Industri TPT Mulai Bangkit, Quo Vadis Jerat Utang SRIL & PBRX?

Perlahan tetapi pasti, SRIL dan PBRX mulai mencatatkan permintaan ekspor hingga 2023. Kedua emiten representasi industri TPT nasional itu juga dikatakan bakal menyerap 4.000 orang tenaga kerja untuk memenuhi permintaan tersebut.

Stepanus I Nyoman A. Wahyudi

9 Nov 2021 - 11.33
A-
A+
Industri TPT Mulai Bangkit, Quo Vadis Jerat Utang SRIL & PBRX?

Pekerja PT Pan Brothers Boyolali berunjuk rasa di depan pabrik, Rabu (5/5/2021). JIBI/Solopos-Bayu Jatmiko Adi

Bisnis, JAKARTA — Setelah melalui periode suram nyaris sepanjang 2 tahun pandemi, industri pertekstilan nasional mulai menunjukkan tajinya menjelang akhir tahun ini. Pulihnya permintaan ekspor menjadi pelatuk penyehatan keuangan para raksasa garmen nasional.

Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Elis Masitoh mengatakan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) mulai bergairah kembali sejak kuartal III/2021, didorong hambatan produksi industri garmen di China akibat krisis energi di negara tersebut.

Dia menuturkan adanya proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di sejumlah emiten tekstil besar seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) dan PT Pan Brothers Tbk (PBRX) pun tidak berpengaruh negatif pada kinerja industri TPT. 

“Adanya permasalahan dari beberapa emiten besar garmen tidak memengaruhi kinerja ekspor TPT karena memang tidak terkait dengan produksi emiten-emiten tersebut. Mereka masih tetap beroperasi seperti sedia kala,” kata Elis saat dihubungi Bisnis, Senin (9/11/2021).

Seorang karyawan tengah memeriksa mesin di pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk./sritex.co.id

Alih-alih, kata Elis, dua emiten tekstil itu sudah mencatatkan permintaan dari importir hingga 2023. PBRX dan SRIL juga dikatakan bakal menyerap 4.000 orang tenaga kerja untuk memenuhi permintaan importir tersebut. 

“Saat ini selain kedua emiten tersebut, beberapa industri garmen orientasi ekspor juga tengah mengalami peningkatan pemesanan sampai dengan 2023,” kata dia. 

Berdasarkan data milik Kemenperin, volume ekspor produk tekstil dengan kode HS 61 mencapai 185.690 ton hingga kuartal III/2021.

Pencatatan itu lebih tinggi dari kuartal sebelumnya sebanyak 169.140 ton. Adapun, nilai ekspor produk tekstil dari pos tarif tersebut mencapai US$3,08 miliar.  

Sementara itu, untuk kode HS 62 yang merupakan pakaian atau aksesoris pakaian bukan rajutan, volume ekspor hingga kuartal III/2021 mencapai 121.090 ton.

Volume itu lebih rendah jika dibandingkan dengan torehan pada triwulan ketiga tahun lalu yang berada di posisi 125.520 ton. Adapun, nilai ekspor produk tekstil dari pos tarif tersebut mencapai US$2,93 miliar. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengamini arus kas industri TPT nasional mulai menunjukkan tren pemulihan yang signifikan seiring peningkatan permintaan dari pasar domestik hingga luar negeri.

Menurutnya, krisis energi China memberi stimulus produksi yang relatif besar bagi industri pertekstilan di dalam negeri. Di sisi lain, impor bahan baku yang terhambat dari Negeri Panda juga turut mendorong penyerapan bahan baku produksi lokal. 

Redma berpendapat SRIL dan PBRX—dua perusahaan tekstil representatif dalam negeri—telah berhasil mengambil pangsa pasar yang ditinggalkan China untuk meningkatkan produksi mereka.

Dengan demikian, kata dia, arus kas kedua perusahaan yang tengah menghadapi PKPU relatif sudah baik menjelang akhir tahun ini. 

“Sekarang dengan arus kas yang mereka punya seharusnya sudah sehat. Saya melihatnya dari permintaan seharusnya sudah sehat.” kata Redma. 

Proses penjahitan produk tekstil di pabrik PT Pan Brothers Tbk. /panbrotherstbk.com

Di sisi lain, Redma mengatakan, proses PKPU dua perusahaan itu relatif berlebihan di tengah pandemi Covid-19.

Menurutnya, keputusan perusahaan untuk menunda pembayaran cicilan ke perbankan disebabkan karena niat untuk tetap memastikan jalannya produksi di pabrik. 

“Dari hilirnya kan tersendat, dari ritel dan pembeli ekspor di sana juga tersendat, pembayaran yang lokal juga tersendat sehingga arus kas menjadi terganggu. Kalau tidak bayar listrik atau karyawan kan bisa berhenti produksi ini kan harus tetap muter jadi dikorbankan pembayaran perbankan.”

Kendati demikian, dia meminta pemerintah untuk mendorong bahan baku dalam negeri untuk meningkatkan produksi di tengah peningkatan permintaan global yang tinggi.

Dengan demikian, kinerja ekspor industri dalam negeri dapat meningkat hingga 20 persen di tengah isu krisis energi di sejumlah negara pemasok garmen. 

“Permintaan lokal dan ekspor juga bagus hanya saja tadi ekspor tidak bisa naik karena ada masalah di freight cost dan ketergantungan bahan baku impor,” tuturnya. 

TUNTASKAN RESTRUKTURISASI

Dihubungi secara terpisah, perwakilan PT Pan Brothers Tbk. (PBRX) mengonfirmasi akan menyelesaikan restrukturisasi utang pada tahun ini setelah digugat pada perkara PKPU oleh PT Bank Maybank Indonesia Tbk. (BNII) 

“Restrukturisasi insyaallah selesai tahun ini dan dalam dua pekan ini akan ada rilis pers,” kata Vice CEO Pan Brothers Anne Patricia Sutan saat dihubungi Bisnis

Langkah itu diambil seiring dengan peningkatan kinerja ekspor perusahaan menjelang akhir tahun 2021 setelah adanya peningkatan permintaan dari pasar internasional. “Memang ada kenaikan ekspor,” tuturnya. 

PBRX, untuk diketahui, memperoleh moratorium pembayaran utang dari Pengadilan Tinggi Singapura terkait dengan beban utang yang mencapai US$309,6 juta.

Utang itu terdiri dari pinjaman sindikasi dengan nilai US$138,5 juta dan obligasi US$171,1 juta. Sementara itu, porsi BNII dari keseluruhan utang tersebut sekitar 4,5 persen.

Bisnis telah mencoba menghubungi perwakilan direksi SRIL terkait dengan penuntasan restrukturisasi utang perusahaan, tetapi belum mendapatkan respons.

Dari tinjauan industri, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai utilisasi industri TPTdalam negeri menunjukkan kinerja yang positif di posisi 80 persen menjelang akhir tahun ini.

Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan utilisasi industri tekstil dalam negeri relatif sudah dapat kembali beroperasi dalam kapasitas produksi yang normal. 

“Utilisasi industri tekstil ini sudah membaik, utilisasi kita di atas 70 persen menuju 80 persen sudah mendekati normal kalau boleh dikatakan,” kata Jemmy melalui sambungan telepon.

Tren pemulihan kinerja itu, kata Jemmy, turut mengembalikan kepercayaan perbankan untuk menyalurkan kreditnya bagi upaya perluasan atau peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Selama ini, perbankan relatif berhati-hati untuk menyalurkan kredit pada sektor garmen. 

“Perbankan sudah mulai membuka kerannya lagi kalau kemarin mereka menarik diri. Saat ini mereka bisa membaca kebijakan pemerintah yang sudah proindustri,” tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.