Hitung Mundur Revisi Aturan OSS

Pelaksanaan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau OSS nyatanya belum optimal. Bukan saja perkara pelaksanaan, perkara landasan hukumnya pun masih perlu penyempurnaan.

Redaksi

28 Nov 2023 - 18.37
A-
A+
Hitung Mundur Revisi Aturan OSS

Ilustrasi OSS./Istimewa

Bisnis, JAKARTA – Pemerintah tengah menyiapkan revisi aturan yang menjadi landasan pelaksanakan sistem Online Single Submisson (OSS) Risk Based Approach (RBA). PP No.5/2021 tentang Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha tengah direvisi dan targetnya rampung pada Desember 2023.

Asisten Deputi Bidang Pengembangan Investasi Kemenko Perekonomian Ichsan Zulkarnaen bercerita tengah menyelesaikan revisi tersebut bersama Kementerian Investasi/BKM, Sekretariat Kabinet, serta K/L terkait.

"Saat ini sudah masuk dalam pembicaraan dengan seluruh Kementerian/Lembaga [K/L], melakukan tahapan berikutnya, melakukan uji publik biasanya dengan pelaku usaha. Kemudian ada harmoni lagi, waktunya mepet tapi harus dikejar," jelasnya, Selasa (28/11/2023).

Berdasarkan rentang waktu yang disiapkan pemerintah, revisi PP No.5/2021 ini dapat rampung pada Desember 2023, dengan target pelaksanaan penyampaian finalisasi konsep RPP dan permintaan persetujuan Presiden. Selanjutnya, pada Januari hingga April 2024 dimulai perbaikan minor proses bisnis pada sistem OSS apabila dibutuhkan.

Dia bercerita terdapat lima poin utama revisi PP No.5/2021 tersebut. Pertama, menyederhanakan pengaturan sektor. Sektor ada yang sederhana singkat padat, ada yang sangat rinci. Hal ini membingungkan, sehingga perlu mencari pola penyederhanaan sektor, dengan tetap memperhatikan normanya di UU Cipta Kerja.

Kedua, perubahan lampiran I dan lampiran II. Lampiran I terkait perizinan berusahanya, nama perizinannya, KBLI-nya, hingga penerbitnya. 

"Ini kadang tidak sinkron bunyi KBLI PP 5/2021 dengan BPS bisa tidak sama, bisa K/L salah menulis atau menambahkan sesuatu supaya ruang lingkupnya jadi ada di K/L. Kelihatannya gampang, tapi ada 1.789 KBLI. Satu kata saja hilang atau ditambah makna berubah," tambahnya.

Lampiran II terkait perizinan usaha untuk menunjang usahanya. Istilah lamanya, izin operasional. Waktu pemenuhan izin operasionalnya, sekarang PB-UMKU.

Ketiga, perubahan struktur batang tubuh, mengusulkan struktur batang tubuh 11 bab disempurnakan yang hilang PP 5/2021. Disebutkan, ada persyaratan dasar di beberapa pasal, menyulitkan pelaku usaha. Pemerintah mengusulkan dijadikan satu bagian bab sendiri.

Keempat, memperbaiki atau melengkapi norma. Hal ini sebagai bagian dari penegasan, karena beberapa pasal dan ayat salah mengacu atau kurang tegas, seperti peran pemerintah pusat yang didelegasikan ke pemerintah daerah.

Kelima, perubahan proses bisnis, khususnya persyaratan dasar. Contoh, Kemenko Perekonomian dapat cerita pelaku usaha, izin KKPR adalah Kesesuaian Antara Rencana Kegiatan Pemanfaatan Ruang Dengan Rencana Tata Ruang (RTR).

"Ada satu titik dua titik tidak memberikan kepastian kapan keluar. Sehingga kami memutuskan memberikan semua titik itu dengan SLA, berapa hari dia," tuturnya.

Di sisi lain, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak menampik bahwa sistem pengajuan izin usaha melalui OSS RBA atau berbasis risiko masih belum sepenuhnya optimal.    

Direktur Deregulasi Penanaman Modal BKPM Dendy Apriandi mengakui bahwa hingga saat ini dalam pelaksanaan sistem tersebut masih belum sepenuhnya online, sebagaimana yang diharapkan.

“Mimpinya sesuai namanya, online single submission, meskipun banyak yang merasakan saat ini belum online single masih multiple submission, ini tantangan kita,” ungkapnya pada acara KPPOD: OSS RBA Terkini, Selasa (28/11/2023).    

Baca Juga : Tumpulnya Pisau Hukum Tindak Pidana Cukai 

Salah satu yang menjadi tantangan, adalah ketika adanya perbedaan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Pasalnya, pelaku usaha dalam mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) harus sesuai dengan bidang usaha yang diatur dalam KBLI. “KBLI ada 1.789 dalam peraturan BPS. PP hanya 1.348 KLBI, ada selisih 441,” jelasnya.    

Dendy menjelaskan, bahwa terdapat 353 KBLI tidak memiliki pengampu atau tidak dimiliki kementerian/lembaga (K/L) manapun, sementara 140 KBLI justru diperebutkan oleh sejumlah K/L.    

Adapun, BKPM menyatakan bahwa Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) perizinan usaha berbasis KBLI ditanamkan di Sistem OSS berdasarkan pengaturan dalam Lampiran No. PP 5/2021 (untuk 1.348 KBLI, termasuk 140 KBLI Beririsan) dan identifikasi  NSPK (untuk 353 KBLI Tanpa Pengampu).  

“Ada 140 KBLI yang direbutin, 353 justru ngga diampu sama sekali. Kami datangi K/L door to door untuk mengampunya, karena kita harus memberikan kepastian dan NSPK-nya agar bisa diimplementasikan dalam OSS,” jelasnya.    

Baca Juga : Tenang, Tarif Pajak UMKM 0,5% Tetap Berlaku di 2024 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman mengungkapkan bahwa isu KBLI menjadi kesulitan dalam proses pengajuan izin usaha.    

Herman juga menyebutkan bahwa pengaturan KBLI ini tidak terakomodir dengan baik dalam PP No.5/2021 tersebut dan beberapa peraturan pemerintah lainnya.   

“Kami menemukan peraturan turunan terutama PP No. 5/2021 itu juga belum solid. Misalnya pengaturan terkait KBLI, yang di lapangan seringkali tidak diakomodir dengan baik. Itu sangat memberkan kegamangan di sisi Pemda dalam memberikan pelayanan izin usaha berbasis risiko,” ungkapnya.    

Tantangan OSS RBA Lebih lanjut, Herman menyoroti masalah yang masih terjadi meski OSS RBA telah diimplementasikan.   

Herman menemukan di sisi kelembagaan, cerita klasik soal ego sektoral sangat berpengaruh terkait implementasi dari OS RBA. Tidak hanya di daerah, tetapi juga di pemerintah pusat antara BKPM dan K/L lain.    

Baca Juga : Kepala BKF Sebut Pilpres Punya Daya Dorong untuk Ekonomi

Sementara dari sisi digitalisasi, sistem OSS belum sesuai harapan, yakni terintegrasi dengan seluruh layanan perizinan.   

"Rupaya masih membutuhkan banyak proses untuk mengintegrasikan dengan aplikasi atau sistem layanan sektoral di K/L maupun sistem pendukung di daerah," ungkapnya.    

Dalam kasus perizinan usaha sektoral, terutama mineral dan batu bara (minerba), di mana undang-undang terkait minerba berbeda dengan UU Cipta Kerja maupun aturan turunan di Pemerintah Daerah.   

"UU ini juga menciptakan kegamangan di sisi pemda, terutama penarikan sejumlah kewenangan sektor minerba ke pemerintah pusat. Belum lagi beberapa ketentuan izin pakai atau izin pinjam kawasan hutan, peta digital kawasan hutan itu belum diatur dengan baik," tegasnya.    

Terakhir, sosiasliasi asistensi teknis dipandang belum masif di daerah dan berimplikasi pada ketidkapstian tindak lanjut di daerah, rancangan peraturan daerah, dan ketidakpastian layanan perizinan di daerah.(Annasa Rizki Kamalina, Rinaldi Azka)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Rinaldi Azka
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.