Dilema Harga BBM Pertamina, Sampai Kapan Pertalite Ditahan?

Seperti yang sudah-sudah, setiap kenaikan harga BBM akan berdampak pada inflasi dan daya beli masyarakat. Dengan mempertahankan harga BBM Pertalite di tengah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19, setidaknya bisa mengurangi kegelisahan sebagian besar masyarakat.

Ibeth Nurbaiti

13 Mar 2022 - 23.30
A-
A+
Dilema Harga BBM Pertamina, Sampai Kapan Pertalite Ditahan?

Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di Jakarta, Jumat (4/3/2022). PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi yaitu Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex yang berlaku sejak 3 Maret 2022. Kebijakan penyesuaian ini menindaklanjuti tren kenaikan harga minyak global dalam beberapa waktu terakhir. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis, JAKARTA — Kendati harga minyak dunia masih bertengger di level tinggi, keputusan pemerintah dan PT Pertamina (Persero) untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dinilai sudah tepat dalam upaya menjaga daya beli masyarakat. Terlebih, di tengah gejolak harga sejumlah kebutuhan pangan.

Namun, kondisi ini sebenarnya sangat dilematis karena apapun keputusan yang diambil pemerintah terkait dengan harga BBM, sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan.

Jika harga Pertalite dinaikkan, dapat dipastikan akan berdampak pada inflasi karena porsinya paling besar dikonsumsi masyarakat. Di sisi lain, pemerintah setidaknya harus menyiapkan anggaran sekitar Rp25 triliun—Rp30 triliun untuk kompensasi Pertalite jika tetap mempertahankan agar harganya tidak naik.

Baca juga: Lonjakan Subsidi Mengancam Ketahanan Energi Nasional

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah masih berupaya menahan harga BBM di tingkat konsumen. “Semua negara harga jualnya ke masyarakat sudah naik juga. Kita di sini masih nahan-nahan. Bu Menteri [Keuangan] saya tanya gimana Bu, tahannya sampai berapa hari ini kita nahan-nahan terus,” ujar Jokowi dalam Sidang Terbuka Senat Akademik Dies Natalis ke-46 UNS, dikutip dari YouTube Setpres, Jumat (11/3/2022).


Seperti yang sudah-sudah, setiap kenaikan harga BBM akan berdampak pada inflasi dan daya beli masyarakat. Dengan mempertahankan harga BBM Pertalite di tengah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19, setidaknya bisa mengurangi kegelisahan sebagian besar masyarakat.

Apalagi, Pertalite disebut-sebut juga menjadi andalan bagi mayoritas masyarakat Indonesia karena paling banyak dikonsumsi, yakni sekitar 79 persen di antara jenis bensin lain seperti Pertamax, Pertamax Turbo, maupun Premium. 

Pada 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi Pertalite mencapai 23 juta kiloliter (KL). Peningkatan konsumsi Pertalite itu sudah terjadi sejak 2017.

Saat ini, Kementerian Keuangan telah memastikan bahwa harga Pertalite tidak naik dan tetap dijaga di Rp7.650 per liter, padahal angka keekonomian BBM dengan kadar oktan (research octane number/RON) 90 itu sudah mencapai Rp11.500 per liter. Itu artinya, PT Pertamina (Persero) harus menanggung selisih harganya sekitar Rp3.850 per liter.

Tak heran bila badan usaha swasta lain yang beroperasi di Indonesia, menetapkan harga Pertalite rata-rata di atas Rp10.000 per liter.

Baca juga: Ketika Pertamina Diuji dengan Kenaikan Harga Minyak Dunia

Di sisi lain, harga Pertalite Pertamina tidak berubah sejak 3 tahun terakhir meskipun harga minyak mentah terus berflutuasi.

“Untuk mengendalikan inflasi, ya dengan tidak menaikkan harga Pertalite ini. Hanya saja Pertamina sebagai badan usaha harus mendapatkan dana kompensasi tambahan dari pemerintah karena Pertalite bukan BBM penugasan,” kata pengamat ekonomi yang juga Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Bhima seperti dikutip Antara, Minggu (13/3/2022).

Menurut dia, jika dana kompensasi untuk BBM jenis nonsubsidi seperti Pertalite tinggal dialokasikan saja melalui skema APBN, yakni dari windfall atau keuntungan booming-nya harga komoditas.

Berdasarkan kajiannya, ketika harga minyak mentah mencapai di atas US$127 per barel, ada tambahan pendapatan negara dalam bentuk pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp192 triliun.

Dengan demikian, APBN punya ruang untuk menahan kenaikan harga Pertalite, bahkan Pertamax juga bisa ditahan kenaikan harganya, meskipun harga minyak mentah sedang bergejolak.

Baca juga: Habis Premium Terbit Pertalite, Apa Kabar Reformasi Subsidi BBM?

Hanya saja, jika pemerintah merasa kesulitan menambal selisih harga keekonomian dan harga jual BBM, bisa dilakukan dengan realokasi dari dana infrastruktur. “Antara pembangunan IKN [ibu kota negara] dan jaga stabilitas harga di masyarakat, pastinya lebih prioritas jaga stabilitas harga kan,” ujarnya.

Baca juga: Beban Subsidi Energi Kian Berat Tergilas Konflik Rusia-Ukraina

Namun demikian, kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran.

Apalagi, subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidinya cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah.

“Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahun harus terus disubsidi,” kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede.


Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya.

Saat ini, Pertalite memang belum menjadi BBM penugasan, tetapi apabila ke depannya akan ditetapkan sebagai BBM penugasan, selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah. 

Akan tetapi, dengan Pertalite disubsidi, terdapat risiko peralihan konsumsi BBM dari sebelumnya BBM nonsubsidi ke BBM subsidi, apalagi jika disparitas harga cukup tinggi.

Baca juga: Impor BBM Makin Tak Terbendung, Lifting 1 Juta Barel Mendesak

Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina (Persero) Fajriyah Usman menyatakan perseroan sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi nasional, sehingga harga Pertalite akan tetap di level Rp7.650 per liter.

Untuk mengurangi tekanan lonjakan harga minyak mentah dunia terhadap peningkatan biaya penyediaan BBM, Pertamina hanya bisa melakukan berbagai efisiensi di segala lini, termasuk menekan biaya produksi BBM dalam negeri, antara lain dengan memaksimalkan penggunaan minyak mentah domestik dan mengoptimalkan penggunaan gas alam untuk penghematan biaya energi. Pararel juga dilakukan peningkatan produksi kilang untuk produk yang bernilai tinggi.

Adapun, harga rata-rata ICP (Indonesian Crude Price) minyak mentah Indonesia pada Februari sudah menembus US$95,72 per barel, naik sebesar US$9,83 dari ICP Januari US$85,89 per barel.

Kementerian ESDM mencatat bahwa kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG serta kompensasi BBM dalam APBN. Setiap kenaikan US$1 per barel berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.