memicu kenaikan harga minyak goreng curah yang kini telah menyentuh Rp17.600 per liter dan minyak goreng kemasan di level Rp19.000 per liter.

Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Isy Karim mengatakan kementerian dan lembaga terkait akan membahas solusi harga minyak goreng yang tinggi, termasuk soal usul penggunaan dana BPDPKS untuk stabilisasi harga minyak goreng.

"Betul [ada usulan pemakaian dana BPDPKS]. Rencana siang ini akan dibahas terkait dengan solusi tingginya harga minyak goreng," katanya saat dihubungi.

Petani membawa kelapa sawit hasil panen harian di perkebunan milik PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk, di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Rabu (11/5). Bisnis/Nurul Hidayat

Produk minyak goreng dengan merek dagang filma. Minyak goreng merupakan salah satu produk dari PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk./smart-tbk.com

Isy mengatakan upaya stabilisasi kemungkinan dilakukan dengan pemberian subsidi bagi produsen penyedia minyak goreng sehingga bisa menjual dengan harga lebih murah.

Namun, dia belum bisa menyampaikan potensi kebutuhan anggaran dalam usulan kebijakan ini.

Pemakaian dana yang dihimpun BPDPKS untuk pangan disebut Isy memungkinkan karena tertuang dalam Pasal 11 Peraturan Presiden (Perpres) No. 66/2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Selain untuk peremajaan kebun kelapa sawit dan penelitian serta pengembangan, beleid tersebut menyebutkan dana yang dihimpun bisa digunakan dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan sawit untuk pangan, penghiliran industri, dan pemanfaatan biodiesel.

BPDPKS sendiri mengelola dana yang bersumber dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya.

Badan layanan umum tersebut sempat memproyeksikan potensi dana yang dihimpun pada 2021 mencapai Rp45 triliun jika harga CPO stabil di kisaran US$870 per ton.

Ekonom menilai pemberian subsidi harga pada minyak goreng bisa diarahkan untuk minyak goreng kemasan agar penyaluran dana lebih efisien. Minyak goreng kemasan juga lebih mudah diawasi daripada minyak goreng curah.

Guru Besar dari IPB University Bayu Krisnamurthi mengatakan penggunaan dana  BPDPKS untuk stabilisasi harga minyak goreng memungkinkan dilakukan. Namun, keputusan penggunaan dana tetap berada du Komite Pengarah.

"Saya kira secara aturan bisa. Logikanya sama dengan penggunaan dana sawit untuk mendukung biodieswl. Keputusan ada di Komite Pengarah," kata Bayu.

Bayu mengatakan tantangan pemanfaatan dana BPDPKS untuk subsidi minyak goreng akan sangat tergantung pada nilai dana yang digunakan. Namun dia mengatakan kendala tersebut bisa disiasati dengan menyasar segmen minyak goreng kemasan sederhana.

"Agar efisien, gunakan saja untuk minyak goreng kemasan sederhana. Dengan demikian sasaran utama dukungan dana sawit adalah masyarakat berpendapatan rendah dan usaha mikro atau kecil pengguna minyak goreng," tambahnya.

Dia memperkirakan kebutuhan dana berkisar antara Rp250 miliar sampai Rp300 miliar. Nilai tersebut terbilang kecil dengan penyaluran dana BPDPKS untuk program biodesel yang mencapai Rp 44,23 triliun per November 2021.

"Jika minyak goreng curah lebih sulit pengawasannya. Namun jika untuk kemasan sederyana kebutuhan dana tidak terlalu besar dibandingkan dengan ketersediaan dana yang ada," katanya.

TANTANGAN PENGAWASAN

Terpisah, produsen minyak goreng mengatakan pemberian subsidi pada minyak goreng amat mungkin diterapkan sebagai bentuk intervensi atas tingginya bahan kebutuhan pokok tersebut.

Namun, pemerintah bakal dihadapkan pada tantangan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebutkan kebutuhan riil minyak goreng nasional berkisar di angka 3,6 juta ton sampai 4 juta ton per tahun.

Dari jumlah tersebut 1,2 juta ton diperdagangkan pada segmen minyak goreng kemasan sederhana atau premium dan 2,8 juta ton beredar dalam bentuk curah di pasar tradisional.

Sahat mengatakan pemerintah bisa secara khusus memberikan subsidi pada pasar segmen kemasan sederhana atau curah karena menjangkau konsumen kelas menengah ke bawah. Dia memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk subsidi tidak akan terlalu besar.

"Untuk tahun depan kami perhitungkan harga minyak goreng di produsen di kisaran Rp14.500 per kilogram. Kemudian kita sudah punya pengalaman subsidi untuk FAME dalam campuran solar," kata Sahat.

Namun, Sahat mengatakan pemberian subsidi untuk minyak goreng bisa lebih rumit daripada subsidi FAME pada solar, mengingat produsen dan agen pemasok minyak goreng jauh lebih banyak.

"Di minyak goreng lebih rumit. Untuk solar agennya hanya satu yakni Pertamina, sedangkan di minyak goreng agennya banyak. Lalu bagaimana mekanisme pengawasannya jika subsidi diberikan, dari volume, penyaluran, dan lainnya, ini semua PR yang perlu digodok agar berjalan.”

Sahat juga mengatakan kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik atau domestic market obligation (DMO) serta domestic price obligation (DPO) minyak sawit untuk minyak goreng juga sulit diterapkan.

Dia menyebut Indonesia pernah menerapkan kebijakan DMO untuk minyak goreng pada 2008 ketika harga CPO juga tinggi, tetapi kebijakan tersebut berakhir tak mulus karena pengawasan yang minim.

DMO dan DPO minyak sawit untuk pemenuhan produksi minyak goreng dalam negeri sempat diusulkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan pada Senin (13/12/2021).

Dia meminta pemerintah menyusun mekanisme di mana produsen minyak goreng bisa memperoleh harga CPO khusus dan tidak mengikuti pergerakan harga internasional.

"Saya menuntut kebijakan kalau di batu bara ada DMO, dalam konteks hari ini di minyak goreng ada DPO khusus untuk pasar dalam negeri yang digunakan oleh rakyat kecil, tanpa ada subsidi dari pemerintah. Jadi memakai harga domestik, bukan internasional. Toh pengusaha besar tidak dirugikan kalau kita pergunakan DPO," katanya.

Nusron mengatakan kebutuhan untuk konsumsi minyak goreng dalam negeri tidak sebesar volume CPO yang diekspor dengan mengacu pada harga internasional.

Menurutnya, para produsen minyak sawit tetap bisa menikmati keuntungan sekalipun ada kewajiban menjual CPO dengan harga khusus di pasar domestik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.