Hitung Mundur 'Vonis Mati' Frekuensi Sampoerna Telekomunikasi

PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) terbelit utang BHP frekuensi senilai Rp449 miliar yang tenggatnya akan segera habis. Kasus yang berlarut sejak awal tahun ini ditengarai sebagai imbas kesulitan komersialisasi spektrum 450 MHz yang digunakan Net1.

Leo Dwi Jatmiko

25 Okt 2021 - 13.38
A-
A+
Hitung Mundur 'Vonis Mati' Frekuensi Sampoerna Telekomunikasi

Pedagang kecil Mitra Net1 Utomo menunjukan modem internet di Desa Telogoharjo, Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Selasa (23/4/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis, JAKARTA — Hingga saat ini PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI) terungkap masih menunggak biaya hak penggunaan frekuensi senilai Rp449 miliar. Atas dasar itu, pemerintah mengancam bakal mencabut gak guna frekuensi perusahaan tersebut bulan depan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menegaskan tenggat pelunasan tunggakan tersebut akan jatuh pada 27 November 2021.

Jika batas akhir habis dan perusahaan yang telah berganti nama menjadi PT Net Satu Indonesia itu belum melunasi tunggakan, pemerintah akan menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin pita frekuensi radio (IPFR). 

Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemenkominfo Ismail mengatakan pada 15 Juli 2021, PT Net Satu Indonesia mengajukan permohonan keringanan  pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari biaya hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi dengan alasan kesulitan likuiditas. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 59/2020 tentang Tata Cara Pengajuan Penyelesaian Keberatan, Keringanan dan Pengembalian Penerimaan Negara Bukan Pajak; dengan adanya pengajuan permohonan keringanan, pengenaan denda berjalan sementara dihentikan. 

Saat ini permohonan keringanan tersebut dalam tahap proses penelitian atas substansi permohonan keringanan PNBP dengan melibatkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

“Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga [27 November], Net Satu  belum melunasi BHP IPFR akan dikenai sanksi administrasi berupa pencabutan IPFR,” kata Ismail kepada Bisnis, Senin (25/10/2021). 

Warga menggunakan layanan internet di salah satu warung milik Mitra Net1 di Desa Telogoharjo, Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Selasa (23/4/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Lebih lanjut, sambung Ismail, dalam hal IPFR Net Satu dicabut, maka berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 36/1999 tentang Telekomunikasi junto UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, pemerintah akan selalu mengupayakan agar pita frekuensi 450 MHz dapat digunakan secara optimal.

Pita frekuensi tersebut akan dilelang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara di tengah era transformasi digital. 

“Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara dengan memperhatikan dukungan ekosistem perangkat yang tersedia serta aspek-aspek lainnya,” kata Ismail.

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menjelaskan STI selaku pemegang izin penyelenggaraan jaringan bergerak seluler tak kunjung memenuhi kewajiban pembayaran BHP spektrum frekuensi radio selama 2 tahun.

STI masih menunggak pembayaran untuk Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) periode 2019 yang jatuh tempo pada 30 November 2019 dan periode 2020 yang jatuh tempo pada 30 November 2020.

“Apabila tidak juga dilakukan pembayaran, Kementerian Kominfo dimandatkan oleh undang-undang dan peraturan turunannya untuk mencabut IPFR STI pada 1 November 2021,” kata Johnny kepada Bisnis, medio tahun ini.

Sesuai dengan Peraturan Menteri No.9/2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, Kemenkominfo telah mengenakan sanksi administratif menerbitkan surat peringatan tertulis sebanyak 3 kali dengan jeda waktu masing-masing 1 bulan.

Surat peringatan pertama diberikan pada 29 November 2019, surat peringatan kedua pada 29 Desember 2019, dan surat peringatan ketiga pada 29 Januari 2020.  

Dengan berlakunya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja  dan Peraturan Pemerintah No.5/2021  tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Kemenkominfo melakukan beberapa penyesuaian dengan mengulang kembali pengenaan sanksi.

Kemenkominfo menerbitkan surat teguran tertulis pertama pada 1 Mei 2021, menyiapkan surat teguran tertulis kedua yang akan diterbitkan pada 1 Juni 2021 untuk jangka waktu 2 bulan.

“Jika belum dilakukan pelunasan, Kemenkominfo akan menerbitkan surat teguran tertulis ketiga pada 1 Agustus 2021 yang disertai dengan penghentian sementara operasional penggunaan frekuensi radio STI selama 3 bulan,” kata Johnny.

KENDALA POPULARITAS

Dari perspektif pengamat telekomunikasi, pemegang saham STI dinilai memiliki kemampuan untuk membayar tunggakan BHP IPFR. Hanya saja, hal tersebut sulit terealisasi karena pita 450 MHz tidak populer untuk layanan jaringan internet seluler.

Tidak hanya itu, para pemegang saham juga dnilai sudah tak mendukung STI untuk beroperasi. 

Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan peluang STI memperpanjang izin atau tidak memperpanjang, tergantung pada para pemegang saham STI.

Secara finansial, menurut Heru, STI memiliki kemampuan untuk membayar tunggakan BHP frekuensi yang hanya sekitar Rp449 miliar. STI tergabung dalam grup Sampoerna Strategic, sebuah grup besar yang memiliki kinerja keuangan cukup kokoh.   

Adapun, menurut Heru, jika hingga hari ini tunggakan BHP belum dibayarkan, kemungkinan para pemegang saham kesulitan mengembangkan STI.

“Secara finansial tentu STI kan merupakan anak usaha perusahaan besar, tetapi mungkin memang mereka kesulitan mengembangkan STI dan tidak menjadi prioritas ke depannya,” kata Heru.

Ketua Bidang Regulasi dan Pemerintahan Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) Ardian Asmar menilai salah satu pertimbangan para pemegang saham enggan menambah modal ke STI, karena spektrum frekuensi yang digunakan STI kurang popular untuk seluler.

“Tidak ada gawai yang dapat menangkap sinyal di pita 450 MHz. Jadi mereka terpaksa jualan perangkat juga agar frekuensinya terpakai,” kata Ardian.

Ardian menuturkan agar 450 MHz lebih menguntungkan secara bisnis, STI seharusnya mengubah target pasarnya dari ritel perorangan ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Sampoerna Group memiliki keahlian di UMKM karena Sampoerna berjualan rokok. Sinergi antara STI dengan perusahaan-perusahaan di Sampoerna Group akan membuat napas STI lebih panjang di tengah ketatnya persaingan.

“Problemnya dalam sebuah grup besar, sinergi grup itu hanya semacam utopia. Beratnya di sana,” kata Ardian.

CEO Net1 Indonesia Larry Ridwan (kanan) berbincang dengan pedagang kecil Mitra Net1 Utomo di Desa Telogoharjo, Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Selasa (23/4/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Sekadar informasi, STI merupakan satu-satunya operator seluler di Indonesia yang beroperasi menggunakan pita 450MHz. STI menggunakan spektrum frekuensi pada rentang 450MHz—457,5MHz, berpasangan dengan 460MHz—467,5MHz.

STI menggunakan merek dagang Net1 Indonesia untuk memasarkan layanan 4G LTE yang mereka miliki. Dilansir dari laman resminya, jangkau 4G LTE Net1 bisa mencapai 100 km, yang merupakan jangkauan paling luas untuk teknologi 4G di Indonesia.

Dalam memasarkan layanan, STI membundel dengan penjualan paket data dengan perangkat fixed WiFi, di mana salah satu produknya dibanderol dengan harga berkisar Rp300.000— Rp500.000.

Net1 Indonesia juga menjual sejumlah layanan untuk kebutuhan korporasi seperti paket pascabayar hingga solusi IoT.

Tidak banyak yang bisa informasi yang bisa digali dari laman resmi Net1. Siaran pers terakhir yang mereka keluarkan—setelah 3 tahun tidak mengeluarkan rilis—adalah pengumuman perihal pergantian CEO perusahaan.

Serge RSC Arbogast diangkat sebagai  CEO baru  STI atau Net1 Indonesia per 26 Januari 2021, menggantikan Andria Pranata yang mengundurkan diri karena ada keperluan keluarga.

PERALIHAN FREKUENSI

Di sisi lain, para pelanggan STI diperkirakan bakal dipindahkan ke operator seluler lain seandainya perusahaan tak kunjung membayar tunggakan BHP Izin IPFR 450 Mhz. 

Ketua Bidang Regulasi dan Pemerintahan Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) Ardian Asmar mengatakan STI memiliki tanggung jawab dalam proses migrasi tersebut, selama masyarakat masih menggunakan layanan STI.

Umumnya, kata Ardian, perusahaan telekomunikasi yang akan tutup, ditinggalkan oleh pelanggan seiring dengan penurunan kualitas layanan yang diberikan.

“Misalnya mereka bilang pelanggannya ada 800,000 orang, pada April 2021 saya menduga yang aktif hanya 5%-an. Adapun, yang 95% tetap harus diberitahukan bahwa perusahaan akan tutup,” kata Ardian.

Ardian menambahkan dalam proses migrasi, tantangannya adalah memindahkan pelanggan korporasi atau pelanggan pascabayar. Terdapat sejumlah prosedur yang harus dilalui untuk mengalihkan pelanggan korporasi dari STI ke operator laun.

Sementara itu, untuk pelanggan prabayar, prosesnya lebih mudah. STI cukup memberitahu kepada para pelanggan bahwa perusahaan mau tutup dalam waktu dekat.   

“Kalau prabayar lebih gampang. Tinggalkan diumumkan mulai tanggal sekian kami tidak lagi melakukan pelayanan. Namun, kalu pascabayar ada penanganan lebih. Menurut saya pelanggannya tidak terlalu banyak lagi,” kata Ardian.

Sementara itu, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi mengatakan jika izin pita dicabut, maka jaringan di frekuensi 450 MHz harus dimatikan, karena menjadi tidak berizin.

STI juga harus memberikan kompensasi kepada pelanggan dalam bentuk pengembalian pulsa atau diberikan layanan dari operator lain jika memungkinkan.

Adapun, untuk penggunaan pita 450 MHz setelah frekuensi tersebut dicabut, kata Ridwan, dapat direalokasi untuk kebutuhan lain seperti untuk radio jaringan pemerintahan (government radio network) atau untuk pensinyalan kereta cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.