Hukuman Mati untuk Koruptor, Rencana Lama yang Bersemi Kembali?

Jika Presiden Jokowi mengusulkan untuk merevisi UU Tipikor agar koruptor bisa dijatuhi hukuman mati di luar keadaan tertentu itu, maka perlu ada pembahasan lebih lanjut.

Saeno

29 Okt 2021 - 20.03
A-
A+
Hukuman Mati untuk Koruptor, Rencana Lama yang Bersemi Kembali?

Ilustrasi

Bisnis, JAKARTA - Di akhir Oktober ini, wacana tentang hukuman mati bagi koruptor menggelinding dari Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjutak menyampaikan  soal kajian untuk menerapkan tuntutan hukuman mati  kepada koruptor.

Dalam keterangan tertulis, Kamis (27/10/2021). Leonard menyebutkan bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin, sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara korupsi di PT Jiwasraya dan PT Asabri.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamudin berpandangan bahwa ancaman pidana mati terkait perkara korupsi PT Jiwasraya dan PT Asabri dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, meskipun sangat berat dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut.

“Ini terobosan hukum yang penting dalam memberikan efek jera bagi para kejahatan keuangan yang sejak lama beroperasi di negeri ini. Saya kira, ini wacana yang mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” kata dia, dalam keterangan yang diterima Antara di Jakarta, Jumat (29/10/2021).

Jaksa Agung Burhanuddin saat bersiap mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/1/2021)./Antara

Wacana hukuman mati, kata Najamudin, tidak begitu populis di kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM) dan hukum positif lainnya. Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, pemerintah melalui institusi kejaksaan berhak menuntut secara lebih tegas terhadap setiap kejahatan yang merugikan keuangan negara maupun masyarakat.

“Kejahatan keuangan seperti korupsi itu kejahatan luar biasa yang sangat merugikan keuangan negara dan masyarakat,” ucap dia.

Sikap KPK

KPK pun memberi sinyal positif terkait wacana hukuman mati kepada koruptor. Kepada wartawan, Jumat (29/10/2021) Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan dirinya menyambut baik gagasan Jaksa Agung RI untuk mengkaji hukuman mati tersebut.

Jauh sebelumnya, seperti tertulis di laman berita KPK, 

Dampak korupsi pada negara secara sosial, politik dan ekonomi menyebabkan munculnya desakan sanksi pidana maksimal terhadap koruptor, termasuk hukuman mati. Di sisi lain, sanksi yang dijatuhkan harus berkorelasi dengan tujuan atau kepentingan hukum tindak pidana korupsi.

Demikian disampaikan Ghufron dalam Seminar Internasional BEM FH Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Selasa (23/2/2021).

Menurut Ghufron, penting untuk mengenal jenis tindak pidana mana saja yang bisa dijerat pidana mati. Dalam UU Tipikor No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 terdapat 30 jenis tindak pidana dengan 7 klasifikasi besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, gratifikasi serta tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi.

“Kalau kita mau masuk ke situ [pidana mati] sesungguhnya yang diancam dengan hukuman mati hanya pada pasal 2 ayat 2 yang dilakukan pada keadaan tertentu, maksudnya dalam keadaan bahaya, krisis moneter, bencana, dan lain-lain,” terangnya.

Gedung KPK/kpk.go.id

Di sisi lain, Ghufron mengingatkan dampak korupsi pada negara. Atas dasar itulah dia sadar banyak pihak yang menganggap butuhnya sanksi pidana mati terhadap koruptor. Namun, katanya, sanksi itu harus berkorelasi dengan tujuan atau kepentingan hukum tindak pidana korupsi.

“Kepentingan hukum Tipikor sebenarnya apa sih? Tipikor itu dikriminalisasi karena sebagaimana saya sebutkan di atas, ada dampak sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Kalau kemudian di-cluster maka kepentingan hukum tipikor sesungguhnya melindungi 3 hal; melindungi hak keuangan publik, kedua melindungi hak sosial politik, serta ketiga melindungi hak keamanan dan keselamatan negara,” papar Ghufron.

Ghufron menegaskan ancaman hukuman mati di Indonesia ada dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 31/199 jo. UU No. 20/2001 yaitu perbuatan memperkaya diri yang melawan hukum, mengakibatkan kerugian negara, namun dalam keadaan tertentu.

“Itu normanya, lalu pelaksanaannya bagaimana? Hingga 2021 ini, pidana mati belum pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi yang diadili menggunakan UU No. 31/199 jo. UU No. 21/2001. Sejauh ini, pidana terberat yang pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi ialah pidana seumur hidup dalam perkara korupsi AM (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) dan 6 orang dalam korupsi Jiwasraya (HR, HP, JHT, SY, BT, HH),” ujar Ghufron.

Hanya Jargon Politik?

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai wacana Jaksa Agung untuk menuntut hukuman mati koruptor kasus PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri hanyalah jargon politik. 

Hal semacam ini menurut Kurnia kerap dilakukan pimpinan lembaga penegak hukum hingga presiden. Kurnia melihat hal itu hanya dilakukan untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakannya terhadap pemberantasan korupsi.  Padahal, jika berkaca pada kualitas penegakan hukum, hasilnya dia nilai masih buruk.

"Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," kata Kurnia saat dihubungi Tempo, Jumat, 29 Oktober 2021.

Dia malah mempertanyakan efektivitas hukuman mati dalam memberikan efek jera kepada koruptor sekaligus menekan angka korupsi di Indonesia. Bagi ICW, ujar Kurnia, pemberian efek jera akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor.

"Mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Bukan dengan menghukum mati para koruptor," kata Kurnia.

Selain itu, dia melihat kualitas penegakan hukum belum menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Apalagi, lanjutnya, Kejaksaan Agung punya catatan buruk ketika menangani perkara Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pinangki dituntut dengan hukuman sangat rendah dan membuat komitmen Jaksa Agung dalam pemberantasan korupsi dipertanyakan.

Rencana Lama

Dua tahun lalu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan bahwa ancaman hukuman mati kepada koruptor sudah diatur di dalam undang-undang. Namun, hukuman itu tak pernah diterapkan.

"Undang-undangnya sekarang ada. Yang jelas ada, tapi belum pernah dipakai juga," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 9 Desember 2019, seperti ditulis Tempo.co.

Undang-undang yang dimaksud Yasonna adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Presiden Joko Widodo/Antara

Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa yang dimaksudkan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Yasonna mengatakan jika Presiden Jokowi mengusulkan untuk merevisi UU Tipikor agar koruptor bisa dijatuhi hukuman mati di luar keadaan tertentu itu, maka perlu ada pembahasan lebih lanjut.

"Kita lihat saja dulu perkembangannya. Kan ini masih wacana," kata Yasonna saat itu.

Sebelumnya, dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57, Jokowi melontarkan wacana pemerintah bersedia mengusulkan revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi agar koruptor bisa dihukum mati. Namun, hal ini bakal pemerintah lakukan jika masyarakat luas menginginkannya.

Kini, di akhir Oktober yang identik dengan musim hujan, isu hukuman mati kembali muncul. Kita masih perlu menunggu, apakah wacana itu akan menjadi kenyataan ataukah hanya muncul seperti cendawan yang biasa bertebaran di musim hujan? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Saeno
Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.