Tak ada yang dapat menakar pasti bagaimana situasi ekonomi dunia tahun depan. Apalagi, dunia masih dikepung ketidakpastian akibat gejolak geopolitik, ancaman gangguan rantai pasok, maupun risiko lonjakan inflasi yang memaksa sejumlah negara mengerek tinggi-tinggi suku bunga acuan. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi menjadi taruhan.
Keadaan itu mestinya juga terbaca oleh Pemerintah Indonesia. Kendati rupanya, beragam tantangan itu tak serta merta membuat pemerintah kehilangan optimisme. Buktinya, dalam rapat antara pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI, Selasa (19/9), sejumlah asumsi makro ekonomi dalam Rancangan UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 dinaikkan.
Penerimaan pajak, misalnya dikerek menjadi Rp1.988,87 triliun, naik Rp2 triliun dari target yang diusulkan dalam RAPBN 2024, sebesar Rp1.986,87 triliun.
Jika diperinci, DPR dan pemerintah menaikkan target penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) menjadi sebesar Rp811,36 triliun, dari usulan sebelumnya sebesar Rp810,36 triliun.
Demikian pula dengan target penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), yang dinaikkan menjadi Rp27,18 triliun, dari usulan sebelumnya Rp26,18 triliun.
Adapun, penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2024 disepakati sebesar Rp320,98 triliun, alias sama dengan usulan dalam RAPBN 2024. Total jenderal, target penerimaan perpajakan pada 2024 mencapai Rp2.309,85 triliun, lebih tinggi dari usulan sebelumnya Rp2.307,85 triliun.
Kenaikan PPN dan PPnBM menjadi salah satu bukti optimisme pemerintah bahwa aktivitas ekonomi pada tahun depan bakal meningkat. Artinya, sektor konsumsi yang menjadi pilar penting penopang pertumbuhan ekonomi dapat diandalkan.
Keyakinan itu agaknya tak berlebihan. Apalagi, melihat sejauh ini ekspektasi konsumen perihal ekonomi nasional tergolong positif.
Setidaknya hal itu tecermin dari Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) edisi Agustus 2023 lansiran Bank Indonesia, yang menunjukkan angka optimistis yakni 135, lebih tinggi ketimbang Juli sebesar 133,2. Ekspektasi konsumen tersebut ditopang oleh harapan tinggi terhadap kegiatan usaha dan ketersediaan lapangan kerja.
Kendati demikian, pemerintah harus tetap waspada. Ada hal yang berisiko mengganggu soliditas daya beli masyarakat. Utamanya soal harga dan suku bunga. Jika harga barang dan jasa melonjak, tentu daya beli akan terdampak. Demikian pula dengan suku bunga, jika makin tinggi, akses ke likuiditas bakal makin terbatas.
Untungnya sejauh ini Bank Indonesia masih kukuh tak menaikkan suku bunga acuan 7 bulan lamanya, dan lebih memilih mengoptimalkan berbagai bauran kebijakan untuk menjaga kendali inflasi.
Walaupun mungkin saja otoritas moneter bakal mengkaji ulang keputusan tersebut, jika bank-bank sentral utama dunia, khusus Federal Reserve, kembali agresif menaikkan suku bunga acuan.
Namun, sejauh ini Bank Indonesia cukup percaya diri inflasi terkendali, sekaligus menjadi basis yang kuat bagi pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi melalui serangkaian kebijakan, baik fiskal maupun nonfiskal.
Tak heran, jika pada RAPBN 2024, pemerintah mematok target optimistis, yakni pertumbuhan ekonomi 5,2%, laju inflasi 2,8%, dan nilai tukar rupiah Rp15.000 per dolar AS.
Pekerjaan berikutnya adalah memastikan upaya-upaya untuk meraihnya dapat dilakukan konsisten dengan tetap memperhatikan dinamika ekonomi global. Walaupun sukar ditebak, tetapi dengan persiapan yang terukur setidaknya impak ketidakpastian itu dapat diminimalkan.