Bisnis, JAKARTA — Rencana investasi satelit oleh taipan global Elon Musk melalui Starlink, anak usaha SpaceX, mencuatkan dilema tersendiri bagi industri telekomunikasi Indonesia. Risiko kedaulatan dirgantara hingga harga layanan yang mahal menjadi beberapa aspek yang disorot.
Untuk diketahui, Telkom Indonesia akhirnya mengonfirmasi adanya kesepakatan dengan SpaceX, perusahaan dirgantara milik taipan global Elon Musk, terkait dengan investasi satelit orbit bumi rendah buatan Starlink.
Starlink adalah satelit orbit bumi rendah atau low-earth orbit (LEO) satellite, yang mampu memberikan kecepatan internet hingga puluhan Mbps dengan latensi rendah.
Beberapa orang menjuluki satelit LEO sebagai base transceiver station (BTS) yang mengapung di udara karena kelebihannya itu.
Vice President Corporate Communication PT Telkom Indonesia Tbk. Pujo Pramono mengonfirmasi perseroan pelat merah berkode saham TLKM saat ini masih melakukan penjajakan kerja sama dengan Starlink. Proses penjajakan berjalan sesuai dengan rencana.
Proses penjajakan, yang berlangsung sejak Juli 2021, telah menghasilkan beberapa kesepakatan salah satunya mengenai teknis kerja sama.
“Beberapa hal teknis telah disepakati bersama, tetapi belum dapat kami informasikan sehubungan adanya Non Disclosure Agreement [NDA],” kata Pujo kepada Bisnis, Kamis (14/10/2021).
Satelit Starlink./dok. Starlink
Sekadar informasi, pada Juli 2021, TLKM mengindikasikan sedang melakukan pembicaraan dengan SpaceX, induk dari Starlink, untuk menghadirkan konektivitas digital di seluruh Indonesia khususnya daerah pelosok.
Melalui kerja sama itu, TLKM ingin menghadirkan layanan satelit dengan teknologi terkini bagi masyarakat Indonesia.
Pujo mengatakan TLKM berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah meningkatkan konektivitas digital di seluruh wilayah Indonesia.
Mengingat geografis wilayah Indonesia luas, sambungnya, peran teknologi satelit sangat dibutuhkan dalam mengakselerasi pemerataan konektivitas digital hingga ke pelosok Nusantara.
Menurutnya, TLKM terbuka untuk bermitra dengan pihak manapun yang memiliki kompetensi dalam pemanfaatan teknologi satelit, termasuk satelit LEO milik perusahaan Elon Musk, Starlink. “Hal inilah yang mendasari pembicaraan kerja sama Telkom dengan SpaceX,” kata Pujo.
Adapun, layanan satelit Starlink rencananya dapat dinikmati di seluruh dunia, kecuali Kutub Utara dan Selatan.
Melalui akun Twitternya, pada September 2021, Elon Musk menyatakan proyek Starlink akan diluncurkan pada bulan ini, lebih lambat dari target seharusnya yaitu Agustus 2021.
SpaceX telah meluncurkan Starlink beta 10 yang beroperasi di 11 negara. SpaceX mengeklaim Starlink Beta 10 memiliki kecepatan data berkisar 50 Mbps—150 Mbps, dengan latensi 20 milidetik sampai 40 milidetik.
Sejauh ini, diketahui biaya berlangganan layanan internet satelit Starlink sekitar Rp1,45 juta per bulan dengan peranti penangkap sinyal seharga Rp7,26 juta.
URUS PERIZINAN
Saat dimintai konfirmasi, perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan Starlink dan mitra tengah mengurus hal-hal yang dibutuhkan untuk beroperasi di Indonesia.
Juru Bicara Kemenkominfo Dedy Permadi mengatakan sampai saat ini, kementerian terus mempertimbangkan dan mengkaji rencana bisnis (business plan) pengoperasian satelit Starlink.
Secara bersamaan, Starlink dan mitra yang menjalin kerja sama, memenuhi kewajiban sesuai dengan peraturan yang berlaku.
“Starlink bersama mitra terkait saat ini sedang dalam proses pemenuhan kewajiban yang diatur oleh undang-undang, termasuk koordinasi dengan administrator satelit lain di Indonesia,” kata Dedy kepada Bisnis, Kamis (14/10/2021).
Kemenkominfo, kata Dedy, akan terus melakukan pengkajian dan pengawasan terhadap proses rencana kegiatan komersial pengoperasian Starlink di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
Sekadar informasi, pada Juli 2021 Kemenkominfo menggelar kegiatan focus group discussion (FGD) mengenai Starlink.
FGD dilakukan untuk mengetahui beberapa aspek rencana investasi Starlink seperti kesesuaian dengan regulasi, kebermanfaatan untuk industri dan masyarakat, serta aspek keamanan dan pertahanan nasional.
Kemenkominfo juga secara aktif berkoordinasi dengan perwakilan Starlink untuk mendapatkan informasi dan penjelasan yang lebih detail mengenai produk SpaceX itu.
Sementara itu, berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis, diketahui Starlink siap beroperasi di kawasan Asia pada akhir 2021 atau awal 2022.
Khusus untuk di Indonesia, berdasarkan situs resmi Starlink, pada Juli 2021 sebanyak 13.901 orang Indonesia menyatakan tertarik dengan layanan Starlink.
Kemudian, sekitar 415 orang dari jumlah tersebut bahkan telah melakukan deposit senilai US$100 untuk bisa menggunakan layanan satelit yang beroperasi di orbit rendah itu. Starlink sendiri tidak akan memberikan layanan hingga memenuhi segala persyaratan dan peraturan yang berlaku.
Dari dokumen itu juga diketahui bahwa rencananya SpaceX akan membangun 25 gateway stasiun bumi di Indonesia dalam 1,5 tahun ke depan. Sebanyak 6 stasiun bumi akan dibangun di Papua pada 2021.
Pada pengembangan tahap awal itu juga, rencananya Starlink akan meluncurkan layanan ke konsumen. Layanan ke konsumen akan makin luas ketika Gateway telah aktif pada 2022.
Adapun, Papua merupakan daerah yang belum banyak tersentuh layanan internet. Sebanyak 65% dari 7.900 BTS 4G Bakti, rencananya akan dibangun di Papua dan Papua Barat.
MANFAAT JELAS
Para pakar telekomunikasi berpendapat pemanfaatan satelit Starlink di Indonesia harus jelas peruntukannya. Penyebabnya, kehadiran satelit Starlink justru berisiko mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan secara teknis, untuk bisa memberikan layanan, Starlink harus memiliki hak labuh atau landing right di Indonesia dan Indonesia seharusnya juga memiliki hak labuh di negara asal satelit Starlink yaitu Amerika Serikat.
Setelah mengantongi hak labuh, perlu ada izin jaringan tetap tertutup berbasis VSAT yang dipegang oleh Startlink.
Heru menegaskan hal paling penting dari kerja sama yang terjalin nanti adalah tujuan yang jelas mengenai pemanfaatan startlink di Indonesia.
“Jangan sampai pasar Telkom diambil dan mereka membuka lubang keamanan untuk masuk ke Indonesia,” kata Heru, Kamis (14/10/2021).
Adapun, koordinasi spektrum frekuensi dengan pemain satelit Indonesia menjadi salah satu hal yang harus diselesaikan Starlink milik Elon Musk jika ingin beroperasi di Indonesia.
Peluncuran satelit Starlink./dok. Starlink
Anggota Dewan Profesi dan Asosiasi Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kanaka Hidayat mengatakan salah satu tantangan Starlink untuk beroperasi adalah koordinasi spektrum frekuensinya dengan operator satelit Indonesia.
Beberapa satelit Indonesia beroperasi dengan frekuensi Ka-band yang sama dengan milik Starlink. Korporasi itu harus menjalin komunikasi untuk menghindari interferensi sesama pengguna satelit.
“Bahkan Starlink [harus] mengalah bila ada kemungkinan mengganggu,” kata Kanaka, Kamis (14/10/2021).
Sekadar informasi, Satelit Starlink akan menggunakan frekuensi Ka Band dan Ku Band. Sejumlah satelit—salah satunya Satelit Satria—bakal menggunakan frekuensi tersebut untuk beroperasi.
Di samping itu, sambungnya satelit-satelit di Indonesia berada di lintang khatulistiwa, maka saat beroperasi di Indonesia Starlink harus menghindari lintas orbit khatulistiwa.
Upaya menghindari lintas orbit khatulistiwa itu membuat satelit Starlink lebih banyak manfaatnya bagi negara-negara yang berada di garis lintang tertentu, bukan garis khatulistiwa.
“Masalah lintasan orbit. Pada prinsipnya seorang pengguna hanya bisa melihat 1 satelit dengan frekuensi yang sama,” kata Kanaka.
Kanaka juga menyoroti mengenai harga layanan yang diberikan Starlink. Dikabarkan biaya berlangganan layanan internet satelit Starlink sekitar Rp1,45 juta per bulan dengan peranti penangkap sinyal seharga Rp7,26 juta.
Harga tersebut terbilang sangat murah. Namun belum diketahui implementasi ketika beroperasi, sesuai yang dijanjikan atau tidak. Menurut Kanaka, satelit LEO termasuk dalam kategori teknologi baru.
Pada umumnya, teknologi baru memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan teknologi yang sudah ada, dalam hal ini satelit geostasioner (GEO). “Kami di industri satelit menunggu harga di LEO menurun,” kata Kanaka.