Euforia Penerimaan Pajak, Terlena Diayun Bonanza Komoditas

Terlalu puas dengan pencapaian tahun ini akan menghalangi pandangan jernih kita pada tantangan tahun depan, saat commodity bonanza bisa berakhir kapan saja, sementara konsolidasi fiskal 2023 di depan mata.

Wibi Pangestu Pratama & Sri Mas Sari

28 Des 2021 - 21.37
A-
A+
Euforia Penerimaan Pajak, Terlena Diayun Bonanza Komoditas

Pesepeda melintas di depan tulisan 'Pajak Kuat Indonesia Maju' di Jakarta Pusat, Sabtu (19/12/2020). Realisasi penerimaan pajak hingga 26 Desember 2021 tercatat Rp1.231,9 triliun atau 100,2 persen dari target APBN 2021./Antara

Bisnis, JAKARTA – Jangan larut dalam gegap gempita realisasi penerimaan pajak tahun ini yang di atas target –setelah sejak 2009 selalu shortfall. Andil lonjakan harga komoditas yang begitu besar semestinya membuat kita sadar windfall penerimaan pajak ini tidak berkelanjutan.

Sejenak kita boleh bergembira karena realisasi penerimaan pajak di atas target, bahkan sebelum tutup tahun, di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlangsung. Namun, terlalu puas dengan pencapaian tahun ini akan menghalangi pandangan jernih kita pada tantangan tahun depan, saat commodity bonanza bisa berakhir kapan saja, sementara konsolidasi fiskal 2023 di depan mata.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (27/12/2021), mengumumkan realisasi penerimaan pajak hingga 26 Desember mencapai Rp1.231,9 triliun, 100,2 persen dari target APBN 2021 yang dipasang Rp1.229,6 triliun. Untuk pertama kalinya setelah 12 tahun, realisasi penerimaan pajak memenuhi target. 

Ekonom Chatib Basri mengapresiasi pencapaian penerimaan pajak 2021. Dia menyebut pencapaian tahun ini mirip dengan apa yang terjadi pada 2008. Pada 2008, realisasi penerimaan pajak hampir 7 persen di atas target Rp534,5 triliun. Selain karena sunset policy, kenaikan harga komoditas ikut berperan.

“Benar bahwa pencapaian ini banyak didorong oleh harga komoditas dan energi seperti 2008,” kicaunya di Twitter, Selasa (28/12/2021).

Kendati demikian, dia mengacungi jempol usaha Ditjen Pajak, termasuk meningkatkan peran KPP Madya. 

Data Kementerian Keuangan menunjukkan pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak hingga 30 November dengan kontribusi 25,3 persen atau Rp273,7 triliun. Jenis pajak ini tumbuh 11,6 persen secara tahunan. 

Pertumbuhan realisasi penerimaan PPN DN salah satunya karena kasus Covid-19 yang terkendali sehingga aktivitas konsumsi meningkat dan kegiatan ekonomi pulih. Penyebab lainnya adalah harga komoditas tambang yang meroket.

Dalam beberapa bulan terakhir, penerimaan sektor pertambangan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat jika dibandingkan dengan sektor yang lain. Pertumbuhan yang spektakuler tersebut salah satunya disumbang oleh subsektor pertambangan batu bara. 

Selama 12 bulan terakhir, penerimaan PPN DN dari pertambangan batu bara mengalami peningkatan karena dua faktor utama. 

Pertama, implementasi UU Cipta Kerja mulai November 2020 yang menyebabkan batu bara menjadi barang kena pajak (BKP). 

Kedua, tren kenaikan harga batubara dan permintaan global yang meningkat sangat pesat dalam beberapa bulan terakhir. 

Berdasarkan data yang dihimpun dari Ditjen Mineral dan Batubara, harga batu bara acuan (HBA) pada November 2021 adalah yang tertinggi dalam dua tahun terakhir, mencapai US$215 per ton, dua kali lipat dari HBA Juni 2021 yang berkisar US$100,3 per ton. 

Kenaikan pesat harga ini berdampak pada lompatan penerimaan PPN DN pada November 2021 yang mencapai Rp918,88 miliar, torehan tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Tak hanya batu bara, kenaikan harga komoditas lain seperti minyak sawit juga memberikan andil, tecermin pada realisasi penerimaan pajak sektor pengolahan yang tumbuh 16,9 persen (year on year) hingga berkontribusi 29,9 persen terhadap total penerimaan pajak hingga November. 

Sumbangsih commodity supercycle ini juga tecermin pada penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan yang naik 21,7 persen secara tahunan, terutama wajib pajak badan yang bergerak di sektor tambang batu bara dan perkebunan sawit. 

“Kinerja pertambangan mendorong peningkatan PPh badan melalui pengawasan pembayaran masa,” ujar Sri Mulyani. 

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengakui andil faktor kenaikan harga komoditas terhadap penerimaan pajak. DJP menggunakan data Ditjen Bea dan Cukai, khususnya penerimaan bea keluar, sebagai indikator pengawasan pajak. Pada saat yang sama, realisasi penerimaan bea keluar hingga November sekitar 1.700 persen dari target, didorong oleh harga komoditas yang terbang di pasar internasional.

“Pengawasan fokus pada sektor-sektor yang mengalami perbaikan selama pandemi, seperti komoditas,” katanya. 

Kenaikan harga komoditas global membawa berkah bagi penerimaan pajak Indonesia. Tanpa upaya tambahan, penerimaan niscaya naik. Kondisi yang menguntungkan ini bisa saja berubah tahun depan. 

Dirjen Suryo tampaknya mewaspadai situasi ini. Dia menyadari tantangan akan makin berat dan krusial pada masa depan karena 2022 adalah tahun terakhir defisit APBN boleh melebihi 3 persen. 

Defisit APBN pada 2023 harus sudah di bawah 3 persen, sementara ketidakpastian risiko pandemi Covid-19 masih membayangi. Penerimaan negara dituntut makin besar untuk dapat menutup defisit APBN tersebut. Suryo mengatakan DJP akan tetap mengevaluasi kinerja tahun ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Sri Mas Sari

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.