Ekonomi China Dibayangi Kemelut Properti dan Omicron

Serangkaian indikator awal menunjukkan ekonomi China terus melambat pada November dengan penjualan mobil dan rumah turun lagi karena krisis pasar perumahan yang berlarut-larut.

Nindya Aldila

30 Nov 2021 - 23.45
A-
A+
Ekonomi China Dibayangi Kemelut Properti dan Omicron

Pembangunan apartemen di China./Bisnis.com-Bloomberg

Bisnis, JAKARTA – Kemelut properti dan ancaman penyebaran varian baru virus corona membayangi prospek ekonomi China pada 2022. Laju ekonomi terbesar kedua di dunia itu bisa melambat di bawah 5 persen meski krisis listrik mulai bisa diatasi.

Serangkaian indikator awal menunjukkan ekonomi China terus melambat pada November dengan penjualan mobil dan rumah turun lagi karena krisis pasar perumahan yang berlarut-larut.

Permintaan ekspor yang kuat menjelang musim liburan akhir tahun sebagian membantu mengimbangi penurunan properti.

Ekonom JP Morgan Chase & Co., Haibin Zhu, memproyeksi pertumbuhan PDB China mencapai 4,7 persen dari target pemerintah berkisar 5,5-6 persen pada tahun depan. Menurutnya, pasar perumahan akan mengalami normalisasi pinjaman dan pendanaan kepada pengembang properti.

"Meskipun tidak akan ada pencabutan larangan [tiga] garis merah," katanya, dikutip Bisnis.com dari Bloomberg, Selasa (30/11/2021).

Ekonom Citigroup Yu Xiangrong juga menilai krisis di sektor properti bakal menjadi kekhawatiran terbesar, ditambah investasi aset tetap real estat yang stagnan.  

"Itu akan memangkas tingkat pertumbuhan PDB tahun depan menjadi 4,7 persen," katanya.

Agak berbeda, ekonom UBS Global Wealth Management Hu Yifan mengatakan laju ekonomi memang melambat, tetapi masih di atas 5 persen. Dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berkisar 5,4 persen pada 2022 dengan kontribusi yang lemah dari ekspor dan konsumsi. Namun, akan ada pertumbuhan dari investasi.

Tambahan dukungan moneter dan fiskal kemungkinan akan menyusul. Para pembuat kebijakan mungkin akan mencoba untuk memoderasi penurunan tajam pada sektor properti. Bank Rakyat China (PBOC) pekan lalu mengisyaratkan bias pelonggaran.

Hu memperkirakan PBOC bakal memangkas rasio cadangan wajib (RRR) perbankan sebelum Tahun Baru Imlek pada awal Februari setelah pejabat tinggi, termasuk Perdana Menteri Li Keqiang, menekankan tantangan ekonomi baru-baru ini.

Terkait dengan RRR, Citigroup memprediksi pemangkasan 50 basis poin dan pemangkasan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin tahun depan.

Sementara itu, kabinet China mendesak pemerintah daerah untuk mempercepat pengeluaran. Pada saat yang sama, pemerintah juga memberikan dukungan kepada usaha kecil dan teknologi hijau.

Langkah pemerintah untuk menghindari kelesuan ekonomi akan makin terlihat jelas setelah Partai Komunis mengadakan Konferensi Kerja Ekonomi Pusat.

MANUFAKTUR MULAI PULIH

Sementara itu, industri China mulai menunjukkan perbaikan pada November setelah ketersediaan listrik menghidupkan kembali mesin pabrik dan meredakan kenaikan harga. Hal ini membantu menopang ekonomi yang dilanda kemerosotan sektor properti.

Purchasing managers index (PMI) manufaktur China naik menjadi 50,1, setelah terus di bawah 50 selama dua bulan terakhir. Sementara itu, indeks nonmanufaktur yang mengukur aktivitas di sektor konstruksi dan jasa turun tipis menjadi 52,3. Kedua capaian tersebut mengalahkan ekspektasi para ekonom.

Sektor jasa melambat, sedangkan konstruksi tumbuh pada November, menjadi sinyal yang biasa terjadi, di mana bulan ini memiliki hari kerja yang lebih banyak daripada Oktober.

Kelangkaan energi yang sempat menonaktifkan mesin industri selama September dan Oktober berakhir karena produsen batu bara meningkatkan produksi. Persediaan pun aman.

Dikutip Bisnis.com dari Bloomberg, ahli statistik Biro Statistik Nasional Zhao Qinghe mengatakan langkah pemerintah memperkuat pasokan energi dan menstabilkan harga telah membuahkan hasil. Harga input manufaktur turun tajam menjadi 52,9 dari 72,1 dan harga output jatuh ke 48,9 dari 61,1.

Ekonom NatWest Group Plc., Liu Peiqian mengatakan proyeksi manufaktur China tetap stabil seiring dengan upaya China mempertahankan keunggulannya di rantai pasok manufaktur global yang sedang mengalami gangguan dan kelangkaan.

"Bagaimanapun, kecepatan pertumbuhan akan normal dalam beberapa kuartal ke depan seiring dengan prospek permintaan melunak,” ujarnya,.

Kendati kenaikan terjadi di hampir seluruh PMI, data juga menyoroti permintaan dari dalam dan luar negeri yang masih lemah. Indeks ekspor baru naik 48,5, masih terkontraksi selama 7 bulan. Pesanan baru hanya naik tipis dari 48,8 menjadi 49,4.

Lebih dari sepertiga perusahaan yang disurvei mengatakan permintaan yang sepi masih menjadi tantangan terbesar. Hal ini mengindikasikan tekanan ke bawah ekonomi masih sangat terasa, kata peneliti Pusat Penelitian Pengembangan Dewan Negara, Zhang Liqun.

Menurutnya, prioritas saat ini adalah memperbesar permintaan domestik dengan memainkan peranan investasi pemerintah yang lebih besar sehingga mengerek investasi korporasi, lapangan pekerjaan, dan konsumsi rumah tangga.

"Tekanan ke bawah pada ekonomi tetap kuat dan kemunculan varian omicron menambah ketidakpastian ekonomi global," kata Kepala Ekonom Asia Bloomberg Chang Su.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.