Darurat Sektor Baja di Tengah Risiko Kebangkrutan KRAS

Pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir soal kemungkinan bangkrutnya KRAS harus disikapi secara hati-hati mengingat kinerja baik yang dicatatkan sejak restrukturisasi mulai 2019.

Reni Lestari

13 Des 2021 - 18.51
A-
A+
Darurat Sektor Baja di Tengah Risiko Kebangkrutan KRAS

Karyawan PT Krakatau Steel Tbk. menyelesaikan pembuatan pipa baja disebuah pabrik di Cilegon, Banten. Bisnis

Bisnis, JAKARTA — Di tengah bola panas isu ancaman kebangkrutan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk., Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyatakan industri baja tetap memiliki prospek yang cerah mengingat posisinya sebagai induk dari segala sektor manufaktur.

Ketua Bidang Riset dan Teknologi Kadin Indonesia Ilham Habibie menggarisbawahi dua industri yang secara fundamental bergantung pada baja, yakni otomotif dan konstruksi.

Ke depan, dengan hadirnya era elektrifikasi kendaraan, industri baja juga dituntut untuk bisa menyuplai kebutuhan bahan baku rangka kendaraan yang ringan dan memenuhi standar otomotif.

"Saat ini memang baja bukan material utama untuk [badan] mobil listrik, tetapi saya bisa bayangkan akan ada tipe baja yang bisa masuk spesifikasi," kata Ilham dalam seminar daring bertajuk Penguatan Industri Baja Nasional, Senin (13/12/2021).

(BACA JUGA: Manipulasi Impor Baja Gerogoti Upaya Penghiliran Mineral)

Dia melanjutkan, untuk dapat menciptakan industri baja yang lebih kuat dan progresif syaratnya adalah penelitian dan pengembangan produk yang berkesinambungan.

Meski demikian, dia tak menampik pemerintah dan pelaku usaha memiliki pekerjaan rumah untuk mengerek angka konsumsi baja per kapita per tahun yang masih berada di bawah negara-negara tetangga.

(BACA JUGA: Permintaan Baja Kian Solid, Emiten Geber Utilisasi)

Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) mencatat konsumsi baja Indonesia hanya 60 kg per kapita per tahun. Bandingkan dengan Filipina yang sebesar 94 kg per kapita, Thailand 239 kg per kapita, Malaysia 299 kg per kapita, dan Singapura 488 kg per kapita.

"Namun, memang pola industri akan berubah dan [tingkat konsumsi baja yang rendah] itu akan bisa dikompensasi dengan penelitian dan pengembangan produk dan jasa yang baik," lanjutnya.

(BACA JUGA: Besi & Baja, Jagoan Masa Depan Ekspor Nonmigas?)

Prospek industri baja juga dapat dilihat dari sisi dukungan terhadap ekonomi hijau dan ekonomi sirkular.

Ilham mengatakan sebagai bahan mentah, baja bisa diolah kembali setelah usai masa penggunaannya.

Menurut catatannya, daur ulang baja untuk diolah kembali menjadi bahan baku marak dilakukan sejumlah produsen dunia, bahkan angkanya mencapai dua pertiga dari total material yang digunakan.

"Industri baja juga punya masa depan kalau dilihat dari aspek itu," katanya.  

Dia pun mendorong kebijakan dan investasi yang tepat untuk mendorong inovasi yang diiringi pengembangan dan penelitian agar sektor baja senantiasa relevan dengan kebutuhan industri terkait. 

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima menyoroti sejumlah upaya yang perlu dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN produsen baja, Krakatau Steel (KRAS).

Dia mengatakan pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir soal kemungkinan bangkrutnya KRAS harus disikapi secara hati-hati mengingat kinerja baik yang dicatatkan sejak restrukturisasi mulai 2019.

“Akan banyak dampak negatifnya daripada dampak positifnya, jika Krakatau Steel tiba-tiba dibangkrutkan, biayanya sangat mahal," kata Aria.

Dari sisi produksi, Aria melihat dua permasalahan besar yang membayangi KRAS selama ini.

Pertama, permasalahn korporasi, diantaranya produktivitas pabrik yang belum efisien sehingga menyebabkan ongkos lebih mahal. Selain itu, produk-produk yang dihasilkan juga belum kompetitif atau kurang dibutuhkan pasar domestik dan ekspor.

Kedua, permasalah secara industri yakni gempuran produk baja impor dengan harga yang jauh lebih murah sehingga berdampak pada rendahnya penyerapan produk dalam negeri.

Ke depan, sejalan dengan upaya penyehatan kinerja keuangan KRAS, Aria mengatakan perlu dilakukan perbaikan skala ekonomi produksi baja pada titik optimal yang menurunkan biaya produksi.

"Ketidakefisienan dalam berproduksi harus diperbaiki dengan melakukan benchmarking terhadap pabrik-pabrik sejenis di dunia seperti China, India, Jepang, dan Korea," ujar Aria.

Upaya lain adalah mengembangkan produksi jenis baja yang kompetitif dan dibutuhkan oleh pasar domestik dan ekspor, serta aliansi dengan industri terkait.

Selain itu, kebijakan proteksi pasar domestik juga tak kalah penting, terutama penerapan bea masuk khusus untuk impor baja yang masuk ke Indonesia.

"Juga penerapan SNI pada baja-baja impor secara konsisten, karena ada indikasi produk baja yang masuk ke dalam negeri didominasi oleh produk berkualitas rendah yang tidak sesuai dengan SNI," lanjutnya.

Secara industri, konsumsi produk akhir baja yang dihitung dengan formula apparent steel consumption (ASC) pada tahun lalu sebesar 15,1 juta ton. Adapun, produksinya meningkat 19,6 persen pada tahun lalu dibandingkan 2019.

Produk baja dalam negeri mampu menggantikan produk impor yang secara total menurun sampai dengan lebih dari 33 persen, yang diiringi peningkatan nilai ekspor baja mendapai 6,5 persen.

Artinya, penurunan aktivitas produksi pada negara-negara asal produk impor, berhasil dimanfaatkan oleh produsen baja nasional untuk memasok kebutuhan domestik selama pandemi.

KENAIKAN UTILISASI

Di sisi lain, KRAS mencatatkan rata-rata utilisasi kapasitas produksi sebesar 83 persen—85 persen sepanjang tahun ini.

Direktur Komersial KRAS Melati Sarnita mengatakan capaian itu menjadi yang pertama dimana perseroan mencatatkan utilisasi produksi di atas 80 persen.

"Saya rasa ini pertama kalinya kami mencapai di atas 80 persen [utilisasi]," kata Melati.

Adapun, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, rata-rata utilisasi industri logam dasar sepanjang tahun berjalan 2021 mencapai 66,25 persen. Adapun rata-rata utilisasi industri barang logam bukan mesin dan peralatannya mencapai 73,99 persen.

Kenaikan utilisasi KRAS juga sejalan dengan kinerja penjualan yang positif sampai dengan kuartal III/2021 yang meningkat 36,9 persen secara volume dari 1.163 kilo ton pada triwulan III/2020 menjadi 1.592 kilo ton.

Secara nilai penjualan, perseroan mencatatkan peningkatan 71,5 persen dari Rp13 triliun menjadi Rp23 triliun.

Penjualan produk penghiliran mengalami peningkatan pesat secara volume sebesar 656,2 persen menjadi 13.181 ton dari periode yang sama tahun lalu 1.743 ton.

Sepanjang tahun ini Melati optimistis dapat mencapai maksimal kapasitas produksi mencapai 2 juta ton.

Dengan beroperasinya pabrik hot strip mill (HSM) 2 yang mulai bergulir pada Mei tahun ini, kapasitas produksi perseroan menjadi 3,9 juta ton per tahun.

Pabrik tersebut sebelumnya dibangun dengan investasi senilai Rp7,5 triliun di atas lahan seluas 25 hektare dan kapasitas produksi 1,5 juta ton per tahun.

Produk hot rolled coil (HRC) yang diproduksi di HSM 2 diutamakan untuk membidik pasar otomotif yang membutuhkan baja dengan kualitas tinggi.  

"Kami sudah punya HSM 1 dan HSM 2 dengan teknologi yang jauh lebih bagus, mudah-mudahan itu dapat meng-cover most of steel requirement in Indonesia. Harapan kami nantinya dengan proteksi-proteksi impor, bisa meningkatkan utilisasi apalagi untuk untuk pabrik baru," jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Industri Logam Kemenperin Budi Susanto mengatakan produksi baja diperkirakan mencapai 12,27 juta ton pada tahun ini, atau tumbuh 6,05 persen dibandingkan tahun lalu sebesar 11,57 juta ton.

Dalam jangka menengah, target kapasitas produksi baja diproyeksikan mencapai 17 juta ton pada 2024.

"Industri sebagian besar telah beroperasi penuh. Namun, masih dalam pemantauan dan diperlukan pelaporan secara tertib dan berkala," kata Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.