Desakan BUMN Energi untuk Mengurangi Emisi Karbon Makin Kuat

Badan usaha milik negara di sektor energi seperti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero) bahkan sudah beberapa kali diminta untuk segera beradaptasi menuju tren transisi energi.

Muhammad Ridwan & Wibi Pangestu Pratama

7 Des 2021 - 20.27
A-
A+
Desakan BUMN Energi untuk Mengurangi Emisi Karbon Makin Kuat

Petugas mengecek instalasi di PLTP Kamojang, Garut, Jawa Barat, Rabu (8/9/2021). Pertamina menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 diantaranya melalui pemanfaatan energi rendah karbon dan efisiensi energi sebagai komitmen perseroan terhadap implementasi Environmental, Social and Governance (ESG). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Bisnis, JAKARTA — Sektor energi merupakan salah satu sektor yang memiliki biaya yang sangat mahal dalam mengurangi emisi karbon. Perlu adanya peran aktif BUMN dan swasta agar target netral karbon pada 2060 bisa tercapai.

Badan usaha milik negara di sektor energi seperti PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero) bahkan sudah beberapa kali diminta untuk segera beradaptasi menuju tren transisi energi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kebutuhan biaya untuk mencapai target penurunan emisi karbon di Indonesia, yang terbesar berada di sektor energi, yang juga menyumbang karbondioksida (CO2) atau emisi karbon.

Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, imbuhnya, kebutuhan biaya untuk menurunkan emisi karbon di sektor energi mencapai Rp3.500 triliun agar sesuai dengan target net zero emission.

"Sektor energi itu bisa menurunkan tiga per empat atau 450 juta ton ekuivalen CO2. Biaya untuk menurunkan itu Rp3.500 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Pertamina Energy Webinar 2021, Selasa (7/12/2021).

Dia menjelaskan bahwa energi memang merupakan sektor yang sangat mahal dan memakan biaya dalam operasionalnya. Namun, sektor itu sangat penting bagi masyarakat dan peranannya vital dalam menurunkan emisi karbon di Indonesia.

Besarnya kebutuhan dana tersebut, imbuhnya, berasal dari berbagai faktor, yakni pertama, transisi menuju energi hijau akan membuat sejumlah pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara berhenti beroperasi sehingga terdapat biaya untuk penghentiannya.

Kemudian, terdapat biaya untuk membangun pembangkit listrik baru dengan sumber energi terbarukan.

Menurut Sri Mulyani, terdapat biaya yang sangat besar di awal, meskipun dalam jangka panjang akan membawa manfaat yang sangat baik bagi Indonesia.

"Kalau kita lihat masih ada elemen risiko, seperti kalau eksplorasi tidak dapat [hasil untuk membangun pembangkit listrik di lokasi tersebut], di geothermal. Dari sisi tarifnya, juga tidak bisa one linier," ujarnya.

Hal itu, lanjutnya, membutuhkan suatu pemikiran yang sangat detail. "Bagaimana kita bisa establish, tidak hanya membangun renewable, tetapi kebijakan mengenai risiko, pentarifan, dalam jangka menengah panjang," ungkapnya.

Menkeu tidak menampik kebutuhan biaya di sektor energi cukup jauh dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebagai contoh, kata Menkeu, kebutuhan biaya sektor kehutanan dan penggunaan tanah untuk menurunkan 41% emisi karbon atau 700 juta ton ekuivalen CO2 adalah sekitar Rp90 triliun.

Adapun, pemerintah telah menetapkan target Nationally Determined Contribution (NDC) penurunan emisi karbon hingga 29% secara nasional dari seluruh sektor. Untuk mencapai target itu, kebutuhan pembiayaan mencapai US$365 miliar, yang di antaranya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Selain itu, terdapat target pengurangan emisi karbon hingga 41% dengan pembiayaan dari dukungan internasional, yang harus tercapai pada 2030. Target yang lebih besar ini membuat kebutuhan investasinya turut melonjak, yakni mencapai US$475 miliar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebutuhan biaya untuk mengurangi emisi karbon dan melakukan transisi energi adalah minimal US$5,7 miliar per tahun. Dia mengakui bahwa APBN tidak akan cukup untuk mencapai target net zero emission, sehingga diperlukan investasi dari sektor swasta, baik dari dalam maupun luar negeri.

Hal tersebut membuat pemerintah mengembangkan blended finance agar sektor swasta, filantropi, institusi dapat berpartisipasi dalam pembiayaan energi berkelanjutan di Indonesia. Sri Mulyani pun membawa pembahasan itu dalam forum G20 agar menarik investor dari berbagai negara.

"[Salah satu poin dalam Perjanjian Paris] negara maju berjanji membayar US$100 miliar per tahun yang digunakan untuk membantu negara-negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi [dalam langkah penekanan dampak krisis iklim]. Sampai hari ini mereka tidak membayar. Ini jadinya [Perjanjian Paris] sudah mulai sejak kapan," ujarnya.

Di sisi lain, Menkeu menegaskan pentingnya transfer teknologi ke negara berkembang dalam mendorong percepatan penanganan krisis iklim. Hal tersebut dapat terwujud salah satunya melalui penyaluran dana sesuai dengan Perjanjian Paris.

Terkait dengan peran aktif BUMN dan swasta dalam mencapai target penurunan emisi karbon, Menkeu mendorong PT Pertamina (Persero) untuk menyiapkan anggara khusus.

"Saya tantang Bu Ema sebagai CFO-nya [Pertamina], berapa sebenarnya anggaran yang disiapkan dari biaya operasional, investasi, dan belanja modal yang benar-benar disiapkan untuk perubahan iklim, sehingga kita bisa tahu. Kita mengatakan pemerintah hanya bisa 23 persen dari total belanja untuk bisa mentransformasikan ekonomi Indonesia sesuai dengan national determined contribution kita," katanya.

Dia berharap agar upaya pencapaian target netral karbon tersebut menjadi pemikiran dan komitmen seluruh jajaran pimpinan Pertamina.

“Pertamina bisa membayangkan your responsibility sangat jelas dalam hal ini, sebagai perusahaan milik negara yang bahkan dalam hal ini terbesar di bidang energi, your responsibility untuk transforming Indonesia achieving net zero emission yang affordable dan adil itu menjadi luar biasa sangat penting,” tutur Sri Mulyani.

Sementara itu, Direktur Strategi, Portfolio dan Pengembangan Usaha Pertamina Iman Rachman mengatakan perseroan akan mengambil peran penting dalam mengurangi emisi karbon di sektor energi. Perusahaan pelat merah itu menargetkan mengurangi emisi karbon sebesar 81,4 juta ton sampai dengan 2060 nanti.

Sampai dengan 2020, imbuhnya, Pertamina telah berkontribusi sebesar 27,08%. Sementara itu, Pertamina juga telah menyiapkan transisi melalui Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2020—2024 untuk menurunkan CO2 sebesar 29%.

"Pertamina sebagai perusahaan energi nasional dan salah satu BUMN terbesar memainkan peran penting dalam memimpin transisi energi dan pengurangan emisi sektor energi untuk memastikan keberlanjutan," katanya.

Dia menjelaskan sejumlah upaya yang akan ditempuh Pertamina untuk menurunkan emisi di antaranya dengan energi efisiensi, fuel gasification yang akan diterapkan pada seluruh subholding dan anak usaha.

Iman menuturkan, dalam aspirasi Pertamina dalam penerapan energi hijau berkelanjutan, terdapat delapan pilar strategi yang akan dijalankan melalui peningkatan spesifikasi kilang yang akan menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih ramah lingkungan.

Dia menambahkan, Pertamina akan mengembangkan lebih lanjut bioenergi, mengoptimalkan potensi dan meningkatkan kapasitas panas bumi terpasang dan pengembangan green hidrogen.

Di samping itu, Pertamina juga bakal mengambil peran strategis dalam produksi dan pengembangan ekosistem baterai, penguatan gasifikasi terintegrasi untuk sektor transprotasi, rumah tangga, dan industri.

"Bidang listrik, Pertamina mendorong EBT rendah karbon, kurangi jejak karbon upaya CCUS untuk manfaatkan karbon peningkatan produksi beberapa ladang minyak dan gas juga jadi fokus. Upaya lain kurangi emisi dari produksi gasuar dan langit biru dorong masyarakat gunakan bahan bakar rendah karbon," kata Iman.

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan untuk bisa menekan emisi karbon yang dihasilkan dari sektor energi sebesar 1.500 juta ton co2 ekuivalen sampai dengan 2060.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan total emisi dari sektor energi pada tahun lalu tercatat sebesar 587 juta ton co2 ekuivalen. Emisi tersebut dihasilkan oleh pembangkit fosil, kilang minyak, pengolahan batu bara dan emisi fugitif, kegiatan komersial, industri manufaktur, dan transportasi.

Mendekati 2030, terdapat emisi sebesar 692 juta ton co2e dan akan mengalami penurunan menjadi 642 juta ton co2e pada 2031. Puncak emisi terjadi pada sekitar 2039 dengan jumlah sebesar 706 juta ton co2e, dan baru akan berkurang mendekati 2040 pada saat selesainya kontrak pembangkit fosil.

"Kami berharap dengan implementasi strategi menuju net zero emission dapat menekan emisi sektor energi hanya menjadi hanya sekitar 400 juta ton co2e pada 2060, sedangkan apabila tidak melakukan apapun maka emisi sektor energi mencapai 2.000 juta ton co2e dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral 2021—2060," katanya.

Ego menuturkan, upaya pemerintah untuk menekan sektor energi sejak tahun ini sampai dengan 2060 mendatang yang dimulai dengan mengeluarkan aturan untuk penghentian penggunaan pembangkit fosil, penggunaan kompor listrik, dan target mencapai bauran EBT 23% pada 2025.

Pada 2027, pemerintah akan mulai melakukan penurunan impor LPG secara bertahap dan meningkatkan bauran EBT menjadi 26,5% pada 2030 yang akan didominasi oleh air, panas bumi, dan tenaga surya. Selanjutnya, pada 2031 tahap pertama penghentian PLTU mulai diberlakukan dan pada 2035 bauran EBT kembali ditingkatkan menjadi 57%.

Pemerintah mencanangkan bauran EBT mencapai 93% pada 2050 seiring dengan menurunnya penjualan mobil konvensional. Bauran EBT di Indonesia, bahkan ditargetkan bisa mencapai 100% pada 2060 mendatang oleh pemerintah.

"Pengembangan EBT ini didukung potensi berlimpah yang diperkirakan sebesar 3.686 gigawatt," ungkapnya.

Sebelumnya, Executive Vice President of Engineering and Technology PLN Zainal Arifin menjelaskan bahwa perusahaan listrik pelat merah itu telah memetakan peluang yang dapat dimanfaatkan perseroan untuk mendukung program percepatan netral karbon pada 2060.

Salah satunya, kata dia, adalah peta jalan pengembangan pembangkit EBT sesuai dengan RUPTL 2021—2030.

PLN menargetkan pembangunan pembangkit listrik EBT sebesar 10,6 Giga Watt (GW) hingga 2025. Di samping itu, perseroan terus menjalankan program efisiensi PLTU untuk mencapai target bauran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.