Industri Startup Nasional Berarak Menuju Stagnasi

Ada banyak faktor yang menyebabkan pengembangan vertikal (sektor) industri rintisan di Indonesia makin lama makin jauh dari kata 'kreatif'. Salah satunya adalah tren mengekor langgam bisnis para pemain besar yang sudah lebih dahulu mapan.

10 Agt 2021 - 21.14
A-
A+
Industri Startup Nasional Berarak Menuju Stagnasi

Ilustrasi pengembangan ide startup/istimewa

Bisnis, JAKARTA — Di tengah euforia ‘unikorn masuk bursa’ serta gembar-gembor kemajuan ekosistem industri startup lokal, Indonesia justru makin kesulitan mengembangkan variasi baru dalam vertikal/sektor bisnis rintisan.

Koordinator Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dianta Sebayang menilai saat ini mayoritas pemain startup baru di Indonesia hanya mengekor konsep untuk menyerupai pemain besar yang sudah sukses di bidangnya.

“Penyebab utamanya, jika ada satu sektor startup untung, maka pemain lain malah berfokus untuk membuat yang sejenis. Karena ragu untuk mengambil risiko lain,” katanya, Selasa (10/8/2021)

Dia menilai pemerintah hingga saat ini juga lebih mengejar kuantitas perusahaan rintisan, padahal hal yang dibutuhkan adalah menguatkan kualitas dari setiap pemain.

Meskipun demikian, Dianta tak menampik kota-kota besar di Indonesia sudah memiliki ekosistem perusahaan rintisan yang baik.

Sayangnya, perusahaan yang sering kali didefinisikan sebagai startup hanyalah perusahaan digital dengan keluaran aplikasi atau website. Realitasnya, ini adalah konsep yang salah kaprah.

“Ini pandangan yang keliru. Roh dari startup adalah adalah perusahaan inovasi sehingga fokus seharusnya mencoba menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat, baik untuk masa sekarang atau masa depan,” ujarnya.

Masalah utama lain yang terus menggelayuti kreativitas bisnis startup nasional adalah minimnya upaya pengawalan secara berkelanjutan kepada para perusahaan rintisan yang baru mencetus.

Setiap pemain membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai titik balik modal atau break even point (BEP) maupun pengembalian investasi atau return on investment (ROI), karena pada dasarnya mereka adalah perusahaan padat teknologi dan padat modal.

Sebab itu, banyak pemain baru yang enggan untuk mencoba masuk ke sektor yang belum terjamah. Bukan dikarenakan minim akan keterampilan, melainkan menghindari risiko gagal.

Menurutnya, kebutuhan industri startup saat ini adalah inkubator perusahaan rintisan (sandbox) yang memberikan rasa aman bagi para pemain atau founders untuk menghadirkan ide-ide segar, tanpa merasa takut gagal.

Dia meyakini, apabila permasalahan tersebut tidak kunjung usai, pertumbuhan perusahaan rintisan hanya akan mencapai sekitar 3%—5% per tahun. Bahkan, pemain baru akan makin banyak terjun ke sektor yang seragam. 

PAYUNG HUKUM

Tidak hanya itu, masih tumpulnya payung hukum ekosistem digital diyakini juga menjadi alasan minimnya variasi lintas sektor perusahaan rintisan di Indonesia.

Sekadar informasi, sebanyak delapan perusahaan rintisan (startup) dari Indonesia masuk ke dalam daftar Forbes Asia 100 to Watch lantaran dinilai memberikan manfaat sepanjang pandemi Covid-19 di kawasan Asia-Pasifik.

Adapun, daftar paling banyak justru dicatatkan oleh rintisan di India dan Singapura masing-masing menyumbang 22 dan 19 perusahaan. Sementara itu, Hong Kong menyumbang 10 perusahaan.

Indonesia dicatatkan hanya menyumbang 8 perusahaan yang dinilai mampu memberikan perubahan, padahal menurut catatan Startup Ranking, jumlah startup di Indonesia mencapai 2.219 perusahaan pada 2021 dan menduduki peringkat kelima dengan jumlah perusahaan rintisan terbanyak. Setelah Amerika Serikat, India, Inggris, dan Kanada.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengamini variasi bidang perusahaan rintisan di Indonesia masih tergolong sedikit.

Salah satu faktornya adalah peraturan-peraturan ekonomi digital di Indonesia yang diduga belum lengkap sehingga menyebabkan pemain tidak berani untuk keluar dari zona nyaman, karena tidak punya payung hukum kuat.

“[Isu] yang pertama harus dilakukan adalah membuat payung hukum kuat seperti UU Perlindungan Data Pribadi dan peraturan perundangan ekonomi digital,” katanya, Selasa (10/8/2021).

Huda mengelaborasi terdapat empat pekerjaan rumah agar Indonesia mampu menghadirkan ragam bidang rintisan baru.

Salah satunya adalah payung hukum yang melindungi ruang berekspresi masyarakat untuk membangun usaha yang berbeda.

Selain itu, dia menilai permasalahan yang lain adalah peningkatan talenta digital  atau sumber daya manusia (SDM).

Sebab, dengan bervariasinya bidang yang digeluti perusahaan rintisan, maka dibutuhkan ilmu yang sesuai untuk mengembangkan bisnis tersebut.  

Tidak sampai di sana, Huda mendesak agar pemerintah mulai mengurangi mengejar pertumbuhan perusahaan rintisan dari sisi jumlah dan berfokus ke kualitas serta meminimalisir kesenjangan digital di tengah masyarakat.

Menurutnya, wajar apabila hanya tercatat delapan perusahaan rintisan RI yang dianggap membawa perubahan.

Sebab, selama ini pola pikir yang terbangun adalah memenuhi kebutuhan konsumen dengan bersaing di ring yang sama.

Sedangkan, bisa dikatakan, sedikit pemain yang berfokus untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat dan meningkatkan kualitas perusahaannya.

“Salah satunya, program pemerintah 1000 Startup per tahun, tetapi bisa dihitung jumlah yang bertahan dan berkembang. Banyak dari mereka [startup] yang akhirnya gagal bertahan, apalagi membawa perubahan,” katanya. 

SUNTIKAN MODAL

Di sisi lain, Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) berpendapat suntikan dana dari pemodal menjadi alasan masih banyaknya perusahaan rintisan baru yang bergerak di bidang selanggam.

Investor dan pemodal ventura hingga saat ini diduga masih berkutat untuk menyuntikkan dana ke perusahaan rintisan yang memiliki peluang pangsa pasar yang besar dan homogen.

Bendahara Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani mengatakan beberapa pemodal memang mulai berinisiatif untuk melakukan investasi pada perusahaan yang menyelesaikan permasalahan di bidang pembangunan yang berkelanjutan.

Namun, keadaan pandemi Covid-19 masih memaksa setiap pemodal untuk lebih berhati-hati saat melakukan pendanaan sehingga prioritas utama masih diberikan untuk perusahaan yang dinilai mampu bertahan.

“Saat ini yang fokus investasi ke startup berkelanjutan dan berdampak banyak dijalankan oleh NGO [lembaga swadaya masyarakat],” tuturnya, Selasa (10/8/2021).

Lebih lanjut, dia menjelaskan peran pemerintah hingga sekarang sudah cukup besar lantaran menjadi jembatan bagi para NGO dan dana CSR global atau regional agar bisa masuk lebih mudah ke Indonesia.

Dia menyebut pendanaan yang masih terfokus untuk sektor potensial berdampak ke langkah pemain-pemain baru untuk mengikuti arus dan berfokus pada permintaan konsumen.

Bahkan, banyaknya unikorn yang lahir di sektor serupa membuat ladang lainnya menjadi minim untuk digarap.

Namun, Edward meyakini bahwa pemain baru masih memiliki kesempatan untuk menangkap peluang mencoba bidang baru dengan mengincar banyaknya dana pemodal luar yang tertarik masuk ke Indonesia.

Bahkan, dia optimis bahwa ekosistem perusahaan rintisan akan menjadi lebih sehat dan kuat dengan banyak hadirnya inkubator, akselerator, venture builder, angel investor dan para modal ventura yang akan melirik bidang baru, khususnya yang mengarah ke pembangunan berkelanjutan.

“Ke depan akan mulai banyak perhatian investor dan korporasi ke arah sektor-sektor baru, seperti pembangunan berkelanjutan. Ini sedang terjadi, karena memang dibutuhkan,” katanya.

Reporter : Akbar Evandio

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.