Harga Minyak Tertekan Kenaikan Cadangan AS

Harga minyak mentah di pasar global tertekan akibat kekhawatiran kenaikan cadangan AS. Simak penjelasannya.

Duwi Setiya Ariyanti

15 Nov 2021 - 14.51
A-
A+
Harga Minyak Tertekan Kenaikan Cadangan AS

Harga minyak mentah di pasar global tertekan akibat kekhawatiran kenaikan cadangan AS. (Antara)

Bisnis, JAKARTA— Harga minyak mentah di pasar global tertekan akibat kekhawatiran kenaikan cadangan Amerika Serikat (AS).

Dikutip dari Markets Insider, Senin (15/11/2021) pukul 14:25 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mencapai US$80,26 per barel atau terkoreksi 0,55 persen. Harga minyak acuan asal Texas itu sempat menyentuh titik tertingginya pada hari ini yakni US$81,21 per barel setelah dibuka pada US$80,64 per barel.

Tren yang sama terjadi pada minyak Brent yang mencapai US$81,48 per barel atau terkoreksi 0,57 persen. Harga minyak acuan asal Eropa itu sempat menyentuh titik tertingginya, US$82,49 per barel setelah dibuka pada US$81,92 per barel.

Tim Analis Monex Investindo Futures menyebut bahwa tekanan terhadap harga minyak pada perdagangan hari ini berasal dari prospek kenaikan cadangan minyak mentah Amerika Serikat (AS) yang memicu kekhawatiran pelaku pasar.

Oleh karena itu, harga minyak diproyeksi bergerak pada rentang level support US$79,75 per barel hingga US$78,7 per barel. Sementara itu, harga minyak diperkirakan bergerak pada rentang level resistance US$81,15 per barel hingga US$82,3 per barel.

Dikutip dari S&P Global Platts, tekanan bearish masih membayangi pergerakan harga minyak. Pelaku pasar dibuat khawatir oleh langkah Pemerintahan Biden mengeluarkan cadangan minyak strategisnya sebagai cara menangani kenaikan harga energi. Adapun, kenaikan harga energi bisa berimbas pada kenaikan inflasi yang menghambat momen pemulihan ekonomi pascapandemi.

“Gedung Puthi masih berdebat bagaimana menyelesaikan inflasi yang lebih tinggi dengan sejumlah pihak yang menyerukan pengeluaran cadangan strategis atau menghentikan ekspor minyak AS,” tutur analis ANZ Research Brian Martin dan Daniel Hynes, dalam hasil risetnya.

Sebelumnya, kenaikan inflasi AS mendorong bank sentral memperketat kebijakaan moneternya. Seperti diketahui, inflasi AS pada Oktober untuk periode tahunan mencapai 6,2 persen dengan harga energi yang naik 6,7 persen secara bulanan.

Saat ini, sebagian besar pelaku pasar tengah menetapkan harga emas dalam asumsi kenaikan suku bunga acuan pada Juni 2022. Asumsi tersebut cenderung lebih agresif dibandingkan dengan proyeksi yang tercatat oleh CME FedWatch yakni dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan pada November 2022.

Seperti diketahui, bank sentral telah mengumumkan pengetatan kebijakan moneter secara bertahap yakni salah satunya mengurangi pembelian obligasi pemerintah atau tapering. Bank sentral telah menyepakati bahwa tapering bakal dieksekusi pada akhir November.

Selain itu, sentimen bagi pergerakan harga minyak yakni dolar AS menunjukkan penguatan. Hal itu tecermin pada indeks dolar AS yang menyentuh 94,99 atau menyentuh titik yang tinggi sejak Juli 2020, kendati turun 0,15 persen secara harian.

Menariknya, katalis lain memberikan lampu kuning bagi prospek perdagangan minyak di pasar global. Sejumlah negara menunjukkan kenaikan kasus Covid-19.

China kembali melaporkan penyebaran kasus begitu pula dengan negara di Eropa seperti Jerman, Austria dan Belanda yang mencatat kenaikan kasus baru.

Secara mobilitas, Data Google menyebut bahwa pergerakan masyarakat di negara konsumen minyak rata-rata 9,8 persen atau di bawah level sebelum pandemi. Sementara itu, China justru merealisasikan kenaikan pergerakan masyarakat sebesar 8 persen pada pekan lalu.

S&P Global Platts Analitik menuturkan dalam catatannya bahwa Covid-19 masih menjadi faktor pemberat bagi harga minyak sejalan dengan gelombang flu hemisfer di bagian utara dan masa liburan.

Ahli Strategi Pasar IG, Yeap Jun Rong mengatakan prospek harga minyak tetap dibayangi oleh faktor jangka pendek. Dia menyebut saat OPEC+ masih mengacu pada rencana produksi yang ditetapkan sebelumnya, sejumlah ketidakpastian masih membayangi termasuk langkah AS mengurangi harga minyak mentah.

“Level US$80 akan menjadi perhatian, mendorong ke tren penurunan dan menempatkan level support US$77,65 per barel sebagai fokus berikutnya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Duwi Setiya Ariyant*

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.