Emiten Mulai Gencar Berburu Kredit Bank

Perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) mulai banyak mendapatkan likuiditas dari perbankan pada akhir kuartal III/2021. Pilihan meraih pinjaman maupun mencairkan fasilitas kredit dari bank seiring dengan optimisme pemulihan ekonomi.

Dwi Nicken Tari

21 Sep 2021 - 17.29
A-
A+
Emiten Mulai Gencar Berburu Kredit Bank

Karyawan menujukan uang Rupiah di kantor cabang Bank BCA di Jakarta, Selasa (5/1/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis, JAKARTA — Sejumlah emiten mulai aktif menarik fasilitas kredit dari  perbankan pada paruh kedua tahun ini untuk membiayai aneka kebutuhannya. Hal ini menjadi salah satu sinyal yang menunjukkan adanya peningkatan optimisme pelaku usaha terhadap prospek pemulihan ekonomi.

Emiten menara PT Sarana Menara Nusantara Tbk., misalnya, mendapatkan pinjaman dari sejumlah bank melalui dua entitas anaknya, yaitu PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dan PT Iforte Solusi Infotek (Iforte) senilai total Rp14 triliun.

Protelindo merupakan anak usaha dari emiten dengan kode saham TOWR tersebut dengan kepemilikan saham 99,99%. Sementara itu, Iforte merupakan anak usaha dari Protelindo dengan kepemilikan saham 99,99%.

Sekretaris Perusahaan Sarana Menara, Irfan Ghazali, mengatakan pinjaman yang didapatkan masing-masing anak usaha perseroan merupakan transaksi terpisah dan tidak berhubungan satu sama lain.

“Namun demikian, mengingat transaksi-transaksi tersebut adalah jenis transaksi yang sejenis dan seluruh pinjaman diberikan kepada Protelindo, maka keterbukaannya dilakukan dalam satu keterbukaan,” tulis Irfan dalam keterbukaan informasi, Selasa (21/9).

Adapun, perbankan yang telah menandatangani fasilitas kredit ke Protelindo adalah Bank BNI senilai Rp3 triliun, Bank BTPN Rp2 triliun, Bank CIMB Niaga Rp1 triliun, Bank HSBC Indonesia Rp1 triliun, Bank Mandiri Rp2 triliun, Bank Mizuho Indonesia Rp2 triliun, dan MUFG Bank Ltd. cabang Jakarta Rp 3 triliun.

Irfan melanjutkan bahwa pinjaman tersebut akan digunakan oleh Protelindo untuk membiayai kebutuhan umum perusahaan termasuk juga untuk membiayai potensi akuisisi oleh Protelindo.

“Atas penandatanganan Perjanjian Pinjaman tersebut di atas maka jumlah utang Protelindo akan meningkat, namun masih di dalam batasan-batasan yang wajar,” tulis Irfan.

Selain TOWR, beberapa emiten lain yang juga mendapatkan pendanaan dari perbankan antara lain PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) mendapat kredit dari Bank BNI senilai Rp256,5 miliar, serta PT Galva Technologies Tbk. (GLVA) senilai US$10 juta dan Rp160 miliar dari Bank BCA.

Selain itu, terdapat anak usaha dari PT Nusantara Infrastructure Tbk. (META) mendapat Rp750 miliar dari Bank BCA, anak usaha PT Delta Dunia Makmur Tbk. (DOID) senilai US$450 juta dari Bank Mandiri, dan anak usaha PT Intiland Development Tbk. (DILD) senilai Rp75 miliar dari Bank MNC.

Sementara itu, dari kalangan BUMN, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) juga baru saja merampungkan negosiasi dengan 21 bank untuk proses restrukturisasi utang besar-besaran. Total fasilitas kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp29,2 triliun.

Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono mengatakan perseroan telah mendapat dukungan dari berbagai sisi dan kondisi saat ini sudah sangat jauh berbeda dibandingkan dengan setahun silam.

“Kami harapkan di awal Oktober ini Waskita bisa mendapat fasilitas baru. Dengan adanya fasilitas baru tersebut maka aktivitas Waskita bisa ditingkatkan dan mengejar target dalam 3 bulan menjelang akhir 2021,” kata Destiawan dalam konferensi pers, Senin (20/9).

Destiawan mengatakan restrukturisasi ini selanjutnya akan diproses dengan masing-masing perbankan sehingga perseroan agar darah likuiditas perseroan kembali mengalir.

Selain penyelesaian restrukturisasi tersebut, WSKT juga mendapat dukungan dari pemerintah berbentuk penjaminan modal kerja dan penjaminan obligasi yang akan jatuh tempo pada 2021 dan 2022.

“Ini merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk bisa mengembalikan Waskita kepada performanya,” ujar Destiawan.

Tak hanya itu, pemerintah juga menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp7,9 triliun pada 2021 dan diharapkan pada tahun depan juga ada lagi.

Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menjelaskan pertimbangan pendanaan bank oleh emiten bisa jadi karena perusahaan sudah memiliki fasilitas pinjaman yang belum digunakan atau undisbursed loan.

“Sehingga ketika perusahaan sudah melihat adanya pemulihan ekonomi, mereka mulai berani memanfaatkan fasilitas tersebut,” kata Alfred kepada Bisnis, Selasa (21/9).

Adapun, dampak penarikan fasilitas kredit disebut Alfred sudah pasti akan memunculkan biaya atau bunga atas utang tersebut. Dengan demikian, emiten harus mempertimbangkan kondisi solvabilitas ketika melakukan pendanaan utang.

Hal itu dilihat baik dari sisi struktur pendanaan (utang vs. modal) dan kemampuan untuk melakukan pembayaran (bunga dan pokok).

Alfred mengingatkan emiten perlu melihat space leverage yang dimiliki dengan membandingkan ke ekuitas. Apabila perseroan masih memiliki ruang yang besar, tentu pendanaan utang bisa dilakukan, terlebih pendanaan ini memiliki tax shield dibandingkan dengan pendanaan ekuitas melalui emisi saham baru.

“Terkait dengan kemampuan membayar, emiten harus memastikan tujuan penggunaan dana utang tersebut match baik dari sisi waktu (maturity) dan juga return yang dihasilkan,” jelas Alfred.

Lebih lanjut, Alfred menjelaskan berdasarkan pecking order theory disebutkan tingkat prioritas pendanaan perusahaan adalah retained earning (sumber internal), utang (debt), dan terakhir ekuitas (penerbitan saham).

Khusus untuk pendanaan utang, prioritas pilihan utama berasal dari utang dagang diikuti kredit bank dan surat utang (obligasi).

Untuk pilihan antara pinjaman ke bank atau menerbitkan surat utang, lanjut Alfred, tentunya akan sangat bergantung pada kondisi profil perusahaan dan kondisi pasar surat utang saat itu.

Bagi perusahaan tercatat yang belum memiliki peringkat utang atau emiten dengan ukuran kapitalisasi pasar menengah hingga kecil cenderung akan memilih pendanaan bank karena biaya (cost of fund) atau suku bunga yang dibayarkan lebih rendah.

“Bagi emiten kategori ini, tentu akan lebih mudah mendapatkan dana pinjaman dari perbankan ketimbang penerbitan surat utang (MTN atau obligasi) karena pada kondisi saat ini pasar surat utang sedang dibanjiri surat utang negara,” ujar Alfred.

Apabila emiten medium-small cap memaksakan untuk menerbitkan surat utang, kata Alfred, tentunya perseroan harus menawarkan kupon yang tinggi.

Lagipula, pendanaan dari perbankan juga memiliki tenor yang lebih panjang hingga 7 tahun dibandingkan dengan surat utang konvensional yang umumnya lebih pendek yakni 3-5 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Emanuel Berkah Caesario

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.