Investasi SKKL Internasional Marak, Apa Risiko bagi Indonesia?

Pemerintah perlu menganalisis banyaknya SKKL internasional yang hadir di Tanah Air. Beberapa di antaranya berada di jalur yang sama sehingga manfaat yang diberikan kurang optimal. 

Leo Dwi Jatmiko

8 Nov 2021 - 18.55
A-
A+
Investasi SKKL Internasional Marak, Apa Risiko bagi Indonesia?

Ilustrasi kabel serat optik/Reuters-Alessandro Bianchi

Bisnis, JAKARTA — Maraknya pembangunan serat optik bawah internasional di Indonesia dinilai perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih antarproyek melalui jalur yang sama.

Untuk diketahui, Indonesia tengah laris manis dijadikan ladang pembangunan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) rute internasional beberapa waktu terakhir.

PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) dan Hawaiki bakal bekerja sama membangun SKKL Hawaiki Nui yang memiliki panjang 22.000 kilometer. SKKL internasional terpanjang bernilai US$880 juta (Rp12,6 triliun) itu melintangi Singapura, RI, Australia, dan Amerika Serikat (AS).

SKKL Hawaiki Nui yang ditarget rampung pada 2025 itu menambah daftar kabel laut internasional yang tengah dibangun di Indonesia, yaitu SKKL Bifrost dan Echo yang juga sama-sama menghubungkan Indonesia dengan AS.

Bifrost dan Echo masing-masing memiliki panjang 15.000 kilometer dan ditargetkan beroperasi pada 2023 untuk Echo dan 2024 untuk Bifrost. 

Echo merupakan SKKL yang dibangun oleh Facebook, Alphabet Google dan PT XL Axiata Tbk. (EXCL). Sementara itu, Bifrost adalah SKKL dibangun oleh Telkom, Facebook dan Keppel Telecomunications & Transportation Limited.

Menanggapi tren tersebut, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pemerintah perlu menganalisis banyaknya SKKL internasional yang hadir di Tanah Air. Beberapa di antaranya, menurut Heru, berada di jalur yang sama sehingga manfaat yang diberikan kurang optimal. 

Untuk itu, dia mengusulkan agar pemerintah mengatur SKKL tersebut agar ketangguhan jaringan internet yang menghubungkan Indonesia dengan luar negeri makin baik. 

“Jangan sampai kita hanya sebagai negara numpang lewat saja dan tidak dapat benefit apa-apa karena beberapa kan jalurnya sama,” kata Heru, Senin (8/11/2021). 

Di samping itu, kata Heru, seharusnya pemerintah juga memiliki batasan yang jelas mengenai penetrasi SKKL internasional. SKKL yang menghubungkan lintas negara seharusnya hanya diperbolehkan masuk hingga gerbang masuk Indonesia. 

Gerbang untuk masuk pun dibatasi, SKKL hanya terbuka untuk daerah-daerah yang selama ini belum ada jalur SKKL. 

“Hanya dibuka untuk pintu masuk ke jalur internasional yang belum ada. Seperti ke Singapura, Malaysia, Australia kan karena sudah banyak,” kata Heru. 

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan selama ini SKKL yang terhubung dengan AS cenderung melewati Singapura, Malaysia, Hong Kong, Jepang dan Amerika Serikat. 

SKKL Hawaiki Nui termasuk rute baru yang melewati Singapura, Indonesia, Australia dan Amerika Serikat sehingga melengkapi jaringan kabel laut yang sudah ada. 

Ian juga melihat dengan membangun sendiri SKKL, Moratelindo memiliki beberapa jaringan inti yang nantinya bisa digunakan oleh perusahaan penyedia internet lainnya. 

s“Dengan membangun sendiri maka akan memiliki beberapa core dan bisa menjadi pemain IP Transit,” kata Ian. 

Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) Galumbang Menak di Jakarta, Rabu (12/6/2019)./Bisnis-Dedi Gunawan

BUTUH BANYAK

Saat dimintai konfirmasi, Direktur Utama Moratelindo Galumbang Menak menilai Indonesia justru membutuhkan lebih banyak variasi SKKL internasional.

Dia menilai banyak SKKL yang terhubung dengan Amerika Serikat disebabkan mayoritas perusahaan teknologi besar saat ini berasal dari Negeri Paman Sam. 

Bekerja sama dengan Hawaiki, Moratelindo akan membangun SKKL yang menghubungkan Singapura, Indonesia, Australia dan Amerika Serikat. SKKL yang terhubung ke Indonesia, nantinya akan disebarluaskan ke daerah Indonesia Timur.

Menurut Galumbang, dalam menyebarkan SKKL ke lebih banyak daerah, perseroan akan melakukan percabangan (branching) jaringan, yang mengarah ke Papua atau ke Nusa Tenggara.

Moratelindo belum dapat memastikan kemana percabangan dilakukan, mengingat proses pembangunan baru dilakukan pada 2022.  “Hingga saat ini masih dalam kajian,” kata Galumbang kepada Bisnis, Senin (8/11/2021). 

Galumbang mengatakan meski SKKL yang terhubung dengan Amerika Serikat sudah banyak, konten lalu lintas data masih terlalu deras untuk dibendung.  Banyak lalu lintas data global yang berasal dari Amerika Serikat. 

Sebagai gambaran, ujar Galumbang, Facebook dan Instagram saat ini berkontribusi sebesar 40 persen dari total lalu lintas (trafik) data yang ada di dunia, sementara itu Google sekitar 20 persen. 

Artinya sekitar 60 persen lalu lintas saat ini berasal dari Amerika Serikat. Angka tersebut berpotensi lebih tinggi lagi, karena di luar Google dan Facebook, masih banyak perusahaan teknologi yang berada di sana. 

SKKL yang ada saat ini tidak cukup untuk menampung lalu lintas data tersebut sehingga dibutuhkan lebih banyak kabel serat optik. 

“Sekarang baru satu yang langsung ke AS dan kota di Amerika Serikat pun berkembang, jika dahulu landing SKKL di Orlando, sekarang menyebar ke area selatan. Jadi melihat Amerika Serikat itu bukan hanya satu kota,” kata Galumbang. 

Terkait dengan tantangan pembangunan SKKL Trans-Pasifik, Galumbang menyebut ada di sisi permodalan. 

Moratelindo dan konsorsium harus menyiapkan dana yang besar untuk membangun SKKL internasional terpanjang yang pernah di bangun Indonesia tersebut. 

Berdasarkan perhitungan Galumbang, untuk membangun SKKL per kilometer membutuhkan biaya sekitar US$40.000. Artinya jika panjang SKKL mencapai 22.000 kilometer maka dana yang dihabiskan sekitar US$880 juta atau senilai Rp12,6 triliun. 

“[Tantangannya] harus mempersiapkan belanja modal,” tuturnya. 

Galumbang menuturkan perseroan akan berusaha mencari permodalan. Dia optimistis hal tersebut dapat dipenuhi mengingat layanan internet merupakan suatu kebutuhan yang terus meningkat permintaannya. 

Terlebih, Indonesia saat ini sedang menuju digital. Dibutuhkan banyak infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi untuk mendukung proses tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor: Wike D. Herlinda

Anda harus login untuk mengomentari artikel ini

Total 0 Komentar

Kembali ke Atas
BIG MEDIA
Jalan K.H. Mas Mansyur No. 12AKaret Tengsin - Jakarta Pusat 10220
© Copyright 2024, Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.