Ditunggu Aksi Jangka Pendek Pelindo!

Bila pemerintah menginginkan penurunan biaya logistik menjadi 17%, maka hal itu hanya bisa dilakukan lewat inovasi dan perubahan proses bisnis pada komponen biaya THC dan marine.

Anitana Widya Puspa

2 Okt 2021 - 00.19
A-
A+
Ditunggu Aksi Jangka Pendek Pelindo!

Dari kiri ke kanan, Direktur Utama Pelindo IV Prasetyadi, Dirut Pelindo III Bob Robyanto, Dirut Pelindo II Arif Suhartono, dan Dirut Pelindo I Prasetyo berfoto seusai menandatangani akta penggabungan keempat BUMN pelabuhan di Jakarta, Jumat (1/10/2021)./Pelindo II

Bisnis, JAKARTA – Mulai 1 Oktober 2021, tak ada lagi nama Pelindo I, Pelindo II, Pelindo III, dan Pelindo IV. Keempatnya melebur menjadi satu dengan nama tunggal: Pelindo.

Keempat BUMN pelabuhan itu telah resmi bergabung alias merger. Wacana yang digulirkan sejak puluhan tahun lampau akhirnya terwujud.

Dengan merger, perubahan akan terjadi, mulai dari kapasitas layanan hingga struktur dan sistem perusahaan.

Jika sebelumnya merger operasional setiap pelabuhan di wilayah operasi keempat Pelindo tidak terstandar dan kurang terkoordinasi secara nasional, maka setelah merger, bisnis dan operasional pelabuhan menjadi terstandar.

Integrasi keempat BUMN juga membuat pemerintah dapat berkoordinasi dengan satu BUMN pelabuhan.

Dengan penggabungan keempat Pelindo pula, pengembangan konektivitas untuk hinterland lebih terkoordinasi.

Saat menyaksikan penandatanganan akta penggabungan keempat Pelindo, Jumat (1/10/2021), Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan merger ini menjadi momen penting dan bersejarah bagi pengelolaan BUMN kepelabuhanan untuk meningkatkan value creation. Inisiatif ini bertujuan meningkatkan efektivitas  dan efisiensi kepelabuhanan nasional.

Kartika berharap, setelah merger, Pelindo dapat fokus agar keempat subholding di bawahnya segera efektif dan dioperasikan secara optimal.

“Semoga terwujudnya legal merger Pelindo memberikan optimisme kepada masyarakat  Indonesia bahwa kepelabuhanan nasional akan terus tumbuh dan pada akhirnya dapat  bersaing dengan pemain besar pelabuhan dunia,” ujarnya.

Beberapa jam sebelum penandatanganan akta penggabungan, Presiden Joko Widodo menandatangani PP No 101/2021 tentang Penggabungan PT Pelindo I, III,  dan IV ke dalam PT Pelindo II (Persero). 

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan penggabungan ini dilakukan untuk membuat industri kepelabuhanan nasional lebih kuat, meningkatkan konektivitas maritim di seluruh Indonesia, dan meningkatkan kinerja dan daya saing BUMN di bidang kepelabuhanan.

Dengan merger itu pula, terbuka peluang perusahaan untuk go global. Integrasi ini  menempatkan Pelindo menjadi operator terminal peti kemas terbesar ke-8 di dunia dengan produksi bongkar muat kontainer 16,7 juta TEUs.

Mengiringi peresmian merger Pelindo, direksi dan komisaris baru pun dibentuk. Arif Suhartono yang sebelumnya menjabat Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) ditunjuk menjadi Dirut PT Pelindo.

Manajemen Pelindo menargetkan integrasi layanan dapat menekan biaya logistik di pelabuhan hingga 1,6% pada 2025. Biaya logistik Indonesia mencapai 23% terhadap produk domestik bruto, menurut survei terakhir yang dilakukan 2018. Biaya itu jauh lebih mahal ketimbang Singapura, Malaysia, Uni Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, India, dan China yang rata-rata  12% terhadap PDB. 

Dari 23%, 2,8% di antaranya berasal dari pelabuhan dan shipping. Sisanya disumbang oleh inventori (8,9%), darat (8,5%), serta administrasi dan lain-lain (3,5%).

Sekilas andil pelabuhan terhadap biaya logistik relatif kecil. Namun, jika fungsi dan peran pelabuhan sebagai gateway, interface, dan mata rantai distribusi berjalan tidak optimal, maka itu akan memberi efek berganda yang signifikan terhadap sektor lainnya. Dengan kata lain, pelabuhan adalah kunci menurunkan biaya logistik nasional.

Petugas beraktivitas di New Priok Container Terminal (NPCT) 1, salah satu terminal kontainer yang dikelola PT Pelindo II (Persero), di Kali Baru, Cilincing, Jakarta, Senin (5/2/2018)./Antara

BERGANTUNG PERUBAHAN

Menurut pengamat maritim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Saut Gurning, mencapai  target penurunan biaya logistik yang dikehendaki akan bergantung dari perubahan proses bisnis setelah Pelindo merger, khususnya pada biaya di jejaring hinterland domestik yang masih besar. Penyebabnya adalah kualitas aksesibilitas yang belum memadai, moda transportasi darat yang masih unimoda alias belum multimoda serta perizinan, administrasi, pemesanan, proses jasa dan pembayaran, yang belum tersimplifikasi.

"Saya kira jika bisa dilakukan secara kolektif, kolaborasi antarpelaku logistik maritim, didukung kebijakan pemerintah, maka dalam keadaan normal pascapandemi, target penurunan biaya logistik dalam dua hingga tiga tahun mungkin dapat dicapai," ujarnya saat dihubungi.

Saut menyebutkan, pekerjaan rumah yang paling mendesak segera diselesaikan adalah tidak mengubah kinerja eksis yang diberikan ke pengguna jasa, bahkan harus lebih baik.

Kedua, menyeragamkan semua proses bisnis, standard operating procedure (SOP), kinerja, peralatan, fasilitas kompetensi SDM, serta daya dukung sistem informasi. Menurut Saut, penyeragaman ini tidak mudah –meskipun mungkin-- karena membutuhkan adaptasi dan manajemen perubahan yang lebih cepat.

Ketiga, Pelindo mulai terlibat dengan pasar atau berorientasi ke luar negeri, baik bisnis kargo kontainer, nonkontainer, logistik, marine, maupun bisnis pendukung lainnya.

Sementara itu, pengamat BUMN Toto Pranoto berpendapat Pelindo sebaiknya menggandeng mitra strategis, misalnya Dubai Port (DP) World, masuk ke pelabuhan di Indonesia jika ingin go global. Kongsi dengan mitra dilakukan untuk menjadikan pelabuhan di Indonesia basis atau hub di kawasan Asia Tenggara.

"Jadi, Pelindo bisa bersaing dengan Pelabuhan Singapura atau Tanjung Pelepas Malaysia," ujarnya.

Segudang harapan perbaikan disematkan pada merger Pelindo. Namun, BUMN dengan aset senilai Rp112 triliun dengan total pendapatan Rp28,6 triliun itu belum menjawab pertanyaan tentang langkah dan target jangka pendek, setidaknya dalam tiga bulan setelah merger.

Saut menyoroti salah satu komponen biaya, yakni terminal handling charges (THC), yang selama ini masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Tarif THC di Indonesia US$150 per TEUs, sedangkan di Singapura US$110 dan Thailand US$60.

Komponen biaya pandu dan tunda Pelindo untuk trafik internasional juga masih kurang bersaing dibandingkan dengan tetangga, yakni bisa hampir dua kali lebih mahal dibandingkan dengan layanan serupa di Singapura dan Malaysia.

Menurut Saut, jika dua komponen biaya ini bisa ditekan, maka biaya logistik bisa berkurang 5%-6% dari 23% terhadap PDB saat ini. Dengan biaya logistik yang lebih rasional, volume ekspor bisa terdongkrak.

Namun, bila pemerintah menginginkan penurunan biaya logistik menjadi 17%, maka hal itu hanya bisa dilakukan lewat inovasi dan perubahan proses bisnis pada komponen biaya THC dan marine.

Toto pun berpendapat perlu ada quick wins program pascamerger dalam jangka pendek, misalnya konsolidasi struktur biaya yang lebih ramping dan efisien sehingga laba meningkat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.