Ekspansi Manufaktur RI Mulai Mengendur Jelang Akhir 2021

PMI manufaktur Indonesia pada November 2021 bertengger di level 53,9 alias turun dari bulan sebelumnya di titik 57,2. Tantangan harga bahan baku yang melesat ke posisi tertinggi dalam 8 tahun menjadi isu yang terus membayangi industri dalam negeri.

Reni Lestari

1 Des 2021 - 12.15
A-
A+
Ekspansi Manufaktur RI Mulai Mengendur Jelang Akhir 2021

Pekerja menyelesaikan pembuatan perangkat alat elektronik rumah tangga di PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/8/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis, JAKARTA — Kendati mengalami penurunan dari bulan sebelumnya, kinerja industri manufaktur Indonesia pada November 2021 tercatat masih bertahan di zona ekspansif. Hal itu menggambarkan kondisi sektor riil relatif membaik selama 3 bulan berturut-turut.

Berdasarkan laporan IHS Markit Purchasing Managers' Index (PMI), kinerja manufaktur Indonesia mencapai angka 53,9 pada November 2021, turun dari bulan sebelumnya 57,2.  PMI di atas level 50 menujukkan adanya ekspansi di mayoritas sektor industri.

IHS Markit juga menyebut pemulihan dari gelombang Covid-19 Delta terus berlanjut pada November, seiring dengan ekspansi manufaktur selama tiga bulan berturut-turut.

(BACA JUGA: Lepas Isu Bahan Baku, Industri Tekstil Diteror Kenaikan TDL 2022)

Pertumbuhan permintaan dan produksi menurun dari tingkat rekor pada Oktober, tetapi bertahan pada laju terkuat.

Economics Associate Director IHS Markit Jingyi Pan mengatakan tren pemulihan tersebut berdampak pada aktivitas pembelian yang kembali naik tajam, yang dibarengi dengan kenaikan tentatif pada serapan tenaga kerja dan inventaris perusahaan.

Di sisi lain, tantangan tekanan harga justru kian intensif akibat harga bahan baku yang melesat ke posisi tertinggi dalam 8 tahun, yang dibarengi dengan makin panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pesanan bahan baku.

(BACA JUGA: Manufaktur Tetap Solid Meski Terusik PPKM Level 3 Nataru)

"Momentum pertumbuhan di sektor manufaktur Indonesia pada November menurun dari rekor laju bulan Oktober, tetapi masih bertahan kuat untuk menandakan pemulihan berkelanjutan dari gelombang Covid-19 Delta," kata Pan, Rabu (1/12/2021).

Lebih lanjut, dia menjabarkan perusahaan juga terus memperluas kapasitas tenaga kerja mereka dan meningkatkan aktivitas pembelian di tengah harapan kenaikan produksi pada masa mendatang. “Ini merupakan tanda positif,” ujarnya.

Sementara itu, kenaikan produksi juga didukung oleh kenaikan permintaan, dengan total pesanan baru juga mengalami ekspansi selama tiga bulan berturut-turut. Namun, kedua tolok ukur melihat tingkat ekspansi berkurang dari rekor terbaik sepanjang waktu yang tercatat pada Oktober.

(BACA JUGA: Menimbang Dampak Sistemik Pajak Karbon Lintas Sektor Industri)

Pada perkembangan lain, permintaan asing terus menurun, jatuh selama lima bulan berturut-turut. Menurut bukti anekdotal, kurangnya permintaan asing dan rendahnya tingkat inventaris merupakan penyebab penurunan pada November.

Namun demikian, permintaan dan produksi mengalami kenaikan aktivitas pembelian sehingga inventaris praproduksi terus naik pada November.

Pada saat bersamaan, inventaris pascaproduksi juga naik. Untuk pertama kalinya sejak Agustus, kenaikannya hanya pada kisaran marginal.Responden survei menyoroti penundaan pengiriman keluar dan kenaikan produksi menyumbang kenaikan pada November.

Adapun, tingkat ketenagakerjaan naik di survei terkini meski hanya marginal. Hal ini disebabkan perusahaan manufaktur Indonesia memperluas kapasitas tenaga kerja mereka sejalan dengan produksi.

Namun demikian, penumpukan pekerjaan mengalami akumulasi dengan perusahaan menunjukkan bahwa kenaikan permintaan dan hambatan pengiriman mendorong kenaikan pekerjaan yang belum terselesaikan.

“Tentu saja, waktu pemenuhan pesanan terus memburuk di sektor manufaktur Indonesia di tengah-tengah laporan kemacetan pengiriman dan lalu lintas,” tutur Pan.

TEKANAN HARGA

Tekanan harga adalah masalah lain yang harus terus dihadapi oleh perusahaan manufaktur Indonesia, dengan perusahaan melihat harga bahan baku dan biaya produksi kembali naik pada November.

Inflasi harga input mengalami akselerasi pada November ke posisi tinggi delapan tahun, didorong oleh kenaikan biaya bahan baku dan transportasi di samping kekurangan di pihak pemasok.

Akibatnya, perusahaan manufaktur berlanjut meneruskan beban kenaikan biaya kepada pelanggan dengan menaikkan harga.

"Hambatan pasokan terus mempengaruhi negara Asia Tenggara, dengan perusahaan melihat waktu pemenuhan pesanan lebih lama dan tekanan harga masih terus ada. Namun, tingkat perpanjangan waktu pengiriman dari pemasok berkurang pada November, kemungkinan menggambarkan tanda-tanda perbaikan menuju akhir tahun," ujar Pan.

Sementara itu, sentimen bisnis secara keseluruhan bertahan positif pada bulan November, tetapi turun ke posisi terendah dalam 18 bulan.

Responden survei secara umum berharap bahwa pemulihan ekonomi dari gelombang Covid-19 Delta akan terus berlanjut tetapi beberapa di antaranya khawatir dengan efek sisi virus.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita saat mengunjungi pabrik HSM 2 milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. /Kementerian Perindustrian

Untuk diketahui, pertumbuhan kinerja industri selama dua kuartal berturut-turut menjadi asa pelaku manufaktur untuk kembali ke ekspansif sebelum tahun pandemi. Kuartal terakhir tahun ini pun akan menjadi pertaruhan besar kinerja sektor pengolahan nonmigas.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri manufaktur pada kuartal III/2021 sebesar 3,68 persen secara year on year (YoY), sedikit di atas pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan tersebut sebesar 3,51 persen.

Pertumbuhan industri yang melambat dari kuartal II/2021 sebesar 6,91 persen ditengarai terjadi akibat dampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) setelah kasus Covid-19 melonjak sepanjang Juli—Agustus 2021.

Adapun, pada kuartal I/2021 industri manufaktur masih terkontraksi -0,71 persen setelah terpukul menjadi -2,93 persen sepanjang 2020.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya mengatakan perlambatan pertumbuhan pada triwulan ketiga telah diperkirakan sebagai dampak dari PPKM.

"Bila saya lihat lebih dalam datanya, ternyata pertumbuhan industri malah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, which is a good news," kata Agus kepada Bisnis, belum lama ini.

Menurutnya, hal itu mengindikasikan pertumbuhan industri manufaktur sepanjang tahun ini berada di jalur yang tepat.

Agus melanjutkan pertumbuhan industri pengolahan didukung peningkatan kinerja beberapa sub sektornya, seperti industri alat angkut sebesar 27,84 persen yang didukung kenaikan produksi kendaraan bermotor sebagai dampak pemberian insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM-DTP).

Kemudian, industri kimia, farmasi dan obat tradisional tumbuh 9,71 persen, didukung oleh produksi farmasi dan obat-obatan untuk memenuhi permintaan domestik dalam penanganan Covid-19.

Ada pula industri logam dasar yang tumbuh 9,52 persen sejalan dengan peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan luar negeri yang tinggi.

Lalu, industri makanan dan minuman tumbuh 9,52 persen sejalan dengan peningkatan produksi CPO dan turunannya untuk memenuhi permintaan domestik luar negeri.

"PMI kita bulan lalu pecah rekor lagi, jadi saya optimistis target dapat tercapai [untuk kembali ke angka sebelum pandemi]," ujarnya.

Dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia (BI), kinerja manufaktur pada kuartal IV/2021 diperkirakan meningkat signifikan terindikasi dari acuan saldo bersih tertimbang (SBT) kegiatan usaha menjadi sebesar 1,13 persen dari -0,10 persen pada kuartal III/2021.

Sejalan dengan perkiraan peningkatan SBT kegiatan usaha, Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia juga diperkirakan meningkat dari 48,75 persen pada triwulan III/2021 menjadi 51,17 persen pada kuartal terakhir tahun ini.

Peningkatan tersebut terjadi pada komponen volume produksi, pesanan, persediaan barang jadi, yang semuanya berada dalam fase ekspansi.

PENGUSAHA REALISTIS

Dari sisi pelaku industri, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) memproyeksikan pertumbuhan produksi pada tahun ini belum akan menyamai angka sebelum pandemi.

Namun, pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat memungkinkan proyeksi pertumbuhan naik dari perkiraan pada tengah tahun.

Sekjen Inaplas Fajar Budiono memproyeksikan kinerja produksi dapat tumbuh 4 persen hingga 4,5 persen. Angka ini naik dari perkiraan sebelumnya yakni 3 persen.

"Kalau kembali ke sebelum pandemi belum bisa ya, paling-paling di angka 4 persen, maksimal sampai 4,5 persen," katanya.

Fajar melanjutkan naiknya proyeksi tersebut juga dipengaruhi oleh berkurangnya fluktuasi harga komoditas di pasar dunia dalam dua bulan terakhir.

Selain itu, pasar-pasar ekspor juga sudah bergeliat sehingga turut menaikkan utilisasi industri ke angka 75 persen untuk plastik hilir dan di atas 95 persen untuk hulu.

Namun, isu yang perlu diwaspadai adalah mulai kembali membanjirnya barang-barang impor dari China karena negara itu belum bisa masuk ke pasar-pasar seperti Amerika Serikat dan Eropa sebagai dampak perang dagang.

Kalangan ekonom menilai ekspansi kinerja industri manufaktur tahun ini berpeluang menyamai pertumbuhan sebelum pandemi. Namun, hal itu belum cukup untuk mengindikasikan industri bekerja secara optimal.

Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan pertumbuhan industri manufaktur seharusnya harus didorong untuk melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.

"Secara umum pertumbuhan manufaktur itu bisa kembali ke sebelum pandemi. Masalahnya pertumbuhan sebelum pandemi belum optimal, harusnya lebih tinggi lagi," kata Heri.

Pertumbuhan industri manufaktur pada kuartal III/2021 tercatat 3,68 persen, sedikit di atas ekspansi ekonomi nasional 3,51 persen.

Angka itu melambat dari pertumbuhan pada kuartal II/2021 sebesar 6,91 persen. Adapun, pada kuartal I/2021 industri manufaktur masih terkontraksi -0,71

Heri mengatakan angka kuartal III/2021 belum secara kuat mengindikasikan bahwa pertumbuhan industri pada tahun ini dapat melampaui ekonomi nasional.

Untuk mencapai kinerja optimal, lanjutnya,hal yang perlu dilakukan adalah memperkuat struktur industri dengan mengoptimalkan strategi substitusi impor.

Selain itu, upaya penghiliran yang saat ini terus dilakukan lambat laun harus bergeser ke industri inovatif dan berteknologi tinggi.

Dengan situasi pandemi di dalam negeri yang mulai kondusif dan operasi industri berangsur normal, pemerintah bisa mengupayakan akselerasi kinerja industri di atas pertumbuhan ekonomi.

"Pada triwulan 3 ini [kinerja manufaktur] agak lumayan bergeliat, tetapi belum bisa jadi patokan yang kuat. Coba kita lihat sepanjang 2021, harusnya sektor industri bisa tumbuh lebih dari pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.