Euforia Pasar dan Momentum Emiten Teknologi Buktikan Kinerja

Analis mengingatkan investor agar tetap hati-hati dalam mengambil keputusan berinvestasi di emiten-emiten yang ada di BEI dengan hanya berdasarkan pada sentimen sektoral emiten tersebut.

8 Agt 2021 - 21.03
A-
A+
Euforia Pasar dan Momentum Emiten Teknologi Buktikan Kinerja

Direktur Utama PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) Rachmat Kaimuddin dan Komisaris Utama Bukalapak Bambang P.S. Brodjonegoro menunjukkan sertifikat pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia, Jumat (6/8/2021)/Istimewa

Bisnis, JAKARTA — Hadirnya saham PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) di Bursa Efek Indonesia (BEI) seakan menjadi penambah daya tarik bagi kelompok emiten di sektor teknologi setelah sepanjang tahun ini indeks sektor ini sudah terpantau melonjak sangat tinggi.

Namun, di tengah tren ini, analis mengingatkan investor agar tetap hati-hati dalam mengambil keputusan berinvestasi di emiten-emiten yang ada di BEI dengan hanya berdasarkan pada sentimen sektoral emiten tersebut.

Berdasarkan laporan BEI per Juni  2021, secara historis saham konstituen IDXTechnology alias saham-saham emiten sektor teknologi mengalami kenaikan yang drastis yaitu 1103,93% per 30 Juni 2021 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Kenaikan ini sangat jauh sehingga pada posisi kedua yaitu saham konstituen IDXIndustry atau  saham-saham emiten sektor industri mengalami kenaikan sebesar 48,04%. Lalu di bawahnya menyusul saham IDXBasic yang tumbuh sebesar 35,32% per Juni 2021 dibandingkan dengan Juni 2020.

Jumlah emiten di sektor teknologi dengan masuknya PT Trimegah Karya Pratama Tbk. (UVCR) dan BUKA kini menjadi 23 emiten, di mana lima emiten merupakan emiten yang melantai tahun ini dan dua emiten terkena penghentian perdagangan sementara alias suspend semenjak tahun lalu.

Kedua emiten yang disuspensi tersebut yakni PT Envy Technologies Indonesia Tbk. (ENVY) dan PT Northcliff Citranusa Indonesia Tbk. (SKYB).

Analis senior CSA Institute Reza Priyambada menyebutkan besarnya animo tersebut menjadi sebuah tantangan bagi emiten-emiten di sektor tersebut untuk membukukan pertumbuhan kinerja. Di sisi lain, bagi para investor ini menjadi tempat untuk mengawasi kinerja dari perusahaan.

“Karena kan sekarang mereka sudah tbk., pasti kinerja mereka sekarang sudah diawasi oleh publik apalagi oleh pemegang saham sehingga mereka harus membukukan kinerja yang baik ke depannya,” ungkap Reza saat dihubungi Bisnis, Minggu (8/8).

Reza pun menyampaikan kini waktunya investor untuk melihat bagaimana perseroan sektor teknologi ini bisa mempertahankan pangsa pasarnya dan bagaimana mereka bisa mengembangkan sistem atau jaringan yang ada.

Selain itu, yang terpenting juga bisa melihat bagaimana mereka bisa merealisasikan dana IPO yang telah dikumpulkan. Apakah sesuai dengan prospektus yang sudah diberikan kepada masyarakat atau tidak.

Hal-hal di atas akan menjadi tantangan bagi para emiten untuk membuktikan kinerja perusahaan yang baik. Apalagi selama ini menurut Reza perusahaan teknologi sarat dengan stigma suntikan dana yang banyak dan juga dikenal dengan perusahaan yang ‘bakar uang’.

“Di sisi lain kita juga perlu melihat upaya mereka meningkatkan kinerja keuangan. Harus kita lihat seperti apa perkembangannya,” ujar Reza.

Dia pun tidak memungkiri bahwa banyak emiten-emiten sektor teknologi yang masih membukukan kerugian. Secara fundamental, Reza melihat kinerja perseroan tersebut masih wajar karena saat awal membangun perusahaan akan mengeluarkan biaya yang banyak.

Mulai dari biaya operasional, maintenance, biaya perkembangan sistem, hingga biaya promosi. Adanya biaya tersebut menurutnya wajar jika pembukuan mereka masih mencatatkan kerugian.

Menjadi perusahaan terbuka ini, ungkap Reza adalah tantangan sekaligus peluang bagi perseroan untuk mendapatkan biaya dan juga mencetak pertumbuhan kinerja yang positif ke depannya.

Bagi investor, menurut Reza saham-saham sektor teknologi menjadi tambahan pilihan investasi selain saham-saham konvensional yang ada.

Melihat berbagai komponen pendukung yang ada baik dari sentimen maupun sisi psikologis investor yang saat ini memiliki ketertarikan tinggi terhadap saham sektor teknologi, Reza mengungkapkan indeks saham sektor teknologi ini masih berpotensi meningkat hingga akhir tahun.

“Kalau kita lihat dari supply demand ya, ketika kita lihat banyak permintaan di saham-saham tertentu. Itu akan meningkatkan nilainya, terlepas dari valuasinya apakah tidak layak beli atau tidak tapi real-nya pasar itu animonya paling banyak di saham-saham teknologi,” ujar Reza.

Selain yang terdaftar dalam sektor teknologi, menurutnya saham-saham yang sedang mengembangkan digitalisasi juga terdorong mengalami kenaikan harga, sehingga saham-saham yang menjadi tren itu akan menopang pergerakan indeksnya.

Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menuturkan jika melihat sektor teknologi sepanjang tahun berjalan (year-to-date/ YtD), kenaikannya terbesar dikontribusi oleh lima emiten baru, khususnya emiten PT DCI Indonesia Tbk. (DCII).

DCII sejak penawaran umum pada 6 Januari 2021, kapitalisasi pasarnya telah naik 13.947,6% dari Rp1,0 triliun saat IPO naik menjadi Rp140,6 triliun.

Total nilai kapitalisasi pasar 23 emiten sektor teknologi tersebut per 6 Agustus 2021 sebesar Rp327,6 triliun atau 4,4% dari kapitalisasi pasar IHSG.

Dari total kapitalisasi pasar sektor teknologi sebesar Rp327,6 triliun, porsi kapitalisasi lima emiten baru yakni DCII, EDGE, ZYRX, UVCR dan BUKA sebesar Rp262,3 triliun melebihi 80%.

"Untuk kelima emiten yang IPO pada tahun ini sejak IPO sampai dengan 6 Agustus 2021 kapitalisasi pasarnya naik 184% dari Rp92,1 triliun menjadi Rp262,3 triliun," jelasnya kepada Bisnis, Jumat (8/8).

Untuk 18 emiten lainnya kenaikan kapitalisasi pasarnya sebesar 236% dari Rp19,4 triliun menjadi Rp65,3 triliun.

Dia melanjutkan jika melihat kenaikan sektor teknologi sepanjang tahun berjalan, besaran kenaikan harga saham tidak merata. Ada emiten yang mengalami koreksi seperti GLVA dan CASH ada yang tumbuh ratusan, ribuan bahkan belasan ribu persen.

Sementara itu, jika melihat performa keuangan emiten teknologi di tahun ini, price to earning ratio (PER) mereka sangat tinggi, bahkan ada juga yang masih membukukan kerugian.

"Kenaikan yang terjadi pada saham-saham sektor teknologi pada umumnya lebih kepada sentimen, karena belum terlihat dalam performa keuangannya di kuartal I dan II pada tahun ini," papar Alfred.

Menurutnya, hanya beberapa emiten yang terlihat memiliki kenaikan saham yang didukung oleh hasil performa keuangannya, seperti emiten MTDL.

Pendapatan MTDL meningkat 23,48% sepanjang semester pertama 2020 menjadi Rp7,66 triliun dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp6,2 triliun. Sementara itu, laba bersihnya naik 63,65% menjadi Rp355,39 miliar dari Rp217,16 miliar.

"Di sektor ini yang masih kami rekomendasikan adalah emiten MTDL yang kami lihat memang paling murah di sektor ini [PE & PBV] dan didukung kinerja fundamental tumbuh konsisten dalam 5 tahun terakhir," katanya.

Di sisi lain, Alfred mengingkatkan kenaikan harga saham yang sudah terlalu tinggi pada sektor teknologi perlu mendapat perhatian investor.

Investor perlu berhati-hati terhadap performa emiten-emiten teknologi ke depan karena tentu kenaikan yang sudah sangat tinggi memberikan potensi koreksi yang dalam.

"Apalagi perbaikan performa keuangannya ke depan tidak mampu mengimbangi kenaikan harga saham yang ada saat ini," urainya.

Dia juga mengakui masuknya BUKA memberikan tambahan sentimen untuk sektor teknologi, apalagi dengan hasil hari pertama yang mengalami auto rejection atas (ARA).

Namun, kembali lagi bahwa kenaikan harga sahamnya masih sebatas sentimen jika melihat performa emiten-emiten tersebut sampai di kuartal I/2021 ini. 

Senior Vice President Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial menuturkan prospek IDXTechnology akan meningkat seiring dengan masuknya BUKA dalam peredaran.

"Prospek indeks ini juga akan akan meningkat pula apabila GoTo [entitas hasil merger Gojek dan Tokopedia] dan Traveloka melakukan IPO," paparnya kepada Bisnis.

Menurutnya, pandemi Covid-19 malah mengakselerasi era digitalisasi, yang artinya sektor terkait teknologi akan meningkat kinerjanya.

BUKA, dan nantinya Traveloka serta GoTo masih memiliki EBITDA negatif. Namun, dengan ukuran e-commerce Indonesia yang masih raksasa dan digitalisasi yang menjangkau pangsa pasar yang tak terlayani secara geografis, akan menghasilkan profit bagi emiten dan calon emiten tersebut.

Digitalisasi melalui e-commerce dengan ekosistem yang inklusif akan berdampak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia karena perputaran uang cepat beredar dan cepat berputarnya.

"Tanpa disadari dengan mekanisme belanja online, e-payment dan e- wallet akan mendongkrak masyarakat menjadi konsumtif dan less saving. Justru itu yang diharapkan dari reperkusi e-commerce melalui digitalisasi," paparnya. (Reporter: Ika Fatma Ramadhansari & Rinaldi M. Azka)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.