Euforia Reli Penguatan Ekspor Jelang Tutup Tahun

Kinerja ekspor Oktober yang melampaui rekor Agustus disebut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi disumbang kenaikan harga komoditas dan kinerja ekspor manufaktur.

Iim Fathimah Timorria

18 Nov 2021 - 10.29
A-
A+
Euforia Reli Penguatan Ekspor Jelang Tutup Tahun

Truk melintas di kawasan pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, Kamis (19/12/2019). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis, JAKARTA —  Kenaikan harga komoditas dan penguatan kinerja industri pengolahan nonmigas masih menjadi tumpuan kinerja ekspor Indonesia yang memecahkan rekor sepanjang Januari—Oktober 2021.

Total ekspor Indonesia pada Oktober 2021 mencapai US$22,03 miliar atau naik 6,89 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Kinerja ekspor Oktober yang melampaui rekor Agustus disebut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi disumbang kenaikan harga komoditas dan kinerja ekspor manufaktur.

“Peningkatan kinerja ekspor tersebut didorong oleh fenomena komoditas super cycle yang membuat harga komoditas ekspor utama Indonesia mencapai level tinggi,” kata Lutfi, Rabu (17/11/2021).

Beberapa produk utama Indonesia yang menyumbang peningkatan kinerja ekspor nonmigas Oktober 2021 antara lain bahan bakar mineral/batubara (HS 27) yang naik sebesar 26,59 persen secara bulanan, lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15)  naik 19,12 persen, dan besi dan baja (HS 72)  naik 11,35 persen.

Alas kaki (HS 64) juga menunjukkan kenaikan 4,19 persen secara bulanan. Begitu pula berbagai produk kimia (HS 38)yang naik 2,99 persen.

Produk ekspor lain yang juga tumbuh signifikan dibandingkan dengan bulan sebelumnya adalah ampas dan sisa industri makanan (HS 23) sebesar 42,07 persen, timah dan barang daripadanya (HS 80) 37,29 persen, dan barang dari besi dan baja (HS 73) naik 33,67 persen.

“Ekspor produk manufaktur Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang ekspansif pada Oktober sejalan dengan pelonggaran PPKM di sejumlah daerah. Purchasing Managers' Index [PMI] Indonesia menempati posisi tertinggi dengan nilai 57,2 poin dibanding dengan negara Asean lainnya,” kata Lutfi.

Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas terbesar Indonesia masih disumbang China dengan nilai US$5,93 miliar, naik 30,45 persen dibanding dengan bulan sebelumnya.

Kenaikan tersebut diikuti AS senilai US$2,34 miliar (turun 0,04 persen), dan Jepang senilai US$1,41 miliar (turun 8,19 persen).

Adapun, pertumbuhan ekspor nonmigas Oktober 2021 secara signifikan terjadi di beberapa negara. Negara tersebut di antaranya Mesir naik 97,14 persen, Arab Saudi (40,90 persen), Belgia (34,98 persen), dan Prancis (29,52 persen).

Pertumbuhan ekspor nonmigas terbesar tercatat ke kawasan Afrika lainnya yang tumbuh 212,05 persen dibandingkan dengan September 2021, Afrika Utara (104,35 persen), dan Asia Barat (68,37 persen).

Secara kumulatif, kinerja ekspor Januari—Oktober 2021 tercatat sebesar US$186,32 miliar atau naik 41,80 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

HARGA SAWIT

Terkait dengan tren penguatan harga komoditas, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menjelaskan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang masih stabil tinggi turut dipengaruhi masalah logistik global selama pandemi.

Pasokan komoditas minyak nabati lain yang ketat juga menjadi faktor utama harga CPO.

“Mungkin pernah dengar soal kesulitan logistik itu termasuk faktor dari China karena semua [ pengapalan] terserap untuk melayani China," kata Joko. 

Dia menjelaskan kegiatan ekonomi China menjadi salah satu yang pertama pulih selama pandemi. Di sisi lain, banyak negara yang masih berkutat dengan penanggulangan pandemi. Hal ini memicu ketidakseimbangan permintaan dan rantai pasok global.

"Tidak hanya CPO, tapi juga pupuk sampai baja. Semua sektor naik jadi memang itu masih belum seimbang," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengatakan kenaikan yang terjadi pada minyak sawit turut dipengaruhi komoditas lain yang menjadi substitusi sawit, di antaranya minyak dari kedelai dan biji bunga matahari.

Dia mengatakan terdapat kesepakatan tidak tertulis dalam perdagangan komoditas sawit dan substitusinya berkaitan dengan harga. Ketika satu komoditas mengalami kenaikan, komoditas minyak nabati lain akan ikut naik agar disparitas harga tidak terlalu besar.

"Minyak dari tiga komoditas ini harus menjaga gap harga di antara masing-masing karena efeknya nanti terhadap permintaan minyak nabati itu sendiri. Sampai di mana titik equilibrium-nya? Saya belum tahu," kata Togar.

Laporan Gapki menunjukkan bahwa harga rata-rata CPO CIF Rotterdam pada September 2021 mencapai US$1.235 per ton, lebih tinggi daripada harga Agustus sebesar US$1.226 per ton.

Sementara itu, harga minyak kedelai (Dutch, FOB ex mill) turun dari US$1.435 per ton menjadi US$1.405 per ton. Harga minyak biji bunga matahari (FOB NW Europe) dilaporkan turun dari US$1.380 per ton menjadi US$1.333 per ton. Adapun harga minyak kanola (Dutch FOB) naik dari US$1.486 per ton menjadi US$1.606 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.