Ditinggal Raksasa Migas, Indonesia Tetap Pede Gait Investasi

Sejumlah perusahaan migas yang hengkang dari Indonesia hanya sebagian dari banyaknya perusahaan asing yang masih bertahan. Indonesia masih menjadi tempat bagi sejumlah perusahaan migas besar.

Muhammad Ridwan

23 Des 2021 - 00.30
A-
A+
Ditinggal Raksasa Migas, Indonesia Tetap Pede Gait Investasi

Pekerja PT Pertamina Hulu Rokan melakukan perawatan sumur di Rig ATS 2517 di Duri Steam Flood (DSF) Field Duri, Blok Rokan, Bengkalis, Riau, Rabu (22/12/2021). PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sebagai bagian dari Subholding Upstream Pertamina menargetkan produksi minyak Blok Rokan meningkat dari 160.000 barel per hari (bph) di tahun 2021 menjadi 300.000 barel per hari (bph) pada tahun 2025. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Bisnis, JAKARTA — Iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi Tanah Air dinilai masih tetap menarik, meskipun sejumlah perusahaan migas raksasa telah memutuskan untuk meninggalkan wilayah kerja Indonesia.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan sejumlah perusahaan migas yang hengkang dari Indonesia hanya sebagian dari banyaknya perusahaan asing yang masih bertahan.

Dia meyakini Indonesia masih menjadi tempat bagi sejumlah perusahaan migas besar. Rencana Shell untuk keluar dari Indonesia dengan divestasi proyeknya di Masela, dia mencontohkan, masih belum terealisasi sehingga Shell akan terus menjadi pemegang hak partisipasi di Masela bersama dengan Inpex.

Tidak jauh berbeda, imbuhnya, Chevron juga masih belum benar-benar keluar dari proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) karena belum mendapatkan mitra baru.

Untuk itu, SKK Migas masih akan meminta Chevron untuk melanjutkan rencana pengembangannya di proyek tersebut.

Selain itu, SKK Migas juga mencatat sejumlah perusahaan lainnya seperti Eni, Mubadala, Petronas, PetroChina, Petronas, ExxonMobil, BP, PremierOil juga masih bertahan, bahkan disebut masih cukup agresif di Indonesia.

"Ini yang perlu disampaikan ke publik bahwa cukup besar juga pemain internasional yang masih tetap stay bahkan yang baru masuk juga berkembang," ujarnya dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia TV, Rabu (22/12/2021).

Di sisi lain, Pengamat dan Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menilai dengan banyaknya perusahaan migas besar yang keluar akan membuat Indonesia tidak lagi menarik di mata calon investor lainnya.

Dia juga menekankan bahwa salah satu masalah di sektor hulu migas Indonesia saat ini adalah adanya stigma nasionalisasi yang dilihat oleh para Investor. Menurut dia, hal itu terjadi ketika banyak blok-blok migas yang diberikan kepada PT Pertamina (Persero).

Selain itu, imbuhnya, terdapat permasalahan-permasalahan lainnya seperti kebijakan fiskal yang kurang menarik dibandingkan dengan negara lain dan kepastian kontrak yang masih kurang baik.

"Kita bisa lihat dari berapa kali kita lakukan lelang dan tidak ada peminatnya dari pemain besar atau pemain kecil," ungkapnya.

Terkait dengan iklim investasi hulu migas, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan sebelumnya mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, terutama adanya jaminan kepastian hukum melalui revisi Undang-undang Migas.

“Hal ini berdampak terhadap posisi SKK Migas dalam mengawasi dan menjalankan kegiatan di hulu migas,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (13/12/2021).

Di samping itu, Mamit menambahkan bahwa perlu adanya simplifikasi dan kemudahan perizinan serta fleksibilitas fiskal untuk mengurangi risiko investasi di sektor hulu migas.

Hal lainnya adalah diperlukan adanya kepastian kontrak bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor yang lebih mengikat. “Penghapusan seluruh kendala investasi migas baik di pusat maupun daerah seperti isu sosial di masyarakat dan juga permasalahan lahan juga perlu dibenahi,” ungkapnya.

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia terus kehilangan investor skala besar di sektor hulu migas.

Sejumlah perusahaan raksasa seperti Total, Shell, dan Chevron telah lebih dulu melepas operasinya di Indonesia

Total tercatat telah meninggalkan Indonesia dari aktivitas operasinya di Blok Mahakam pada 1 Januari 2018 setelah beroperasi sejak 1974. Kala itu, kontrak perpanjangan pengelolaan Blok Mahakam oleh Total dikalahkan oleh PT Pertamina (Persero).

Sementara itu, Chevron secara resmi meninggalkan Indonesia melalui kegiatan operasinya setelah production sharing contract (PSC) di Blok Rokan yang berakhir pada 8 Agustus 2021 dan dilanjutkan oleh Pertamina. Selain itu, Che­vron berencana untuk melepaskan keterlibatannya di proyek Indonesia Deepwater Development yang memiliki nilai investasi US$6,98 miliar.

Tidak hanya itu, perusahaan migas raksasa skala global lainnya, Shell, berencana untuk meninggalkan Indonesia. Perusahaan yang bermarkas di Belanda itu pun tengah dalam tahapan untuk melepas kegiatan operasinya dari proyek bernilai US$19,8 miliar, yakni Abadi Masela.

Di sisi lain, perusahaan migas raksasa yang masih bertahan di Indonesia memutuskan untuk berfokus kepada satu proyek saja. Eni memutuskan untuk berfokus dengan proyeknya di Kutai Basin, ExxonMobil hanya berfokus di Blok Cepu, dan BP yang memutuskan hanya fokus di Tangguh.

Terbaru, ConocoPhillips Indonesia telah menyepakati untuk melepas asetnya di Blok Corridor pada tahun depan kepada PT Medco Energi Internasional Tbk.

Hengkangnya perusahaan asal Amerika Serikat itu membuat hulu minyak dan gas bumi di Indonesia kian sepi dari keterlibatan perusahaan global berskala jumbo.

President ExxonMobil Indonesia Irtiza Sayyed menilai salah satu faktor yang menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan investasi secara global adalah bagaimana sebuah negara memberikan kebijakan yang atraktif bagi para investornya.

Di samping itu, kemudahan proses administrasi dan tidak adanya tumpang tindih kebijakan antara satu kementerian dengan kementerian yang lainnya akan sangat mempengaruhi minat para investor untuk mendatangkan modalnya ke Indonesia.

"Kami menemukan dari waktu ke waktu ada tantangan, terutama ketika kita bekerja dengan beberapa kementerian. Pada proyek-proyek kami tidak hanya melibatkan satu kementerian atau tidak hanya menjadi tanggung jawab kepada satu kementerian, tetapi ada beberapa kementerian yang terlibat di dalam suatu proyek," ujarnya dalam webinar yang digelar pada Rabu (15/12/2021).

MAKIN KETAT

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan bertambahnya daftar perusahaan migas internasional yang keluar dari Indonesia menjadi sebuah penegasan bahwa kompetisi untuk mendapatkan investasi hulu migas di tingkat regional maupun global makin ketat.

Dia menuturkan bahwa sudah lebih dari satu dekade ke belakang, iklim investasi hulu migas Indonesia relatif kalah kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Dengan demikian, menurutnya, cukup sulit bagi Indonesia menambah investasi di sektor tersebut secara signfikan.

“Ditinggalkan tidak selalu karena tidak ekonomis, tetapi karena kalah kompetitif dengan portofolio investasi dan opportunities investasi para IOC [international oil company] itu di tempat lain,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (9/12/2021).

Kompetisi di sektor hulu migas secara global pada dasarnya makin kompetitif dengan ditawarkannya berbagai kemudahan dari sejumlah negara. Negara-negara tetangga tercatat telah mengumbar insentifnya untuk bisa menarik investasi dan meningkatkan aktivitas eksplorasi di sektor migas.

Sebagai contoh, Malaysia, Thailand, Vietnam, Timor Leste, dan Australia menyiapkan strateginya untuk membuat iklim di sektor migasnya lebih menarik.

Kementerian ESDM memaparkan Malaysia telah membuat kebijakan fiskal dengan tidak memberikan bonus tanda tangan kepada kontraktor dan memberikan split kepada kontraktor hingga 80%.

Adapun, Thailand memberikan kebijakan bonus tanda tangan yang dapat dinegosiasikan dengan nilai minimal US$330.000, serta hanya memberikan keterlibatan lokal sebesar 5%.

Lebih lanjut, negara lain yang tengah berkompetisi menggaet investasi di sektor migas, yakni Vietnam dengan memberikan split kepada kontraktor hingga 80% serta Timor Leste yang menawarkan split kepada kontraktor mencapai 60% dan tanpa memberikan bonus tanda tangan.

Di samping itu, Australia memberikan insentif berupa tidak memungut bonus tanda tangan dan tidak melibatkan pihak lokal dalam kontrak migasnya.

Di sisi lain, untuk bisa bersaing menggaet investasi tersebut, pemerintah sejatinya telah mengumbar sejumlah kemudahan yang telah diterapkan dalam lelang wilayah kerja (WK) migas tahun ini.

Image Caption

Pemerintah telah memperbaiki profit split kontraktor dengan mempertimbangkan faktor risiko wilayah kerja, bonus tanda tangan terbuka untuk ditawar, FTP menjadi 10% shareable, serta penetapan harga DMO 100% selama kontrak.

Selain itu, pemerintah memberikan fleksibilitas bentuk kontrak, yakni PSC cost recovery atau PSC gross split, ketentuan baru relinquishment atau tidak ada pengembalian sebagian area di tahun ke-3 kontrak, kemudahan akses data melalui mekanisme membership migas data repository (MDR), dan pemberian insentif dan fasilitas perpajakan sesuai peraturan yang berlaku.

Bagaimana pun, kata Penasihat Teknik Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nanang Untung, pemerintah membutuhkan keterlibatan pemain migas besar untuk bisa berkontribusi mencari cadangan sumber daya migas raksasa yang masih tersimpan di Tanah Air.

“Kita membutuhkan mereka untuk kembali karena untuk menangkap target yang besar maka diperlukan eksplorasi yang besar dan mereka yang memiliki kapabilitas untuk menemukan cadangan yang besar,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Ibeth Nurbaiti

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.