Garuda Menanti Dua Momentum untuk Pacu Pendapatan Tahun Ini

Garuda Indonesia berharap ada momentum baik untuk membalikan kondisi keuangan yang terpuruk akibat Covid-19.

20 Agt 2021 - 16.51
A-
A+
Garuda Menanti Dua Momentum untuk Pacu Pendapatan Tahun Ini

Garuda Indonesia - istimewa

Bisnis, JAKARTA - PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) terus berupaya untuk keluar dari ancaman kepailitan. Kinerja keuangan perseroan memang tertekan cukup dalam imbas pandemi Covid-19.

Meski begitu, perseroan tetap optimistis bisa mulai memperbaiki kinerja pada tahun ini. Apalagi terdapat dua momentum yang dapat mendukung masuknya pendapatan bagi perusahaan.

Salah satu momentum yang dapat menjadi titik balik perusahaan tahun ini yaitu penerbangan umrah ke Arab Saudi. Perseroan sangat berharap penerbangan umrah dapat dibuka kembali Oktober 2021 mendatang.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjelaskan cukup kerepotan setelah perjalanan haji terlewat pada tahun ini karena pembatasan jemaah haji dari Indonesia. "Tentu saja setelah haji dan ini lewat dan tentu saja kita mengalami problem terbesar. Tapi, yang menjadi pertanyaan terbesar kami adalah apakah betul umrah akan buka bulan Oktober ini langsung dari Indonesia?" paparnya dalam paparan publik insidentil, Kamis (20/8/2021).

Jika akses umrah langsung dilayani dari Indonesia, lanjut Irfan, dan Garuda Indonesia dapat terbang langsung dari Indonesia ke Arab Saudi, maka perseroan berpotensi mencetak kenaikan pendapatan yang cukup signifikan. Pasalnya, antrian untuk umrah ini sudah sangat tinggi dan perseroan dapat melayani penerbangan umrah dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kesehatan penumpang.

Pesawat Garuda Indonesia membawa 1,2 Juta vaksin Covid-19. Biro Pers Sekretariat Presiden - Lukas.

Momentum kedua yang diharapkan perseroan yaitu kebijakan terkait persyaratan penerbangan. Irfan berharap pemerintah memperkenankan penggunaan tes antigen untuk  penerbangan Jawa-Bali.

Sampai saat ini penumpang untuk penerbangan tersebut wajib melakukan tes PCR. "Kami tentu saja berharap tidak lama lagi syarat vaksin dan antigen menjadi syarat yang lebih mudah, dibandingkan vaksin dan PCR. Walaupun kami percaya bahwa kalau sudah vaksin dua kali mestinya posisinya jauh akan lebih baik," urainya.

Pasalnya, syarat penerbangan dan penerapan PPKM yang lebih ketat telah menekan jumlah penumpang maskapai tersebut. Pada penerapan PPKM Darurat pada 3 Juli 2021, rata-rata jumlah penumpang Garuda Indonesia hanya mencapai 12.000 penumpang per hari.

Namun, sejak diterapkan pembatasan menjadi sebanyak 2.000 penumpang per hari. Kondisi tersebut, menurutnya, memang jauh menurun dari sebelum PPKM.

"Tapi angka 2.000 ini cukup hebat dibandingkan pada tanggal 1 Syawal 2021 jumlah penumpangnya hanya 700," jelasnya.

Garuda Indonesia mencatat jumlah penumpang sepanjang 2020 atau masa pandemi tahun lalu hanya mencapai 10,8 juta penumpang. Jumlah tersebut turun hingga 66,1 persen dibandingkan pada 2019 atau sebelum pandemi yang sebanyak 31,9 juta penumpang.

Di sisi lain, Irfan belum bisa membuat proyeksi kinerja perseroan hingga akhir tahun. Meskipun dua momentum itu benar-benar terjadi pada tahun ini.

Pasalnya, situasi pandemi dan kebijakan penanganannya masih penuh ketidakpastian. "Kalau kami memproyeksikan berbasis kondisi hari ini, tentu saja terlalu konservatif," jelasnya. 

Sejauh ini, jajaran direksi Garuda bersama pemerintah sudah dalam tahap finalisasi terkait rencana bisnis makspai tersebut. Irfan menyebut filosofi dari rencana bisnis dalam lima tahun ke depan, yaitu lebih simple, profitable dan efisien.

Dengan begitu, jumlah rute yang dilayani akan berkurang, aircraft berkurang, jumlah tipe pesawat akan berkurang.  "Konsekuensi logis, rute berkurang, kami fokus di domestik dan kargo," jelasnya dalam paparan publik insidentil, Kamis (19/8/2021).

Garuda Indonesia per 2020 memiliki armada 142 unit pesawat beragam tipe dan Citilink sebanyak 68 unit pesawat. Sehingga secara grup, perseroan memilik 210 unit pesawat.

Di sisi lain, sepanjang restrukturisasi terhadap lessor, emiten berkode GIAA ini sudah berhasil menurunkan biaya sewa antara US$11--US$13 juta per bulannya. Caranya dengan memperpanjang jangka waktu sewa pesawat dalam 4-5 tahun.

Lebih lanjut, negosiasi antara GIAA dan para pemberi sewa pesawatnya masih terus berlangsung dan setiap negosiasi belum tentu berakhir dengan pengembalian pesawat. GIAA menyebut setiap lessor memiliki cara, kepentingan, dan harapan yang berbeda, sehingga tidak ada persamaan satu lessor dengan lainnya yang membuat negosiasi bersifat unik.

Ke depan, GIAA akan tetap melakukan pengawasan terhadap pemulihan pasar baik domestik maupun internasional dalam menentukan produksi agar sesuai dengan kebutuhan.  Selain itu, GIAA akan fokus mengoptimalkan produk kargo mengingat permintaan masih tinggi. Garuda juga bakal menyesuaikan kebutuhan rute yang akan diselaraskan dengan ketersediaan armada aktif perseroan.

Menteri BUMN Erick Thohir mendukung penuh keputusan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) untuk menghentikan kontrak 12 pesawat Bombardier CRJ 1000. Pasalnya, hal tersebut sebagai bagian dari upaya efisiensi di tubuh maskapai nasional tersebut. - Istimewa

Gotong Royong Bantu Garuda 

Di sisi lain, perusahaan pelat merah di bawah Kementerian BUMN terus bahu membahu membantu Garuda Indonesia. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Prasetio mengungkapkan pemerintah sudah memberikan dukungan penuh untuk menyelamatkan perseroan dari ambang kepailitan akibat pandemi corona.

"Pemerintah memberikan dukungan kepada perseroan dengan dibentuknya tim task force atau satuan tugas khusus oleh Kementerian BUMN bahwa Garuda Indonesia akan dilakukan restrukturisasi total keuangan dan bisnis Garuda ke depan 2022 hingga 2026," jelasnya dalam paparan publik, Kamis (19/8/2021).

Sejumlah perusahaan BUMN pun gotong royong membantu meringankan beban maskapai flag carrier tersebut. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) memberikan suntikan dana melalui program ekspor national interest account (NIA) pada 6 Oktober 2020 sebesar Rp1 triliun dengan tenor 12 bulan.

Dananya digunakan untuk pembayaran kepada lessor dengan tujuan penurunan biaya sewa atau manfaat lainnya, pencabutan grounding notice pesawat dan pembiayaan direct cost termasuk maintenance cost atas biaya operasional pesawat.

Seakan tak mau kalah, BUMN terkait penerbangan macam pengelola bandara PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) serta Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) alias Airnav juga memberikan relaksasi. Pada 31 Desember 2021 GIAA menandatangani perjanjian restrukturisasi utang dengan AP I dan AP II, sementara pada 29 Januari 2021, GIAA tanda tangan restrukturisasi utang dengan Airnav.

Restrukturisasi utang dengan BUMN terkait penerbangan ini diberikan dengan skema pembayaran 1 persen dari utang sebelum akhir tahun 2021, 5 persen dibayarkan sebelum akhir tahun 2022, dan 94 persen dibayar sebelum akhir tahun 2023.

GIAA juga mendapatkan relaksasi utang dari PT Pertamina (Persero) yang ditandatangani pada 30 Desember 2020. Restrukturisasi ini menggunakan skema pembayaran 5 persen dari utang maksimal akhir tahun 2021, 10 persen dari utang sebelum akhir 2022, dan 85 persen dari utang sebelum akhir 2023.

Total restrukturisasi utang dari 4 BUMN tersebut mencakup periode 2020 sebesar US$82,5 juta dan periode 2021 sebesar Rp244 miliar. Di sisi lain, Pemerintah memberikan dukungan pula melalui penerbitan obligasi wajib konversi (OWK) yang dicairkan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebesar Rp1 triliun pada Februari 2021 dengan tenor 3 tahun.

Dana yang dicairkan sudah digunakan seluruhnya memenuhi kewajiban tagihan bahan bakar pesawat sesuai dengan tujuan penggunaan dana yang ditetapkan. Adapun, sisa nilai pokok obligasi dari total Rp8,5 triliun tidak dapat dicairkan lebih lanjut akibat target kinerja yang tidak tercapai.

"Pemerintah juga memberikan relaksasi pajak maupun lessor, dan bank anggota Himbara pun sudah memberikan restrukturisasi terhadap utang Garuda," katanya.

Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengungkapkan secara industri meski masih ada sejumlah masyarakat yang melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat, tampaknya tidak sebanyak sebelum pandemi. Hal ini tentunya membuat jumlah penumpang pesawat mengalami penurunan.

Jumlah penumpang yang melalui darat saja sudah mengalami penurunan, apalagi transportasi udara tentu akan mengalami hal serupa. GIAA pun turut mengalami kejadian yang tidak mengenakan ini sehingga berimbas pada penurunan kinerja GIAA sepanjang 2020. "

Tantangannya adalah dari upaya keras manajemen untuk dapat bertahan melalui semua halangan ini. Kalaupun, mau diutak-atik maka paling mungkin mengutak-atik dari sisi beban perseroan," urainya.

Itu pun memiliki implikasi yang berat. Misalkan, mengurangi beban BBM maka yang dilakukan ialah mengurangi frekuensi penerbangan terutama rute-rute yang kurang memberikan keuntungan maksimal. Termasuk mengurangi beban pegawai dengan melakukan pengurangan pegawai yang juga sudah dilakukan.

Tentunya ini akan memberikan dampak negatif secara psikologis terhadap pegawai yang terkena pemberhentian maupun penawaran pensiun dini. Maka dari itu, sisi pendapatan harusnya dapat ditingkatkan.

"Bantuan pemerintah untuk meningkatkan pariwisata dan kerjasama dengan destinasi luar negeri dimana GIAA bisa ikut ambil bagian dari lalu lintas tersebut diharapkan dapat membantu GIAA dapat kembali meningkatkan pendapatannya," urainya.

Adapun kinerja keuangan GIIA pada tiga bulan pertama tahun ini masih negatif. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret 2021, Garuda Indonesia mencetak pendapatan US$353,07 juta turun 54,03 persen dari pendapatan kuartal I/2020 sebesar US$768,12 juta.

Pendapatan dari penerbangan berjadwal menurun menjadi US$278,22 juta dari US$654,52 juta. Sedangkan pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal naik menjadi US$22,78 juta dari US$5,31 juta.

Pendapatan usaha lainnya juga menurun menjadi US$52,06 juta dari US$108,27 juta. Adapun, beban usaha perseroan menurun tetapi tetap di atas kinerja pendapatan perseroan.

Beban usaha per kuartal I/2021 sebesar US$702.17 juta sementara pada kuartal I/2020 sebesar US$945,7 juta. Walhasil, perseroan mencetak rugi usaha sebesar US$287,09 juta per 3 bulan tahun ini dari posisi laba usaha US$616.040 per 3 bulan awal tahun lalu.

Dengan demikian, rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk membengkak menjadi US$384,34 juta dari posisi US$120,16 juta per kuartal pertama tahun lalu. Di sisi lain, total liabilitas perseroan juga meningkat menjadi US$12,9 miliar pada kuartal pertama tahun ini dibandingkan dengan US$12,73 miliar per akhir tahun lalu.

Rinciannya, total liabilitas jangka pendek meningkat menjadi US$4,55 miliar dari US$4,29 miliar. Sedangkan liabilitas jangka panjang turun tipis menjadi US$8,34 miliar dari US$8,43 miliar.

Total ekuitas negatif perseroan juga malah meningkat pada kuartal I/2021. Pada akhir tahun lalu, perseroan mencatat ekuitas negatif sebesar US$1,94 miliar, sementara kuartal pertama tahun ini ekuitas negatif meningkat menjadi US$2,32 miliar.

(Rinaldi Mohammad Azka & Anitana Widya Puspa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.