Gangguan Pasokan CPO Bertahan hingga Tahun Depan

Gangguan pasokan CPO diprediksi bertahan hingga tahun depan. Simak penjelasannya.

Iim Fathimah Timorria

18 Nov 2021 - 18.15
A-
A+
Gangguan Pasokan CPO Bertahan hingga Tahun Depan

Gangguan pasokan CPO diprediksi bertahan hingga tahun depan. (Antara)

Bisnis, JAKARTA— Gangguan pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) diprediksi bertahan hingga 2022 akibat keterbatasan pekerja di perkebunan sawit Malaysia.

Dikutip dari Markets Insider, Kamis (18/11/2021), harga CPO pada perdagangan Rabu (17/11/2021) mencapai US$5.326 ringgit per ton atau naik 1,49 persen. Angka itu pun merupakan level tertinggi yang dicapai secara harian.

Kalangan analis menyebut bahwa pasokan CPO tetap ketat hingga kuartal I/2022 akibat kekurangan tenaga kerja di Malaysia. Pendiri Lembaga Analitik Minyak Sawit di Singapura, Sathia Varqa menyebut kekurangan pasokan pekerja di kebun sawit Malaysia mencapai 70.000 orang dan menjadi alasan utama terbatasnya pasokan CPO di pasar.

“Kekurangan tenaga kerja berarti mengurangi hasil panen dan wilayah tertanam terutama di Semenanjung Malaysia yang telah membukukan kerugian 90.000 hektare dan sekira 10.000 hektare di Sabah,” tuturnya seperti yang dikutip dari S&P Global Platts.

Dia pun menargetkan bahwa harga CPO berkisar pada 4.700 ringgit hingga 4.900 ringgit per ton hingga Desember 2021. Kemudian, harga bisa kembali naik pada Januari dan Februari sebelum akhirnya terkoreksi ke 4.600 ringgit per ton setelah Maret 2021.

Akibat penutupan akses pada 2020, sejumlah pekerja asing yang berkontribusi terhadap 70 persen tenaga kerja di perkebunan sawit Malaysia tak bisa kembali masuk. Sebagai imbasnya, produksi pada tahun ini diperkirakan turun ke 18,3 juta ton dari 19,2 juta ton pada 2020.

“Tempat penggilingan juga tutup akibat Covid-19 dan buah belum dipetik dan mengurangi kualitas. Ini berimbas pada produksi,” Direktur Godrej International Dorab Mistry.

Sementara itu, pemerintah Malaysia masih berupaya memberikan izin masuk bagi 32.000 pekerja asing. Para pelaku pasar meyakini bahwa proses tersebut membutuhkan waktu hingga akhirnya para pekerja bisa kembali ke kebun.

“Saya menebak kondisi akan membaik pada semester pertama 2021 ketika para pekerja kembali dan itu akan menjadi penanda produksi yang lebih baik setelah Ramadan yang berarti pada Mei dan baru memberikan dampak pada paruh kedua 2022,” katanya.

Adapun, CPO masih menjadi minyak nabati yang diproduksi paling banyak secara global. CPO digunakan sebagai bahan baku dan campuran untuk makanan, kosmetik, sabun hingga biodiesel.

Akibat pasokan yang terbatas, dia menilai harga CPO tak akan mendingin hingga Maret 2022.

"Maret dan seterusnya ketika musim berganti dan memperbaiki volume produksi dan izin kerja dikeluarkan, harga akan turun,” katanya.

Analis industri menyatakan bahwa produksi yang lebih tinggi pada Maret 2020 akan memberikan pereda bagi pasar yang kini diwarnai harga tinggi tetapi perlu mewaspadai biaya pupuk yang juga bakal menekan produksi.

“Pupuk yang menjadi kontributor terbesar biaya produksi telah naik 15 persen hingga 20 persen,” katanya.

Kepala Broker Minyak Nabati, Sunvin Group, Sandeep Bajoria mengatakan bahwa harga CPO yang tinggi merupakan titik normal baru. Dia mencatat harga minyak nabati seperti CPO dan minyak kedelai telah naik lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu 18 bulan.

“Saya percaya kita tak akan lag melihat harga yang lebih rendah seperti sebelum 2020,” katanya.

Berdasarkan data Platts, harga CPO di pasar spot yang berasal dari Indonesia naik 61 persen tahun lalu ke US$1.340 per ton. Pada periode yang sama, harga minyak kedelai dari Argentina naik 45 persen ke US$1.370 per ton sedangkan biaya produksi minyak biji bunga matahari di Ukraina naik 30,5 persen sehingga harganya naik menjadi US$1.390 per ton.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menjelaskan harga minyak sawit mentah yang masih stabil tinggi turut dipengaruhi masalah logistik global selama pandemi. Pasokan komoditas minyak nabati lain yang ketat juga menjadi faktor utama kenaikan harga CPO.

"Mungkin pernah dengar soal kesulitan logistik itu termasuk faktor dari China karena semua [pengapalan] terserap untuk melayani China," kata Ketua Umum Gapki, Joko Supriyono.

Dia menjelaskan kegiatan ekonomi China menjadi salah satu yang pertama pulih selama pandemi. Di sisi lain, banyak negara yang masih berkutat dengan penanggulangan pandemi. Hal ini memicu ketidakseimbangan permintaan dan rantai pasok global.

"Tidak hanya CPO, tetapi juga pupuk sampai baja. Semua sektor naik jadi memang itu masih belum seimbang," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gapki Togar Sitanggang mengatakan kenaikan yang terjadi pada minyak sawit turut dipengaruhi komoditas lain yang menjadi substitusi sawit, di antaranya minyak dari kedelai dan biji bunga matahari.

Dia mengatakan terdapat kesepakatan tidak tertulis dalam perdagangan komoditas sawit dan substitusinya berkaitan dengan harga. Ketika satu komoditas mengalami kenaikan, komoditas minyak nabati lain akan ikut naik agar disparitas harga tidak terlalu besar.

"Minyak dari tiga komoditas ini harus menjaga gap harga di antara masing-masing karena efeknya nanti terhadap permintaan minyak nabati itu sendiri. Sampai di mana titik equilibrium-nya? Saya belum tahu," kata Togar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.