Darurat Optimasi Pasar Lokal demi Nyawa Industri TPT Nasional

Industri TPT menjadi satu-satunya sektor strategis yang terkontraksi paling hebat selama pandemi. Upaya penyelamatan pun dibutuhkan secepatnya, dimulai dari mandatori serapan produksi serat sintetis lokal di pasar domestik.

12 Agt 2021 - 20.09
A-
A+
Darurat Optimasi Pasar Lokal demi Nyawa Industri TPT Nasional

Pedagang menata kain tekstil dagangannya di Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Kamis (16/4/2020). ANTARA.

Bisnis, JAKARTA — Instrumen trade remedies dinilai kurang cukup untuk melindungi industri pertekstilan nasional. Indonesia dinilai perlu mengikuti jejak sejumlah negara produsen utama tekstil global yang mulai fokus pada optimasi serapan pasar domestik.

Dalam hal ini, Direktur Utama PT Asia Pacific Rayon Basrie Kamba menjelaskan negara-negara seperti Vietnam dan India mulai mendorong konsumsi domestik demi memperkuat industri pertekstilan setempat.

Dia mencontohkan, di Vietnam, 90% produksi tekstil dan produk tekstil (TPT) setempat ditujukan untuk ekspor. Hanya 10% yang untuk konsumsi domestik.

“Namun, setelah pandemi Covid-19, mereka mencoba masuk ke pasar domestik. Mereka sedang mendorong konsumsi, kira-kira mana [produk tekstil] yang cocok dengan konsumsi masyarakatnya,” kata Basrie dalam diskusi virtual, Kamis (12/8/2021).

Manuver selanggam dilakukan juga oleh India. Negara Asia Selatan itu menggaungkan kampanye Made in India guna mengatrol konsumsi domestik. Kampanye itu dibarengi dengan regulasi mengikat yang mewajibkan serapan produk lokal.

Menurut Basrie, Indonesia semestinya mengikuti strategi serupa mengingat pasokan produk serat nonalam buatan lokal terus suprlus.

Industri rayon, misalnya, memiliki kapasitas produksi mencapai 850.000 ton, tetapi konsumsinya hanya 400.000—500.000 ton.

“Saya yakin kita bisa meningkatkan konsumsi domestik. Namun, tidak bisa setengah-setengah. Industri kita sudah lengkap dari hulu ke hilir serta penunjangnya di dunia fesyen,” tambahnya.

Pedagang merapikan kain di salah satu gerai di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (8/12/2020). /Bisnis.com-Himawan L Nugraha

Meski demikian, dia tidak memungkiri bahwa pasar domestik memiliki sejumlah tantangan.

Salah satunya adalah segmen yang beragam, mulai dari pakaian muslim sampai tekstil fungsional seperti seragam dan pakaian olahraga.

Pelaku usaha harus senantiasa mengikuti tren di setiap segmen untuk terus menarik pasar.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Indonesia Fashion Chambers Ali Charisma mengatakan industri fesyen Indonesia menghadapi tantangan arus masuknya jenama internasional.

Situasi ini, lanjutnya, belum diikuti dengan kehadiran merek-merek lokal yang bisa bersaing secara langsung.

“Di sisi lain belum ada brand lokal yang menjadikan budaya Indonesia sebagai DNA kontemporer. Akibatnya pasar untuk merek lokal terbatas pada kebutuhan budaya yang sifatnya tradisional,” paparnya.

Meski demikian, Ali mengatakan Indonesia bisa mengawali ekspansi di industri fesyen dengan mengoptimalkan eksistensi di produk pakaian muslim.

Dia mencatat pakaian muslim merupakan pasar yang besar, baik di dalam negeri maupun secara global.

“Menuju indonesia menjadi pusat mode dunia bisa dimulai dengan Indonesia menjadi pusat mode muslim dunia. Karena ini pasar yang paling besar untuk saat ini, yang harus kita kuasai dan maksimalkan,” katanya.

MEKANISME PASAR

Adapun, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Farmasi Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam sepakat peningkatan serapan TPT lokal di pasar domestik tidak bisa semata-mata mengandalkan mekanisme pasar.

Pada satu titik, pemerintah perlu melakukan intervensi. Salah satunya dengan kewajiban penggunaan produk lokal untuk pengadaan.

“Mekanisme pasar tidak bisa terus-menerus dilakukan untuk menciptakan pasar. Ada masanya di tekstil pemerintah perlu ikut campur. Ini sudah ditunjukkan pemerintah, misalnya dengan kewajiban penggunaan produk lokal,” kata dia.

Sekadar catatan, Kemenperin menetapkan industri TPT sebagai salah satu sektor strategis yang terdampak paling berat akibat Covid-19.  Industri ini tercatat mengalami kontraksi 4,54 % pada kuartal II/2021 secara tahunan.

“Namun secara kuartalan mulai tumbuh 0,48 %. Ekspor sepanjang semester I/2021 juga tumbuh 13 % dan investasi naik 27 %,” kata Khayam.

Dia menjabarkan pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk meminimalisir dampak Covid-19 terhadap industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri.

Salah satunya dengan mengembangkan industri bahan baku tekstil dari industri di dalam negeri.

Pengembangan tersebut ditempuh dengan peningkatan kapasitas industri rayon  dari 856.700 ton pada saat ini menjadi 1,21 juta ton pada 2023 dan kapasitas dissolving pulp-nya menjadi 1,31 juta ton.

Selain itu, peningkatan utilisasi industri serat dan filamen polyester menjadi 70 % pada 2023 juga menjadi salah satu target.

PACU SERAT

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Ravi Shankar berpendapat serapan produksi tekstil di dalam negeri dapat ditempuh dengan mengalihkan pola konsumsi bahan baku serat.

Selama ini Indonesia tercatat sebagai produsen dari dua serat utama dunia, polyester dan rayon, tetapi penggunaannya belum optimal.

Ravi menjelaskan bahwa kapas tidak lagi mendominasi konsumsi serat global. Sebaliknya, preferensi konsumsi di berbagai regional telah bergeser ke serat buatan.

“Konsumsi serat per kapita Indonesia sebelum pandemi adalah 8,1 kilogram, sementara rata-rata Asia Selatan adalah 10 kilogram. Ada peluang yang bisa kita manfaatkan,” kata Ravi.

Dia menyebutkan permintaan serat global terus tumbuh, dengan permintaan dari sektor apparel sebagai kontributor terbesar.

Meski demikian, porsi dari sektor apparel cenderung turun dalam 30 tahun terakhir. Dari awalnya mencapai 70% dari total kebutuhan serat pada sekitar 1990-an menjadi hanya sekitar 50% pada 2020.

Permintaan baru justru datang dari sektor tekstil industrial di negara maju dan berkembang. Tekstil rumah tangga juga mencatatkan peluang permintaan yang cukup stabil.

Hal ini membuka peluang untuk produk tekstil yang sifatnya fungsional.

Karyawan mengambil gulungan benang di salah satu pabrik tekstil yang ada di Jawa Barat./JIBI-Rahmatullah

Di Indonesia, konsumsi serat didominasi oleh jenis polyester dengan pangsa sebesar 50% atau sebesar 1,08 juta ton. Posisi serat polyester disusul oleh kapas sebesar 29% dan viscose sebesar 16%.

“Kalau melihat kapasitas produksi polyester dan rayon yang besar dan ketergantungan terhadap impor kapas, Indonesia memiliki peluang mensubstitusi kapas karena Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar serat nonalam,” tambahnya.

Ravi menjelaskan bahwa polyester dan rayon bisa diaplikasikan ke berbagai jenis pakaian dengan fungsi yang mencakup personal protection, pakaian untuk medis, pakaian olahraga dan hobi, tekstil rumahan, dan pakaian militer.

Optimasi ini, lanjut Ravi, menjadi penting mengingat produksi benang filamen Indonesia cenderung turun rata-rata 1,1 % setiap tahunnya sejak 2008. Sementara untuk serat polyester produksi tumbuh tipis rata-rata 2,2 % per tahun.

 

SULIT TEREALISASI

Menurut pandangan ekonom, upaya meningkatkan kontribusi pasar dalam negeri terhadap serapan produk tekstil sulit direalisasikan dalam waktu dekat.

Para pemangku kepentingan pun disarankan fokus pada penyelamatan industri tekstil dan produk tekstil yang menghadapi berbagai tantangan.

“Meningkatkan konsumsi domestik untuk tekstil agak berat, ya. Karena sebagaimana diketahui produk tekstil dijual di ritel. Dan kondisi ritel kurang mendukung saat ini,” kata Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio.

Meski demikian, dia tidak memungkiri jika pasar domestik memiliki peluang yang besar mengingat struktur produksi industri tekstil dan produk tekstil tidaklah didominasi ekspor sebagaimana Bangladesh. 

Untuk itu, dia menyarankan usaha yang lebih konsisten demi menggenjot konsumsi pasar dalam negeri.

“Memang ada tantangan persaingan head to head dengan produk impor, terutama dari segi harga. Terlebih dengan hadirnya e-commerce. Karena itu perlu afirmasi untuk produk lokal, misalnya di lokapasar produk fesyen dari dalam negeri dipajang di halaman depan.”

Dia juga mengatakan bahwa industri ini memerlukan dukungan yang lebih besar dari pemangku kebijakan, seperti pemberian diskon listrik untuk produksi dan relaksasi kapasitas produksi selama PPKM sehingga industri bisa memenuhi permintaan buyer, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

“Dari data BPS industri tekstil masih terkontraksi secara tahunan, kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi lebih dalam. Ini alarm bahaya. Perlu dipastikan industri ini bisa survive. Terlebih negara eksportir lain pulih lebih cepat,” katanya.

Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020)./ANTARA FOTO-M Risyal Hidayat

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan tantangan produk tekstil dari luar negeri menjadi salah satu pengganjal untuk merebut pasar domestik.

Sementara itu, dari sisi ekspor, pasar terbatas pada negara-negara yang telah memperlihatkan tren pemulihan.

“Pengendalian impor tekstil dan pakaian jadi masih lemah di dalam negeri, terutama sejak pertumbuhan e-commerce naik pesat. Safeguard berbentuk batasan produk impor tekstil harusnya bisa dilakukan,” kata Bhima.

Pemerintah tercatat telah melakukan sejumlah tindak pengamanan terhadap impor tekstil dan produk tekstil.

Di antaranya adalah pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) untuk spin drawn yarn dari China dan BMAD pada polyester staple fiber dari India, China, dan Taiwan sejak 2019.

Terdapat pula safeguard atau bea masuk tindak pengamanan (BMTP) pada benang sejak 2020, BMTP pada kain dari Malaysia dan Vietnam sejak 2020, BMTP pada tirai sejak Mei 2020, dan karpet.

Reporter : Iim F. Timorria

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.