Bisnis, JAKARTA — Aksi bank sentral yang mengatrol suku bunga acuan dari 6% menjadi 6,25% membuka lubang fiskal yang perlu segera ditutup dengan rapat. Celah yang dimaksud adalah belanja bunga utang yang makin tambun lantaran terimpak pengetatan moneter dan pelemahan rupiah secara bersamaan.
Memang, kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) terpaksa dilakukan untuk merespons pelemahan rupiah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) serta ekspektasi higher for longer yang lebih lama.
Akan tetapi, keputusan ini juga melahirkan risiko tambahan dari sisi fiskal. Sejalan dengan suku bunga yang lebih tinggi, maka akan berdampak pada perkembangan pembayaran bunga utang oleh pemerintah.
Terlebih, pada saat bersamaan rupiah juga masih terseok bahkan menyentuh level tertinggi baru setidaknya sejak 2020 silam, yakni di area Rp16.000 per dolar AS.