Gerak Lambat Investor Asing Kembali Koleksi Surat Utang Negara

Tingkat kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia belum menunjukkan kenaikan di tengah sejumlah indikator pasar yang positif.

8 Agt 2021 - 20.01
A-
A+
Gerak Lambat Investor Asing Kembali Koleksi Surat Utang Negara

Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis, JAKARTA — Minat investor asing untuk kembali mengoleksi instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah Indonesia tampaknya belum sepenuhnya pulih. Meskipun ada banyak indikator pasar yang menunjukkan tingginya potensi keuntungan SBN, investor asing masih bergeming.

Berdasarkan data dari laman Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, hingga awal Agustus 2021, tingkat kepemilikan asing pada SBN Indonesia tercatat sebesar Rp967,31 triliun atau 22,56% dari total surat utang.

Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kepemilikan asing pada periode Desember 2020 lalu yang mencapai 25,16% atau Rp973,91 triliun dari total SBN Indonesia yang dapat diperdagangkan.

Tingkat kepemilikan asing tersebut berbanding terbalik dengan sejumlah indikator pasar Surat Utang Negara (SUN) Indonesia yang positif. Data dari World Government Bonds mencatat, tingkat imbal hasil (yield) SUN seri 10 tahun Indonesia berada di level 6,364%.

Dalam sebulan terakhir, pergerakan imbal hasil SUN Indonesia menguat 27,1 basis poin. Sementara itu, selama sepekan belakangan, yield SUN Indonesia terpantau menguat 2 basis poin.

Pergerakan yield SUN 10 Tahun berdasarkan data World Government Bonds. Hingga Minggu (8/8), yield SUN 10 Tahun ada di level 6,364%, jauh lebih rendah daripada level tertinggi tahun ini pada akhir Maret 2021 di kisaran 6,886%.

Selain itu, level credit default swap (CDS) Indonesia juga terbilang optimal. Data dari World Government Bonds mencatat, CDS 5 tahun Indonesia berada di level 78,74, atau menguat 3,25% selama sepekan belakangan.

Seperti diketahui, level CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pula pada instrumen surat utang suatu negara, dalam hal ini untuk surat utang Indonesia dalam denominasi rupiah.

Terkait hal tersebut, Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Ariawan memaparkan, tingkat kepemilikan asing terhadap SBN Indonesia yang belum naik signifikan menandakan investor belum seagresif tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini utamanya disebabkan oleh ketidakpastian global dari pandemi virus corona.

“Apalagi, beberapa pekan belakangan beberapa negara angka kasus virus coronanya kembali meningkat,” katanya saat dihubungi pekan ini.

Kendati demikian, menurutnya kondisi pasar SBN Indonesia sudah lebih kondusif dibandingkan dengan tahun lalu. Hal tersebut terlihat dari menurunnya angka net sell asing di pasar SBN Indonesia dari sekitar Rp100 triliun pada periode Juli 2020 menjadi sekitar Rp5 triliun hingga akhir Juli 2021 lalu.

Ariawan mengatakan, angka tersebut menandakan kepercayaan investor asing terhadap pasar SBN yang mulai pulih.

Ia menuturkan, peluang kenaikan kepemilikan asing terhadap SBN masih sangat terbuka di sisa tahun 2021. Salah satu sentimen penopang outlook ini adalah likuiditas global yang masih sangat besar.

Hal tersebut juga didukung oleh langkah beberapa bank sentral dunia seperti AS, Jepang, dan Eropa yang akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter.

Kenaikan jumlah kasus virus corona dalam beberapa waktu terakhir juga meningkatkan ekspektasi dari pelaku pasar bahwa tapering yang akan dilakukan bank sentral AS, The Fed, tidak akan terlalu agresif. Sehingga, investor asing akan lebih agresif untuk masuk ke emerging market seperti Indonesia, terutama pada pasar SBN.

Selain itu, jumlah penerbitan SUN Indonesia yang tinggal menyisakan sekitar Rp300 triliun pada tahun ini diprediksi akan semakin meningkatkan animo investor asing untuk SBN Indonesia.

Dengan imbal hasil yang tinggi, instrumen SUN Indonesia akan menjadi salah satu opsi utama bagi para investor asing untuk menaruh dananya dengan aman dan mendapatkan return yang optimal.

Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C. Permana sependapat bahwa belum derasnya aliran modal dari investor asing ke pasar SBN masih disebabkan oleh pandemi virus corona.

Ia memaparkan, investor asing masih cenderung wait and see sebelum memutuskan masuk ke emerging market seperti Indonesia. Pergerakan jumlah kasus positif virus corona di Indonesia dinilai para investor masih cukup tinggi sehingga membuat aliran dana asing (capital inflow) belum maksimal.

“Selain itu, elastisitas penurunan imbal hasil (yield) juga belum begitu terlihat di Indonesia, padahal mayoritas bank sentral dunia kemungkinan masih akan melanjutkan kebijakan yang longgar seiring dengan kenaikan penyebaran virus corona,” jelasnya saat dihubungi, Minggu (8/8).

Meski demikian, Fikri meyakini aliran dana asing ke pasar SBN Indonesia masih akan cukup deras di sisa tahun 2021. Hal ini salah satunya ditopang oleh melimpahnya likuditas pada pasar internasional.

Fikri memaparkan, tingkat likuiditas yang tinggi di pasar global akan membuat para investor mencari pasar yang optimal dan menawarkan return yang tinggi. Menurutnya, tingkat kupon yang ditawarkan SBN Indonesia adalah salah satu yang terbaik di emerging market dan negara di Asia Tenggara lainnya.

Sentimen ini turut didukung oleh spread yield SBN Indonesia dengan US Treasury yang masih cukup lebar. Ia mengatakan, saat ini, spread imbal hasil US Treasury dan SBN Indonesia dengan tenor 2 tahun berada di kisaran 390 basis poin, diikuti dengan tenor 5 tahun pada 420 basis poin.

Sementara itu, spread US Treasury dan SBN Indonesia pada seri acuan 10 tahun masih berada di atas 500 basis poin. Jarak ini berpotensi semakin melebar seiring dengan harga minyak dunia yang lebih tinggi serta kenaikan inflasi AS yang terbukti hanya bersifat sementara.

“Dengan semakin lebarnya spread imbal hasil ini, tentu SBN Indonesia akan semakin dilirik. Sehingga, tingkat kepemilikan asing juga akan kembali meningkat,” pungkasnya.

POTENSI PASAR

Terlepas dari minat investor asing yang belum sepenuhnya pulih, prospek pasar SUN Indonesia saat ini kian menjanjikan. Kondisi ini tidak saja didukung oleh faktor internal, tetapi juga eksternal.

Potensi pengetatan kebijakan moneter dari the Fed diyakini akan menimbulkan efek konstruktif bagi pasar obligasi Indonesia seiring dengan kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang terjaga.

Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia menjelaskan, normalisasi kebijakan the Fed menjadi salah satu faktor penting dalam pergerakan pasar obligasi tahun ini.

Tren pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) – yang ditunjukkan oleh meningkatnya proyeksi pertumbuhan PDB dan inflasi – menyebabkan pergeseran kebijakan moneter the Fed dari yang sangat longgar menjadi lebih ketat.

Ia memaparkan, kebijakan moneter yang lebih ketat berpotensi mengurangi likuditas global dan memberikan tekanan pada pasar obligasi.

Kendati demikian, pendekatan dan arahan Fed yang ultra-gradual diperkirakan akan membuat dampak negatif dari pengetatan moneter tersebut menjadi lebih terbatas, tidak seperti taper tantrum di tahun 2013.

“Kebijakan pengetatan Fed dan dampaknya terhadap kenaikan imbal hasil US Treasury sudah diperhitungkan dan diterima oleh pasar sejak awal tahun,” katanya dikutip dari keterangan resmi.

Di samping itu, pertumbuhan ekonomi AS yang diperkirakan sudah mencapai puncaknya pada kuartal II/2021 berpotensi mempengaruhi rilis data perekonomian AS ke depannya menjadi lebih moderat. Hal tersebut akan membuat ekspektasi terhadap pemulihan pertumbuhan ekonomi dan inflasi menjadi lebih terbatas.

“Kondisi ini dapat mempengaruhi volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury agar lebih terjaga,” jelasnya.

Ia mengatakan, perubahan kebijakan moneter dan fiskal Amerika Serikat sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia tentu memiliki pengaruh terhadap negara lain, khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Pengaruhnya dapat dirasakan melalui pergerakan suku bunga, imbal hasil obligasi, serta nilai tukar domestik.

Meskipun kebijakan moneter AS yang lebih ketat berpotensi mempengaruhi pergerakan imbal hasil obligasi domestik dan nilai tukar rupiah, tetapi pendekatan Fed yang ultra-gradual serta kebijakan pengetatan moneternya yang sudah diperhitungkan dan diterima oleh pelaku pasar berpotensi membuat volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury dapat lebih terjaga.

Selain itu, secara fundamental perekonomian Indonesia juga semakin membaik. Beberapa indikator seperti neraca transaksi berjalan, inflasi, dan cadangan devisa menunjukkan perbaikan yang cukup berarti sehingga kondisi ini dapat membuat Indonesia menjadi lebih kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan bank sentral AS.

“Ke depannya, jika terjadi kenaikan imbal hasil US Treasury – selama kenaikan tersebut terjadi secara bertahap –maka akan memberikan dampak yang konstruktif terhadap perekonomian dan pasar finansial Indonesia,” papar Laras.

Lebih lanjut, Laras menuturkan, ada dua faktor penting yang dapat mendukung pergerakan pasar obligasi yaitu siklus suku bunga dan mekanisme dari sisi permintaan dan penawaran.

Ia mengatakan, kebutuhan untuk menjaga stabilitas rupiah, inflasi yang terkendali dan upaya untuk mendorong perekonomian membuat Bank Indonesia mempertahankan kebijakan moneter akomodatif yang berdampak positif bagi pasar obligasi. Kondisi makro yang relatif positif berkontribusi pada imbal hasil riil obligasi Indonesia yang menarik.

Sementara itu, langkah pemerintah untuk mengurangi pasokan obligasi di paruh kedua menjadi katalis positif yang dapat mendukung pergerakan obligasi menjelang akhir tahun. Pemerintah mengurangi target pembiayaan utang di tahun ini sebesar Rp283 triliun menjadi Rp924 triliun.

Disamping itu, pemerintah juga berencana untuk menggunakan SILPA atau Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yang berpotensi mengurangi target pembiayaan sekitar 24% lebih rendah dari target sebelumnya. Rencana optimalisasi penerbitan obligasi ritel juga diharapkan dapat meningkatkan gairah investor domestik berinvestasi di pasar obligasi.

“Penanganan pandemi yang efektif dan cepat turut diperlukan untuk mendorong sentimen yang lebih positif di pasar obligasi,” tutupnya. (Reporter: Lorenzo A. Mahardhika)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.