Dua Tahun Kinerja Jokowi: Terlalu Ramah Terhadap Pelanggar HAM

Kritik dialamatkan kepada pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Ma'ruf Amin yang dinilai memberi karpet merah bagi pelanggar HAM dari negara lain yang masuk ke Indonesia.

Redaksi

19 Okt 2021 - 18.03
A-
A+
Dua Tahun Kinerja Jokowi: Terlalu Ramah Terhadap Pelanggar HAM

Jenderal Min Aung Mlaing dari Myanmar saat tiba di Indonesia untuk menghadiri KTT Asean,/Setpres

Bisnis, JAKARTA - Sikap pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin disorot atas sikapnya terhadap pelanggar HAM yang masuk ke Indonesia.

Kritikan tersebut disampaikan KontraS atas perjalanan dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf,

KontraS menilai pemerintahan Jokowi kerap memberikan karpet merah bagi para pelanggar hak asasi manusia dari beberapa negara.

Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) hal itu salah satunya terjadi saat pemerintah mengundang panglima junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, untuk menghadiri KTT Asean pada April 2021.

“Alih-alih Indonesia sebagai salah satu pemimpin di negeri Asean, mempunyai suara progresif untuk memberikan seruan ataupun rekomendasi kepada pemerintah Myanmar, justru mengundang salah satu jenderal yang menginisiasi kudeta datang ke Asean Summit di Indonesia,” ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam Catatan 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma'ruf Amin: Demokrasi Perlahan Mati di Tangan Jokowi, Selasa (19/10/2021).

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) sebelum memimpin rapat kabinet terbatas tentang akselerasi peningkatan peringkat kemudahan berusaha di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (12/2/2020)./Antara-Sigid Kurniawan

Menurut Fatia, hal tersebut bukan kali pertama. “Pada 2015 Indonesia mengundang jenderal dari Sudan yang jadi buron ICCI dan itu sebetulnya terdapat standar ganda karena pelaku-pelaku pelanggaran HAM justru mendapatkan ruang yang bebas untuk datang ke Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan pasifnya Indonesia dalam situasi kemanusiaan juga tergambar saat pengambilan suara di Majelis Umum PBB pada 18 Mei 2021, mengenai pembahasan tahunan prinsip responsibility to protect (R2P) dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Indonesia menolak resolusi terkait pembahasan R2P pada pertemuan tersebut,” ucap Fatia.

Selain itu, di level regional, Fatia berpendapat Indonesia gagal dalam mengedepankan prinsip HAM dan hanya mendorong kesepakatan-kesepakatan ekonomi ataupun keamanan.

“Indonesia tidak berupaya mendorong mekanisme yang progresif di tatanan Asia Tenggara terkait pemenuhan hak asasi manusia,” ungkapnya.

Alasan Indoanesia Tolak R2P

 
Terkait sikap Indonesia yang menyatakan "Tidak" pada pembahasan R2P Kementerian Luar Negeri telah memberi penjelasan.
 
Menurut Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemlu Febrian A Ruddyard, posisi yang disampaikan Indonesia pada Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung Senin (17/5/2021) bukan berarti Indonesia menolak membahas isu “tanggung jawab untuk melindungi dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan” atau yang biasa disebut R2P (responsibility to protect). 

Disebutkan Febrian bahwa konsep R2P telah diadopsi Sidang Majelis Umum PBB pada saat World Summit 2005 dan telah dibahas sejak 2009 hingga 2017, kemudian berlanjut dalam pembahasan sebagai agenda tambahan (supplementary agenda) setiap tahun hingga 2020.

“Artinya R2P bukan barang baru. Ini sudah dibahas sejak dulu dan kita selalu terlibat dalam pembahasan,” ujar Febrian dalam pemaparan media secara virtual, Kamis (20/5/2021) seperti dikutip Antara.

Ilustrasi - Sekelompok perempuan membawa obor saat mereka melakukan protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (14/7/2021)./Antara/Reuters-Stringer

Namun, ketika tahun ini Kroasia mengusulkan agar R2P dibahas dalam agenda tetap dan permanen SMU PBB, Indonesia tidak sepakat dengan usulan tersebut karena akan mengulang dari awal pembahasan yang telah dilakukan selama ini.

“Daripada buat agenda baru, kan harus mulai (dari awal) lagi. Lebih baik pakai agenda lama saja,” kata Febrian.

Menurut Febrian, Indonesia menilai konsep R2P justru perlu diperkuat dengan pembahasan lebih lanjut yang menyentuh pada aspek implementasi dengan parameter-parameter yang jelas.

“Belum ada konsensus internasional mengenai bagaimana mengimplementasikan R2P,” ujar Febrian.

“Tetapi soal (pencegahan) genosidanya sudah tidak lagi jadi masalah. Bahkan Indonesia tidak mempermasalahkan. Jadi sangat keliru bahwa dengan voting against berarti Indonesia tidak mau membahas isu ini,” kata dia, merujuk pada pilihan Indonesia dalam resolusi PBB yang dimaksud.

Sebelumnya, UN Watch mengunggah dokumen di Twitter yang menunjukkan hasil pemungutan suara atas resolusi PBB tentang R2P. Dalam dokumen yang diunggah LSM pengawas badan dunia itu, sebanyak 115 negara menyatakan setuju isu R2P dibahas sebagai agenda tetap SMU PBB, sedangkan 15 negara termasuk Indonesia menyatakan tidak, serta 28 negara memilih abstain.

Mengacu pada dokumen tersebut, Indonesia menegaskan akan menjalankan resolusi sesuai hasil pemungutan suara mayoritas dengan membahas isu R2P sebagai agenda tetap dan permanen.

“Resolusi Majelis Umum kan berdasarkan simple majority, jadi dengan (resolusi) kemarin itu memang sudah berjalan. Akan ada agenda permanen (terkait R2P) dan kita akan ikut karena kita tidak pernah menentang isu ini,” kata Febrian.

Sebagai salah satu hasil World Summit 2005, R2P merupakan suatu konsep yang memiliki tiga pilar yaitu pertama, perlindungan masyarakat dari kejahatan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan kewajiban pemerintah di negara-negara.

Kedua, apabila negara tersebut tidak mampu untuk memberikan perlindungan, maka komunitas internasional wajib memberikan bantuan kepada negara tersebut untuk dapat melakukan perlindungan.

Ketiga, apabila negara tersebut tidak mampu dan tidak mau untuk memberikan perlindungan, masyarakat internasional dapat melakukan aksi kolektif (collective actions) untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat sesuai Bab 7 Piagam PBB. (Indra Gunawan, Fitri Sartina Dewi, Saeno)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.